DPC FKDT Subang Turut Hadir Safari Ramadhan



Kamis 14 April 2022, beberapa Pengurus DPC FKDT Subang yang di komandoi Agus Rahayu,S.Pd.I Ketua DPC turut hadir dalam Acara Safari Ramadhan bertempat di Alun-alun Bendungan Kecamatan Pagaden Barat yang diselenggarakan Oleh PCNU Subang kerja bareng Coklat Kita, yang juga turut dihadiri Agus Maskur wakil bupati subang beserta jajaran Pemkab Subang, juga nampak hadir beberapa  pejabat Kemenag. Usai acara safari ramadhon Pengurus DPC FKDT Subang juga menghadiri acara buka bersama dan Taraweh Keliling yang bertempat di MT.Al Hujroh Al Musri Majelis binaan K.Ridwan Farid,S.Kub yang kebetulan termasuk Pengurus DPC FKDT sebagai Ketua Laskar Diniyah. " Saya sangat berterimakasih sekali atas kehadiran rekan-rekan dalam acara buka bersama dan tarawih keliling ini khusus kepada ketua DPW fkdt Jawa Barat Kyai Atep Abdul Gopar ,juga kepada rekan-rekan pengurus DPC Subang Semoga sinergitas tetap terjalin Demi kemajuan Madrasah Diniyah di Kabupaten Subang ". Ujar K.Ridwan Farid yang juga sering dipanggil Ki Bentar.

Musafir Cinta Robi'ah Al 'Adawiyah


 Suatu ketika, Rabiah al-Adawiyah makan bersama dengan keluarganya.Sebelum menyantap hidangan makanan yang tersedia, Rabi’ah memandangayahnya seraya berkata, “Ayah, yang haram selamanya tak akan menjadihalal. Apalagi karena ayah merasa berkewajiban memberi nafkah kepadakami.” Ayah dan ibunya terperanjat mendengar kata-kata Rabi’ah. Makananyang sudah di mulut akhirnya tak jadi dimakan. Ia pandang Rabi’ahdengan pancaran sinar mata yang lembut, penuh kasih. Sambil tersenyum,si ayah lalu berkata, “Rabi’ah, bagaimana pendapatmu, jika tidak adalagi yang bisa kita peroleh kecuali barang yang haram?” Rabi’ahmenjawab: “Biar saja kita menahan lapar di dunia, ini lebih baikdaripada kita menahannya kelak di akhirat dalam api neraka.” Ayahnyatentu saja sangat heran mendengar jawaban Rabi’ah, karena jawabanseperti itu hanya didengarnya di majelis-majelis yang dihadiri olehpara sufi atau orang-orang saleh. Tidak terpikir oleh ayahnya, bahwaRabi’ah yang masih muda itu telah memperlihatkan kematangan pikiran danmemiliki akhlak yang tinggi (Abdul Mu’in Qandil).
               Penggalan kisah di atas sebenarnya hanya sebagian saja darikemuliaan akhlak Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi wanita yang nama danajaran-ajarannya telah memberi inspirasi bagi para pecinta Ilahi.Rabi’ah adalah seorang sufi legendaries. Sejarah hidupnya banyakdiungkap oleh berbagai kalangan, baik di dunia sufi maupun akademisi.Rabi’ah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta)Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorangsalik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lainyang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi,sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbahmelalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-ITabriz.
              Sepanjang sejarahnya, konsep Cinta Ilahi (Mahabbatullah) yangdiperkenalkan Rabi’ah ini telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan.Sebab, konsep dan ajaran Cinta Rabi’ah memiliki makna dan hakikat yangterdalam dari sekadar Cinta itu sendiri. Bahkan, menurut kaum sufi,Mahabbatullah tak lain adalah sebuah maqam (stasiun, atau jenjang yangharus dilalui oleh para penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allahdalam beribadah) bahkan puncak dari semua maqam. Hujjatul Islam Imamal-Ghazali misalnya mengatakan, “Setelah Mahabbatullah, tidak ada lagimaqam, kecuali hanya merupakan buah dari padanya serta mengikutidarinya, seperti rindu (syauq), intim (uns), dan kepuasan hati(ridla)”.
           Rabi’ah telah mencapai puncak dari maqam itu, yakniMahabbahtullah. Untuk menjelaskan bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Allah,tampaknya agak sulit untuk didefinisikan dengan kata-kata. Dengan katalain, Cinta Ilahi bukanlah hal yang dapat dielaborasi secara pasti,baik melalui kata-kata maupun simbol-simbol. Para sufi sendiriberbeda-beda pendapat untuk mendefinisikan Cinta Ilahi ini. Sebab,pendefinisian Cinta Ilahi lebih didasarkan kepada perbedaan pengalamanspiritual yang dialami oleh para sufi dalam menempuh perjalananruhaninya kepada Sang Khalik. Cinta Rabi’ah adalah Cinta spiritual(Cinta qudus), bukan Cinta al-hubb al-hawa (cinta nafsu) atau Cintayang lain. Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691-751 H) membagi Cinta menjadiempat bagian.
          Pertama, mencintai Allah. Dengan mencintai Allah seseorangbelum tentu selamat dari azab Allah, atau mendapatkan pahala-Nya,karena orang-orang musyrik, penyembah salib, Yahudi, dan lain-lain jugamencintai Allah.Kedua, mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Cintainilah yang dapat menggolongkan orang yang telah masuk Islam danmengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling Cintai adalah yangpaling kuat dengan cinta ini.Ketiga, Cinta untuk Allah dan kepada Allah. Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai Allah.Keempat,Cinta bersama Allah. Cinta jenis ini syirik. Setiap orang mencintaisesuatu bersama           Allah dan bukan untuk Allah, maka sesungguhnya diatelah menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cinta orang-orangmusyrik.
            Pokok ibadah, menurut Ibnu Qayyim, adalah Cinta kepada Allah,bahkan mengkhususkan hanya Cinta kepada Allah semata. Jadi, hendaklahsemua Cinta itu hanya kepada Allah, tidak mencintai yang lain bersamaanmencintai-Nya. Ia mencintai sesuatu itu hanyalah karena Allah danberada di jalan Allah.
            Cinta sejati adalah bilamana seluruh dirimu akan kau serahkanuntukmu Kekasih (Allah), hingga tidak tersisa sama sekali untukmu(lantaran seluruhnya sudah engkau berikan kepada Allah) dan hendaklahengkau cemburu (ghirah), bila ada orang yang mencintai Kekasihmumelebihi Cintamu kepada-Nya. Sebuah sya’ir mengatakan:
            Aku cemburu kepada-Nya,Karena aku Cinta kepada-Nya,Setelah itu aku teringat akan kadar Cintaku,Akhirnya aku dapat mengendalikan cemburuku
         Oleh karena itu, setiap Cinta yang bukan karena Allah adalahbathil. Dan setiap amalan yang tidak dimaksudkan karena Allah adalahbathil pula. Maka dunia itu terkutuk dan apa yang ada di dalamnya jugaterkutuk, kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya
         Rabi’ah adalah anak keempat dari empat saudara. Semuanyaperempuan. Ayahnya menamakan Rabi’ah, yang artinya “empat”, tak lainkarena ia merupakan anak keempat dari keempat saudaranya itu. Pernahsuatu ketika ayahnya berdoa agar ia dikaruniai seorang anak laki-laki.Keinginan untuk memperoleh anak laki-laki ini disebabkan karenakeluarga Rabi’ah bukanlah termasuk keluarga yang kaya raya, tapisebaliknya hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Setiap hariayahnya kerap memeras keringat untuk menghidupi keluarganya, sementaraanak-anaknya saat itu masih terbilang kecil-kecil. Apalagi dengankehadiran Rabi’ah, beban penderitaan ayahnya pun dirasakan semakinbertambah berat, sehingga bila kelak dikaruniai anak laki-laki,diharapkan beban penderitaan itu akan berkurang karena anak laki-lakibisa melindungi seluruh keluarganya. Atau paling tidak bisa membantuayahnya untuk mencari penghidupan.
           Sekalipun keluarganya berada dalam kehidupan yang serbakekurangan, namun ayah Rabi’ah selalu hidup zuhud dan penuh kesalehan.Begitu pun Rabi’ah, yang meskipun sejak kecil hingga dewasanya hidupserba kekurangan, namun ia sama sekali tidak menciutkan hatinya untukterus beribadah kepada Allah. Sebaliknya, kepapaan keluarganya iajadikan sebagai kunci untuk memasuki dunia sufi, yang kemudianmelegendakan namanya sebagai salah seorang martir sufi wanita di antaraderetan sejarah para sufi.
            Rabi’ah memang tidak mewarisi karya-karya sufistik, termasuksya’ir-sya’ir Cinta Ilahinya yang kerap ia senandungkan. Namun begitu,Sya’ir-sya’ir sufistiknya justru banyak dikutip oleh para penulisbiografi Rabi’ah, antara lain J. Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257 M) dengankaryanya Mir’at az-Zaman (Cermin Abad Ini), Ibnu Khallikan (w. 1282 M)dengan karyanya Wafayatul A’yan (Obituari Para Orang Besar), Yafi’Iasy-Syafi’i (w. 1367 M) dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayatash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam Kehidupan Para Orang Saleh), danFariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya Tadzkirat al-Auliya'(Memoar Para Wali).
           Dari sekian banyak penulis biografi Rabi’ah, Tadzkiratal-Awliya’ karya Fariduddin Aththar tampaknya dianggap sebagai bukubiografi yang paling mendekati kehidupan Rabi’ah, terutama ketikaawal-awal Rabi’ah akan lahir di tengah keluarga yang sangat miskin itu(tapi ada yang menyebutkan bahwa keluarga Rabi’ah sebenarnya termasukketurunan bangsawan). Riwayat Aththar, yang dikutip Margaret Smithdalam bukunya Rabi’a the Mystic & Her Fellow-Saints in Islam(sebuah disertasi, terbitan Cambridge University Press, London, 1928),antara lain banyak mengungkap sisi-sisi kehidupan Rabi’ah sejak kecilhingga dewa sanya.
             Diceritakan, sewaktu bayi Rabi’ah lahir malam hari, di rumahnyasama sekali tidak ada minyak sebagai bahan untuk penerangan, termasukkain pembungkus untuk bayi Rabi’ah. Karena tak ada alat penerangan,ibunya lalu meminta sang suami, Ismail, untuk mencari minyak di rumahtetangga. Namun, karena suaminya terlanjur berjanji untuk tidak memintabantuan pada sesama manusia (kecuali pada Tuhan), Ismail pun terpaksapulang dengan tangan hampa. Saat Ismail tertidur untuk menunggui putrikeempatnya yang baru lahir tersebut, ia kemudian bermimpi didatangioleh Nabi Muhammad Saw dan bersabda: “Janganlah bersedih hati, sebabanak perempuanmu yang baru lahir ini adalah seorang suci yang agung,yang pengaruhnya akan dianut oleh 7.000 umatku.” Nabi kemudian bersabdalagi: “Besok kirimkan surat kepada Isa Zadzan, Amir kota Basrah,ingatkanlah kepadanya bahwa ia biasanya bershalawat seratus kaliuntukku dan pada malam Jum’at sebanyak empat ratus kali, tetapi malamJum’at ini ia melupakanku, dan sebagai hukumannya ia harus membayardenda kepadamu sebanyak empat ratus dinar.”
             Ayah Rabi’ah kemudian terbangun dan menangis. Tak lama, ia punmenulis surat dan mengirimkannya kepada Amir kota Basrah itu yangdititipkan kepada pembawa surat pemimpin kota itu. Ketika Amir selesaimembaca surat itu, ia pun berkata: “Berikan dua ribu dinar ini kepadaorang miskin itu sebagai tanda terima kasihku, sebab Nabi telahmengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar kepada orang tua itu dankatakanlah kepadanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya akudapat bertemu dengannya. Tetapi aku rasa tidaklah tepat bahwa orangseperti itu harus datang kepadaku, akulah yang akan datang kepadanyadan mengusap penderitaannya dengan janggutku.”
             Aththar juga menceritakan mengenai nasib malang yang menimpakeluarga Rabi’ah. Saat Rabi’ah menginjak dewasa, ayah dan ibunyakemudian meninggal dunia. Jadilah kini ia sebagai anak yatim piatu.Penderitaan Rabi’ah terus bertambah, terutama setelah kota Basrahdilanda kelaparan hebat. Rabi’ah dan suadara-saudaranya terpaksa harusberpencar, sehingga ia harus menanggung beban penderitaan itusendirian.
                Suatu hari, ketika sedang berejalan-jalan di kota Basrah, iaberjumpa dengan seorang laki-laki yang memiliki niat buruk. Laki-lakiitu lalu menarik Rabi’ah dan menjualnya sebagai seorang budak sehargaenam dirham kepada seorang laki-laki. Dalam statusnya sebagai budak,Rabi’ah benar-benar diperlakukan kurang manusiawi. Siang malam tenagaRabi’ah diperas tanpa mengenal istirahat. Suatu ketika, ada seoranglaki-laki asing yang datang dan melihat Rabi’ah tanpa mengenakan cadar.Ketika laki-laki itu mendekatinya, Rabi’ah lalu meronta dan kemudianjatuh terpeleset. Mukanya tersungkur di pasir panas dan berkata: “YaAllah, aku adalah seorang musafir tanpa ayah dan ibu, seorang yatimpiatu dan seorang budak. Aku telah terjatuh dan terluka, meskipundemikian aku tidak bersedih hati oleh kejadian ini, hanya aku inginsekali ridla-Mu. Aku ingin sekali mengetahui apakah Engkau Ridlaterhadapku atau tidak.” Setelah itu, ia mendengar suara yangmengatakan, “Janganlah bersedih, sebab pada saat Hari Perhitungan nantiderajatmu akan sama dengan orang-orang yang terdekat dengan Allah didalam surga.”
                   Setelah itu, Rabi’ah kembali pulang pada tuannya dan tetapmenjalankan ibadah puasa sambil melakukan pekerjaannya sehari-hari.Konon, dalam menjalankan ibadah itu, ia sanggup berdiri di atas kakinyahingga siang hari.
                Pada suatu malam, tuannya sempat terbangun dari tidurnya dandari jendela kamarnya ia melihat Rabi’ah sedang sujud beribadah. Dalamshalatnya Rabi’ah berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku, Engkau-lah Yang MahaMengetahui keinginan dalam hatiku untuk selalu menurutiperintah-perintah-Mu. Jika persoalannya hanyalah terletak padaku, makaaku tidak akan henti-hentinya barang satu jam pun untuk beribadahkepada-Mu, ya Allah. Karena Engkau-lah yang telah menciptakanku.”Tatkala Rabi’ah masih khusyuk beribadah, tuannya tampak melihat adasebuah lentera yang tergantung di atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelaitali pun yang mengikatnya. Lentera yang menyinari seluruh rumah itumerupakan cahaya “sakinah” (diambil dari bahasa Hebrew “Shekina”,artinya cahaya Rahmat Tuhan) dari seorang Muslimah suci.
               Melihat peristiwa aneh yang terjadi pada budaknya itu, majikanRabi’ah tentu saja merasa ketakutan. Ia kemudian bangkit dan kembali ketempat tidurnya semula. Sejenak ia tercenung hingga fajar menyingsing.Tak lama setelah itu ia memanggil Rabi’ah dan bicara kepadanya denganbaik-baik seraya membebaskan Rabi’ah sebagai budak. Rabi’ah pun pamitanpergi dan meneruskan pengembaraannya di padang pasir yang tandus.
              Dalam pengembaraannya Rabi’ah berkeinginan sekali untuk pergike Mekkah menunaikan ibadah haji. Akhirnya, ia berangkat juga denganditemani seekor keledai sebagai pengangkut barang-barangnya. Sayangnya,belum lagi perjalanan ke Mekkah sampai, keledai itu tiba-tiba mati ditengah jalan. Ia kemudian berjumpa dengan serombongan kafilah danmereka menawarkan kepada Rabi’ah untuk membawakan barang-barangmiliknya. Namun, tawaran itu ditolaknya baik-baik dengan alasan takingin meminta bantuan kepada bukan selain Tuhannya. Ia hanya percayapada bantuan Allah dan tidak percaya pada makhluk ciptaan-Nya.
                Orang-orang itu pun memahami keinginan Rabi’ah, sehingga merekameneruskan perjalanannya. Rabi’ah terdiam dan kemudian menundukkankepalanya sambil berdoa, “Ya Allah, apalagi yang akan Engkau lakukandengan seorang perempuan asing dan lemah ini? Engkau-lah yangmemanggilku ke rumah-Mu (Ka’bah), tetapi di tengah jalan Engkaumengambil keledaiku dan membiarkan aku seorang diri di tengah padangpasir ini.”
               Setelah asyik bermunajat, di depan Rabi’ah tampak keledai yangsemula mati itu pun hidup kembali. Rabi’ah tentu saja gembira karenabisa meneruskan perjalannya ke Mekkah.
Dalam cerita yang berbeda disebutkan, saat Rabi’ah berada ditengah padang pasir, ia berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku. Hatiku inimerasa bingung sekali, ke mana aku harus pergi? Aku hanyalah debu diatas bumi ini dan rumah itu (Ka’bah) hanyalah sebuah batu bagiku.Tampakkanlah wajah-Mu di tempat yang mulia ini.” Bgeitu ia berdoasehingga muncul suara Allah dan langsung masuk ke dalam hatinya tanpaada jarak, “Wahai Rabi’ah, ketika Musa ingin sekali melihat wajah-Ku,Aku hancurkan Gunung Sinai dan terpecah menjadi empat puluh potong.Tetaplah berada di situ dengan Nama-Ku.”
                Diceritakan pula, saat Rabi’ah dalam perjalanannya ke Mekkah,tiba-tiba di tengah ia melihat Ka’bah datang menghampiri dirinya.Rabi’ah lalu berkata, “Tuhanlah yang aku rindukan, apakah artinya rumahini bagiku? Aku ingin sekali bertemu dengan-Nya yang mengatakan,’Barangsiapa yang mendekati Aku dengan jarak sehasta, maka Aku akanberada sedekat urat nadinya.’ Ka’bah yang aku lihat ini tidak memilikikekuatan apa pun terhadap diriku, kegembiraan apa yang aku dapatkanapabila Ka’bah yang indah ini dihadapkan pada diriku?” Singkat cerita,sekembalinya Rabi’ah dari menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia kemudianmenetap di Basrah dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadahkepada Allah seraya melakukan perbuatan-perbuatan mulia.
           Sebagaimana yang banyak ditulis dalam biografi Rabi’ahal-Adawiyah, wanita suci ini sama sekali tidak memikirkan dirinya untukmenikah. Sebab, menurut Rabi’ah, jalan tidak menikah merupakan tindakanyang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan tanpa harus dibebani olehurusan-urusan keduniawian. Padahal, tidak sedikit laki-laki yangberupaya untuk mendekati Rabi’ah dan bahkan meminangnya. Di antaranyaadalah Abdul Wahid bin Zayd, seorang sufi yang zuhud dan wara. Ia jugaseorang teolog dan termasuk salah seorang ulama terkemuka di kotaBasrah.
               Suatu ketika, Abdul Wahid bin Zayd sempat mencoba meminangRabi’ah. Tapi lamaran itu ditolaknya dengan mengatakan, “Wahailaki-laki sensual, carilah perempuan sensual lain yang sama denganmereka. Apakah engkau melihat adanya satu tanda sensual dalam diriku?”
               Laki-laki lain yang pernah mengajukan lamaran kepada Rabi’ahadalah Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang Amir Abbasiyah dariBasrah (w. 172 H). Untuk berusaha mendapatkan Rabi’ah sebagai istrinya,laki-laki itu sanggup memberikan mahar perkawinan sebesar 100 ribudinar dan juga memberitahukan kepada Rabi’ah bahwa ia masih memilikipendapatan sebanyak 10 ribu dinar tiap bulan. Tetapi dijawab olehRabi’ah, “Aku sungguh tidak merasa senang bahwa engkau akan menjadibudakku dan semua milikmu akan engkau berikan kepadaku, atau engkauakan menarikku dari Allah meskipun hanya untuk beberapa saat.”
              Dalam kisah lain disebutkan, ada laki-laki sahabat Rabi’ahbernama Hasan al-Bashri yang juga berniat sama untuk menikahi Rabi’ah.Bahkan para sahabat sufi lain di kota itu mendesak Rabi’ah untukmenikah dengan sesama sufi pula. Karena desakan itu, Rabi’ah lalumengatakan, “Baiklah, aku akan menikah dengan seseorang yang palingpintar di antara kalian.” Mereka mengatakan Hasan al-Bashri lahorangnya.” Rabi’ah kemudian mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Jikaengkau dapat menjawab empat pertanyaanku, aku pun akan bersedia menjadiistrimu.” Hasan al-Bashri berkata, “Bertanyalah, dan jika Allahmengizinkanku, aku akan menjawab pertanyaanmu.”
             “Pertanyaan pertama,” kata Rabi’ah, “Apakah yang akan dikatakanoleh Hakim dunia ini saat kematianku nanti, akankah aku mati dalamIslam atau murtad?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahuiyang dapat menjawab.”
              “Pertanyaan kedua, pada waktu aku dalam kubur nanti, di saatMalaikat Munkar dan Nakir menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasanmenjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.”
              “Pertanyaan ketiga, pada saat manusia dikumpulkan di PadangMahsyar di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab) semua nanti akan menerimabuku catatan amal di tangan kanan dan di tangan kiri. Bagaimanadenganku, akankah aku menerima di tangan kanan atau di tangan kiri?”Hasan kembali menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Tahu.”
                “Pertanyaan terakhir, pada saat Hari Perhitungan nanti,sebagian manusia akan masuk surga dan sebagian lain masuk neraka. Dikelompok manakah aku akan berada?” Hasan lagi-lagi menjawab sepertijawaban semula bahwa hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui semuarahasia yang tersembunyi itu.
                 Selanjutnya, Rabi’ah mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Akutelah mengajukan empat pertanyaan tentang diriku, bagaiman aku harusbersuami yang kepadanya aku menghabiskan waktuku dengannya?” Dalampenolakannya itu pula, Rabi’ah lalu menyenandungkan sebuah sya’ir yangcukup indah.
             Damaiku, wahai saudara-saudaraku,Dalam kesendirianku,Dan kekasihku bila selamanya bersamaku,Karena cintanya itu,Tak ada duanya,Dan cintanya itu mengujiku,Di antara keindahan yang fana ini,Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,Dia-lah “mirabku”, Dia-lah “kiblatku”,Jika aku mati karena cintaku,Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,Engkau-lah sumber hidupku,Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini dariku,Harapku dapat menyatu dengan-Mu,Karena itulah hidup kutuju.
               Begitulah, meskipun sebagai manusia, Rabi’ah tak pernah tergodasedikit pun oleh berbagai keindahan dunia fana. Sampai wafatnya, iahanya lebih memilih Allah sebagai Kekasih sejatinya semata ketimbangharus bercinta dengan sesama manusia. Meskipun demikian, disebutkanbahwa Rabi’ah memiliki sejumlah sahabat pria, dan sangat sedikit sekaliia bersahabat dengan kaum perempuan. Di antara sahabat-sahabat Rabi’ahyang cukup dekat misalnya Dzun Nun al-Mishri, seorang sufi Mesir yangmemperkenalkan ajaran doktrin ma’rifat. Sufi ini meninggal pada tahun856 M dan sempat bersahabat dengan Rabi’ah selama kurang lebih setengahabad. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa pertemuan antara Dzun Nunal-Mishri dengan Rabi’ah ini terjadi sejak awal-awal usianya.
                 Di kalangan para sahabat sufi-nya itu, Rabi’ah banyak sekaliberdiskusi dan berbincang tentang Kebenaran, baik siang maupun malam.Salah seorang sahabat Rabi’ah, Hasan al-Bashri, misalnya menceritakan:”Aku lewati malam dan siang hari bersama-sama dengan Rabi’ah,berdiskusi tentang Jalan dan Kebenaran, dan tak pernah terlintas dalambenakku bahwa aku adalah seorang laki-laki dan begitu juga Rabi’ah, takpernah ada dalam pikirannya bahwa ia seorang perempuan, dan akhirnyaaku menengok dalam diriku sendiri, baru kusadari bahwa diriku takmemiliki apa-apa, yaitu secara spiritual aku tidak berharga,Rabi’ah-lah yang sesungguhnya sejati.
                  Dalam kisah lain, diceritakan bahwa pada suatu hari Rabi’ahmelewati lorong rumah Hasan al-Bashri. Hasan melihatnya melalui jendeladan menangis, hingga air matanya jatuh menetes mengenai jubah Rabi’ah.Ia menengadah ke atas, dan berpikir bahwa hari tidaklah hujan, danketika ia menyadari bahwa itu air mata sahabatnya, lalu dihampirinyasahabat yang sedang menangis tersebut seraya berkata, “Wahai guruku,air itu hanyalah air mata kesombongan diri saja dan bukan akibat darimelihat ke dalam hatimu, di mana dalam hatimu air itu akan membentuksungai yang di dalamnya tidak akan engkau dapati lagi hatimu, kecualiia telah bersama dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.” Setelah mendengarkata-kata Rabi’ah itu, Hasan tampak hanya bisa berdiam diri.
                  Di kalangan para sahabatnya, kehidupan Rabi’ah dirasakan banyakmemberi manfaat. Hal ini dikarenakan Rabi’ah banyak sekalimemperhatikan kehidupan mereka. Perhatian Rabi’ah yang cukup besarkepada para sahabatnya itu, misalnya saja dibuktikan dengan kisahsebagai berikut: Suatu ketika, ada seorang laki-laki yang meminta agarRabi’ah mendoakan untuk dirinya. Tapi permohonan itu dibalas olehRabi’ah dengan rasa rendah hati, “Wahai, siapakah diriku ini? Turutlahperintah Allah dan berdoalah kepada-Nya, sebab Dia akan menjawab semuadoa bila engkau memohonnya.”
             Ke-zuhud-an Rabi’ah al-Adawiyah
               Sebagaimana diungkapkan terdahulu, Rabi’ah sejak kecil sudahmemiliki karakter yang tidak begitu banyak memperhatikan kehidupanduniawi. Hidupnya sederhana dan sangat besar hati-hatinya terhadapmakanan apapun yang masuk ke dalam perutnya. Bahkan saking zuhudnya,Rabi’ah sering menolak setiap bantuan yang datang dari para sahabatnya,tetapi sebaliknya Rabi’ah malah menyibukkan diri untuk melayaniTuhannya. Selepas dirinya dari perbudakan, Rabi’ah memilih hidupmenyendiri di sebuah gubuk sederhana di kota Basrah tempatkelahirannya. Ia meninggalkan kehidupan duniawi dan hidup hanya untukberibadah kepada Allah.
               Tampaknya, keinginan untuk hidup zuhud dari kehidupan duniawiini benar-benar ia jalankan secara konsisten. Pernah misalnya Al-Jahiz,seorang sufi generasi tua, menceritakan bahwa beberapa dari sahabatnyamengatakan kepada Rabi’ah, “Andaikan kita mengatakan kepada salahseorang keluargamu, pasti mereka akan memberimu seorang budak, yangakan melayani kebutuhanmu di rumah ini.” Tetapi ia menjawab, “Sungguh,aku sangat malu meminta kebutuhan duniawi kepada Pemilik dunia ini,bagaimana aku harus meminta kepada yang bukan memiliki dunia ini?”Tiba-tiba terdengar suara mengatakan:
                “Jika engkau menginginkan dunia ini, maka akan Aku berikansemua dan Aku berkahi, tetapi Aku akan menyingkir dari dalam kalbumu,sebab Aku tak mungkin berada di dalam kalbu yang memiliki dunia ini.Wahai Rabi’ah, Aku mempunyai Kehendak dan begitu juga denganmu. Akutidak mungkin menggabungkan dua kehendak itu di dalam satu kalbu.”
                  Rabi’ah kemudian mengatakan, “Ketika mendengar peringatan itu,kutanggalkan hati ini dari dunia dan kuputuskan harapan duniawikuselama tiga puluh tahun. Aku salat seakan-akan ini terkahir kalinya,dan pada siang hari aku mengurung diri menjauhi makhluk lainnya, akutakut mereka akan menarikku dari diri-Nya, maka akau katakana, “YaTuhan, sibukkanlah hati ini dengan hanya menyebut-Mu, jangan Engkaubiarkan mereka menarikku dari-Mu.”
                     Sebagai seorang zahid, Rabi’ah senantiasa bermunajat kepadaAllah agar dihindarkan dari ketergantungannya kepada manusia. Namun,perjalanan zuhud yang dialami Rabi’ah tampaknya tidak mudah begitu sajadilalui. Di depan, banyak tantangan dan cobaan yang harus ia hadapi.Kenyataan-kenyataan itu memang wajar, karena sebagai manusia, takmungkin dirinya hanya bergantung kepada Allah semata. Meskipundemikian, Rabi’ah tetap berusaha untuk menghindari apapun bantuan yangdatang selain dari Allah, sehingga sekalipun ia hidup dalam kemiskinan(faqr), namun kemiskinannya dianggap sebagai bagian dari kasih sayangAllah kepada Rabi’ah.
                   Dalam satu kisah misalnya disebutkan, sahabatnya Malik binDinar pada suatu waktu mendapati Rabi’ah sedang terbaring sakit di atastikar tua dan lusuh, serta batu bata sebagai bantal di kepalanya.Melihat pemandangan seperti itu, Malik lalu berkata pada Rabi’ah, “Akumemiliki teman-teman yang kaya dan jika engkau membutuhkan bantuan akuakan meminta kepada mereka.” Rabi’ah mengatakan, “Wahai Malik, engkausalah besar. Bukankah Yang memberi mereka dan aku makan sama?” Malikmenjawab, “Ya, memang sama.” Rabi’ah mengatakan, “Apakah Allah akanlupa kepada hamba-Nya yang miskin dikarenakan kemiskinannya dan akankahDia ingat kepada hamba-Nya yang kaya dikarenakan kekayaannya?” Malikmenyahut, “Tidak.” Rabi’ah lalu kembali mengatakan, “Karena Diamengetahui keadaanku, mengapa aku harus mengingatkan-Nya? Apa yangdiinginkan-Nya, kita harus menerimanya.”
                   Sikap zuhud yang ditampilkan Rabi’ah sesungguhnya tiada lainagar ia hanya lebih mencintai Allah ketimbang makhluk-makhluknya.Karena itu, hidup dalam kefakiran baginya bukanlah halangan untukberibadah dan lebih dekat dengan Tuhannya. Dan, toh, Rabi’ah menganggapbahwa kefakiran adalah suatu takdir, yang karenanya ia harus terimadengan penuh keikhlasan. Kebahagiaan dan penderitaan, demikian menurutRabi’ah, adalah datang dari Allah. Dan dalam perjalanannya sufistiknyaitu, Rabi’ah sendiri telah melaksanakan pesan Rasulullah: “Zuhudlahengkau pada dunia, pasti Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yangada pada manusia, pasti manusia akan mencintaimu.”
                 Cinta Ilahi Rabi’ah al-Adawiyah
               Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memilikinilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufitak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifatmerupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. AbuNashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itutimbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dantanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuanapa pun.
                      Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya takberbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf(takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdikepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untukmasuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdikepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasansurga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cintakepada dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’irRabi’ah sebagai berikut:
                  Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,karena takut pada neraka,maka bakarlah aku di dalam neraka.Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,campakkanlah aku dari dalam surga.Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,yang Abadi kepadaku.
                  Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya,sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah.Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintaiRasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintakukepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.”Rabi’ahjuga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Iamenjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosongsedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan.”
               Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke manasaja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Iamencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, iasering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalamsalah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rbi’ah kepadaTeman dan Kekasihnya itu:
                   Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku,Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.
                Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampaikepada maqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ketahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampauitahapan-tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur.Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanyakepada Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannyaseakan masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian telah disibakkan.Oleh karena itu, Rabi’ah tak henti-hentinya memohon kepada Kekasihnyaitu agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya. Halini sesuai dengan firman Allah: “Dia mencintai mereka dan merekamencintai-Nya” (QS. 5: 59).
                 Dalam kegamangannya itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa danbermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetapmencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya. Doanya:
                Tuhanku, malam telah berlalu dansiang segera menampakkan diri.Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,hingga aku merasa bahagia,Ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.Selama Engkau beri aku hayat,sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,telah memenuhi hatiku.
                Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telahmelupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu sajabukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untukmenuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dandengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanyadan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanyakepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dankemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan jugadi akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinyaberharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalamsya’irnya Rabi’ah mengatakan:
                    Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,Dengan Cinta rindu,kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,Dan bukan selain-Mu.Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,agar aku dapat memandangmu.Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.
             Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atasmengatakan, dalam Cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah danmencintai-Nya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak melaluicerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmatdan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubunganpribadi, dan ia telah berada dekat sekali dengan-Nya dan terbangmeninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya,menanggalkan duniawi kecuali hanya kepada-Nya. Sebelumnya ia masihmemiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap Allah, ia tanggalkannafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam hatinya danDia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah memebaskan hatinya darikeinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini meskipun iamasih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum sesuai untukdianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap sudah dan iaberada di tempat yang mulia. Cintanya kepada Allah tidak memerlukanbalasan dari-Nya, meskipun ia merasa harus mencintai-Nya.
                 Al-Makki melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Diamenampakkan rahmat-Nya di muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitupada saat ia melintasi Jalan itu) dan rahmat Allah itu akan tampak jugadi akhirat nanti (yaitu pada saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dania akan melihat wajah Allah tanpa ada hijab, berhadap-hadapan). Tak adalagi pujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allahsendiri yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia danakhirat) (Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, 1310 H, dalam MargaretSmith, 1928).
                 Rabi’ah dan menjelang hari kematiannya
Dikisahkan, Rabi’ah telah menjalani masa hidup selama kuranglebih 90 tahun. Dan selama itu, ia hanya mengabdi kepada Allah sebagaiPencipta dirinya, hingga Malaikat Izrail menjemputnya. Tentu saja,Rabi’ah telah menjalani pula masa-masa di mana Allah selalu beradadekat dengannya. Para ulama yang mengenal dekat dengan Rabi’ahmengatakan, kehadiran Rabi’ah di dunia hingga kembalinya ke alamakhirat, tak pernah terbersit sedikit pun adanya keinginan lain kecualihanya ta’zhim (mengagungkan) kepada Allah. Ia juga bahkan sedikitsekali meminta kepada makhluk ciptaan-Nya.
                    Berbagai kisah menjelang kematian Rabi’ah menyebutkan, diantaranya pada masa menjelang kematian Rabi’ah, banyak sekali orangalim duduk mengelilinginya. Rabi’ah lalu meminta kepada mereka:’Bangkit dan keluarlah! Berikan jalan kepada pesuruh-pesuruh Allah YangMaha Agung!’ Maka semua orang pun bangkit dan keluar, dan pada saatmereka menutup pintu, mereka mendengar suara Rabi’ah mengucapkankalimat syahadat, setelah itu terdengar sebuah suara: “Wahai jiwa yangtenang, kembalilah kepada Tuhanmu, berpuas-puaslah dengan-Nya. Makamasuklah bersama golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalamsurga-Ku.” (QS. 89: 27-30).
                      Setelah itu tidak terdengar lagi suara apa pun. Pada saatmereka kembali masuk ke kamar Rabi’ah, tampak perempuan tua renta itutelah meninggalkan alam fana. Para dokter yang berdiri di hadapannyalalu menyuruh agar jasad Rabi’ah segera dimandikan, dikafani,disalatkan, dan kemudian dibaringkan di tempat yang abadi.
                      Kematian Rabi’ah telah membuat semua orang yang mengenalnyahampir tak percaya, bahwa perempuan suci itu akan segera meninggalkanalam fana dan menjumpai Tuhan yang sangat dicintainya. Orang-orangkehilangan Rabi’ah, karena dialah perempuan yang selama hidupnya penuhpenderitaan, namun tak pernah bergantung kepada manusia. Setiap orangsudah pasti akan mengenang Rabi’ah, sebagai sufi yang telah berjumpadengan Tuhannya.
                     Karenanya, setelah kematian Rabi’ah, seseorang lalu pernahmemimpikanya. Dia mengatakan kepada Rabi’ah, “Ceritakanlah bagaimanakeadaanmu di sana dan bagaimana engkau dapat lolos dari Munkar danNakir?” Rabi’ah menjawab, “Mereka datang menghampiriku dan bertanya,”Siapakah Tuhanmu?’ Aku katakana, “Kembalilah dan katakan kepadaTuhanmu, ribuan dan ribuan sudah ciptaan-Mu, Engkau tentunya tidak akanlupa pada perempuan tua lemah ini. Aku, yang hanya memiliki-Mu didunia, tidak pernah melupakan-Mu. Sekarang, mengapa Engkau harusbertanya, ‘Siapa Tuhanmu?'”
                    Kini Rabi’ah telah tiada. Perempuan kekasih Ilahi itu meninggaluntuk selamanya, dan akan kembali hidup bersama Sang Kekasih disisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan bumi, tetapi ruh sucinyaterbang bersama para sufi, para wali, dan para pecinta Ilahi.

Habib Luthfi Menolak Keras Gugatan Hasil Muktamar NU



Pimpinan tertinggi JATMAN (Jam'iyyah Ahlut Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah), al-Habib M. Luthfi bin Yahya, usai ditemui Gus Shalah dan utusan KH. Hasyim Muzadi, menolak dengan tegas kubu HM-GS cs untuk menggugat hasil Muktamar dan menuntut Muktamar ulang. Karena secara de facto dan de jure hasil Muktamar NU ke-33 telah sah dan meyakinkan, meskipun banyak kekurangan secara teknis di lapangan.

"Menggugat dan menuntut Muktamar ulang sama saja meruntuhkan ulama dan Nahdlatul Ulama itu sendiri," tutur Habib Luthfi.

Habib Luthfi juga menyatakan kekecewaannya atas mundurnya Gus Mus dari jabatan Rais Aam. Karena, menurut Habib Luthfi, Gus Mus bagi beliau adalah yang terpantas menyandang jabatan tersebut. Dan Habib Luthfi juga menyatakan sangat menyetujui mekanisme AHWA (Ahlul Halli Wal 'Aqdi) diterapkan untuk pemilihan Rais Aam di Muktamar ini. (Kunanfadinaka).

Sebelumnya, dalam suasana Muktamar, Habib Luthfi mampir sejenak di Tebuireng. Usai Maghrib sekitar pukul 18.00, Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan tiba di Tebuireng bersama para pengikutnya. Setelah memasuki komplek Pesantren Tebuireng, Rais Aam Jam’iyah Ahlut Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah itu langsung menuju ke kediaman Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid, Selasa (04/08).

Selesai berbincang dengan Gus Sholah, Habib Luthfi berziarah ke makam Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari di komplek pemakaman Tebuireng. Para peziarah maupun muktamirin pun berebut ingin bersalaman.

Kedatangan Ketua Umum MUI Jawa Tengah itu juga ditemani seorang ulama asal Malang, KH. Abdul Mu’thi. “Beliau tiba habis Maghrib, ke ndalem, lalu ziarah. Setelah itu langsung pulang”, kata seorang satpam Tebuireng. Sekitar pukul 20.00 WIB, setelah berziarah, Habib Luthfi langsung meninggalkan Pesantren Tebuireng dengan mobil hitam berplat nomor N 5 U. (Tebuireng.org)
sumber:

Apa itu Islam NUsantara?

Oleh: Ahmad Baso,
Islam NUsantara bukanlah Islam tandingan, bukan agama baru, bukan pula agama pinggiran atau “Islam lokal” yang dianut kalangan Muslim NUsantara .
Islam NUsantara bukan pula Islam historis. Ketika Islam NUsantara dikatakan Islam historis, maka itu kemudian dipertentangkan dengan “Islam normatif” yang asli dari al-Quran dan Hadits yang kemudian hanya dimiliki kelompok Islam puritan Wahabi! Dikotomi itu hanya membenarkan kelompok puritan yang punya slogan “kembali kepada al-Quran dan Hadits”, selian itu hanya historis yang berubah-ubah di setiap saat!
Berbicara tentang Islam NUsantara adalah berbicara tentang bagaimana Islam sebagai ajaran normatif diamalkan dan diistifadah dalam “bahasa-bahasa ibu” penduduk NUsantara. Jadi sebutan NUsantara bukan menunjukkan sebuah teritori, tapi sebagai paradigma pengetahuan, kerja-kerja kebudayaan dan juga kreatifitas intelektual.

Manhaji Islam NUsantara

Islam NUsantara adalah ma’rifatul ulama-i-l-Indonesiyyin bil-ahkami-sy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha-t-tafshiliyyah; atau, majmu’atu ma’arifil -l- ulama-i-l-Indonesiyyin bil-ahkami-sy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha-t-tafshiliyyah (al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas).
Islam NUsantara sebagai hasil ijma dan ijtihad para ulama NUsantara “dalam melakukan istinbath terhadap al-ahkami-sy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha-t-tafshiliyyah”. Islam NUsantara adalah idrakul hukmi min dalilihi ala sabili-r-rujhan. Islam NUsantara sebagai “mazhab berpikir” para ulama kita tentang bagaimana idrakul hukmi min dalilihi ala sabili-r-rujhan. (Jadi bicara Islam NUsantara justru tidak nyambung dengan bangunan fiqhul kitab wassunah atau fiqih sunnah yang dikampanyekan kalangan puritan wahabi).
Obyek Islam NUsantara sebagai ilmu tentang hal-hal ‘aridhah li dzatil Islam, yakni, al-ahwal al-mansubah ila l-Islam. Apa yang dimaksud yang aridhah? Yakni al-mahmul alasysyai al-kharij ‘an dzatih, atau, al-‘aradh dzati lisyiddati ta’lluqihi bi-dz-dzati, bi an yalhaqal sy syai ldzatihi, seperti penginderaan atau pencerapan inderawi oleh manusia, atau melalui sesuatu yang setara dengan dzat itu, seperti ketawanya manusia karena perantaraan takjub, atau melalui sesuatu yang lebih umum dari itu tapi tetap menjadi bagian integral darinya, yakni melalui posisinya sebagai makhluk.
Posisi Islam NUsantara seperti halnya posisi bermazhab, tidak bisa dilepaskan dari ajaran normatif Islam itu sendiri. Memang ia adalah aradh, terpisah, tapi tidak bisa dilepaskan dari yang normatif itu, karena lisyiddati ta’lluqihi bi dzati-l-Islam. Bahkan untuk memahami dan mengamalkan Islam itu sendiri.
Oleh karena itu ada salah satu kaidah yang relevan tentang Islam NUsantara ini: “Ma la yattimu-l-wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (Islam NUsantara adalah bagian dari yang “bihi, fahuwa wajibun”).
Redaksi aplikatifnya adalah “al-Islam Nusantara huwa: ma la yatimmu-l-Islam illa bihi fahuwa wajibun”. Juga argemen lil wasail hukmul maqashid. Juga ada argumen al-Imam al-Ghazali dalam Kitab al-Mustashfa min Ilmi-l-Ushul (al-kulliyatul-khams).

Contoh-Contoh Ijtihad Islam NUsantara:

  1. Imsak,
  2. Halal bihalal,
  3. Ta’liq thalaq,
  4. Konsep barakah (ziyadah fil-khair – ke barakah Nusantara dalam Hikayat Banjar)
  5. Kaidah al-muhafazhah ala-l-qadimis-sh-shalih

Silsilah dan Sanad Islam NUsantara

Untuk menunjukkan bahwa Islam NUsantara itu bukan Islam pinggiran, bukan Islam yang tidak murni, bukan Islam lokal atau Islam tidak sempurna, salah satu instrumen untuk membuktikan itu adalah sanad dan silsilah kitab dan guru-guru. Contoh Silsilah Syeikh Yasin al-Fadani, ada ratusan ulama Indonesia yang mengambil ilmu dari Syeikh Yasin Isa al-Fadani di Mekah. Berikut sanad beliau hingga ke al-Imam asy-Syafi’i:
  1. Allah subhanahu wata’ala
  2. Malaikat Jibril
  3. Nabi Muhammad shallallahualaihiwasallam
  4. Abdullah bin Mas’ud
  5. Alqamah
  6. Imam Ibrahim an-Nakha’i (wafat 95 H)
  7. Hammad bin Abi Sulaiman (wafat 120 H)
  8. Imam Abu Hanifah (wafat 150 H)
  9. Imam Malik (wafat 179 H)
  10. Al-Imam asy-Syafii (wafat 204 H)
  11. Ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi (wafat 270 H)
  12. Abu al-Abbas Muhammad bin Ya’qub al-Asham
  13. Abu Nuaim al-Asfahani
  14. Abu Ali bin Ahmad al-Haddad
  15. Al-Qadhi Abu al-Makarim Ahmad bin Muhammad al-Labban
  16. Al-Fakhr Abu al-Hasan Ali bin Ahmad ibn al-Bukhari
  17. Ash-Shalah Muhammad bin Abi Umar
  18. Imam al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani
  19. Al-Qadhi Zakariya bin Muhammad al-Anshari
  20. Syeikh Najmuddin Muhammad bin Ahmad al-Ghaithi
  21. Syeikh Salim bin Muhammad as-Sanhuri
  22. Syeikh Syamsuddin Muhammad bin Ala al-Babili
  23. Syeikh Syamsuddin Muhammad bin Salim al-Hifni
  24. Syeikh Abdullah bin Hijazi Syarqawi
  25. Syekih Usman bin Hasan ad-Dimyathi
  26. Syeikh Ahmad Zaini Dahlan
  27. Syeikh Bakri Syatha
  28. Syeikh Muhammad Ali al-Maliki (w 1367 H) + Syekh Umar Hamdan al-Mahrisi + Syekh Umar bin Husain ad-Daghistani (w 1365 H) +
  29. Syekh Hasan bin Sa’id Yamani (wafat 1391 H)
  30. Syekh Yasin Isa al-Fadani
  31. Ulama-ulama Islam NUsantara

Islam NUsantara adalah “Ngluri Leluhur” (Melestarikan Tradisi Leluhur)

Islam NUsantara memberi karakter bermazhab dalam teks-teks para ulama NUsantara untuk menyambungkan kita dengan tradisi leluhur kita, untuk kita hormati, dan untuk meneladani contoh-contoh terbaik yang mereka hasilkan. Itu kalau Anda ingin menghargai jasa para leluhur bangsa ini, yang berjuang dan berbakti demi bangsa ini, tapi kalau tidak bermazhab, tidak punya silsilah atau kedekatan dengan sanad, berarti Anda tidak punya kepekaan dan tidak juga basis kerakyatan. Jadi ngluri leluhur adalah penghargaan terhadap leluhur, para ulama, para pejuang yang berjuang untuk bangsa ini serta para pendahulu yang berjasa.
Islam NUsantara membantu anak-anak bangsa memelihara segenap memori kolektif bangsa ini dari masa lalu tentang kejayaannya, tentang segenap pengalamannya berhadapan dengan bangsa-bangsa asing, hingga membantu mereka mengingat kembali perjuangan orang-orang yang berkorban untuk bangsa dan tanah air ini. Mekanisme untuk itu dilakukan dengan memelihara sejumlah tradisi, ritual, upacara, rasionalitas (ma’quliyah), pengalaman, dan segenap praktik-praktik keagamaan, kesenian dan berkebudayaan yang menghubungkan satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu komunitas ke komunitas lainnya, sehingga solidaritas berbangsa, persatuan dan kebersamaan di antara komponen bangsa ini jadi terjaga.

Mengapa Perlu Ada Islam NUsantara, Tidak Cukupkah Islam Saja?

Karena mengarah pada kesinambungan memori bangsa dan pemeliharaan sumber-sumber kekuatan bangsa ini, maka Islam NUsantara menjadi alat dan mekanisme efektif dan satu-satunya untuk mengembangkan segenap kekuatan dan potensi sumber daya bangsa ini di masa depan, yang nanti akan dituangkan dalam berbagai displin pengetahuan dan lembaga-lembaga ekonomi, sosial, kebudayaan dan politik.
Islam NUsantara adalah sarana untuk membentuk kemampuan bekerja penduduk negeri ini, dan juga sebagai sarana yang utama untuk memahami pengalaman bangsa-bangsa di dunia ini, untuk menguji berbagai kecenderungan (paham, aliran, ideologi, politik) di dunia ini, serta untuk memahami dan membentuk karakter khusus bangsa kita dengan sebuah pandangan untuk membangkitkan segenap kekuatan mereka ke depan dengan sebuah pandangan yang optimis dan kritis

Substansi Islam NUsantara:

  1. Babad Tanah Jawi: Konstruksi Kiai Abdullah bin Abdulkahar al-Bantani abad 17 tentang silsilah dan sanad dalam historiografi Nusantara,
  2. Serat Surya Raja: Konstruksi Putra Mahkota Kraton Yogyakarta [kemudian menjadi Hamengkubuwono II] abad 18 tentang ideologi “Kimudin Arap Jawi” (menegakkan Islam NUsantara ). “Teks Serat Surya Raja [karya Hamengkubuwono II] meramalkan satu solusi akhir dari pemisahan kekuasaan [antara Yogyakarta dan Surakarta] dan masalah kolonialisme Belanda [di NUsantara], yaitu persatuan dan kemenangan penduduk Jawi [NUsantara], yang dimungkinkan oleh keunggulan peradaban Islam Aswaja”

Substansi Historiografi NUsantara: Persatuan dan Titik Temu NUsantara

  1. Serat Jaka Rusul dari abad 19: “Dhewe-dhewe tekatira nanding nora sulaya, kumpul bae maksudira” (meski mereka berbeda-beda, tapi tidak berselisih dan tetap bertemu juga maksudnya).
  2. Jaringan teks-teks Islam NUsantara dari abad 17 dan 18 dalam bahasa Melayu merupakan “petunjuk tentang proses pembentukan ideologi baru di bidang agama dan politik.” (dirumuskan kemudian menjadi “al-Jumhuriyah al-Indonesiyah”)
  3. Serat Wicarakeras karya Kiai Yosodipuro II: “padha Jawa datan arsa” (sadar tidak berperang dan berlawanan dengan sesama anak-anak NUsantara); “[tan] sêsetanan anjaili padha bôngsa” (jangan seperti orang yang setannya mengkhianati sesama anak bangsa sendiri).

Strategi- Strategi Islam NUsantara: “Para Wali Pasemone” (Para Walisongo Berbahasa Takwil)

Artinya:
  1. “Sampun putus patitis” (ahli takwil, jago tafsir dan ahli membuat bahasa kiasan),
  2. “Tan kuciwa ing semu”, tidak pernah luput menangkap makna yang halus dan tersembunyi,
  3. “Limpat ing reh pasang semu”, ahli dan mumpuni dalam seni menghasilkan tanda-tanda dalam berkomunikasi tentang makna dan kebenaran yang tersembunyi.
Disampaikan dalam Daurah Nasional Kader Ahlussunnah wal Jama’ah dengan presentasi berjudul “Islam NUsantara: Qawli, Manhaji, Ideologi”, bertempat di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Jawa Timur, 2 Rabi’ul Awwal 1436 H/ 24 Desember 2015

Sumber :
https://rmi-nu.or.id/nahdlatul-ulama/apa-itu-islam-nusantara-2748.

Makan Bersama Tuhan

Pada suatu hari, beberapa orang dari Bani Israil datang menemui Musa as dan berkata, Wahai Musa, bukankah kau boleh bicara dengan Tuhan? Tolong sampaikan pada-Nya, kami ingin mengundang-Nya makan malam.

Musa marah luar biasa. Ia berkata bahwa Tuhan tidak perlu makan atau minum.

Ketika Musa datang ke Gunung Sinai untuk berbicara dengan Tuhan, Tuhan bersabda,

Mengapa kau tidak menyampaikan kepada-Ku undangan makan malam dari hamba-Ku? Musa menjawab, Tapi Tuhanku, Engkau tidak makan. Engkau pasti tidak akan menerima undangan tolol seperti itu. Tuhan berkata, Simpan pengetahuanmu antara kau dan Aku. Katakan pada mereka, Aku akan datang memenuhi undangan itu.

Turunlah Musa dari Gunung Sinai dan mengumumkan bahwa Tuhan akan datang untuk makan malam bersama Bani Israil. Tentu saja semua orang, termasuk Musa, menyiapkan jamuan yang amat mewah. Ketika mereka sedang sibuk memasak hidangan-hidangan terlezat dan mempersiapkan segalanya, seorang kakek tua muncul tanpa diduga.

Orang itu miskin dan kelaparan. Ia meminta sesuatu untuk dimakan. Para koki yang sibuk memasak menolaknya, Tidak, tidak. Kami sedang menunggu Tuhan. Nanti ketika Tuhan datang, kita makan bersama-sama. Mengapa kamu tidak ikut membantu. Lebih baik kamu ikut mengambilkan air dari sumur!

Mereka tidak memberi apa-apa untuk kakek malang itu. Waktu berlalu tetapi Tuhan ternyata tidak datang. Musa menjadi amat malu dan tidak tahu harus berkata apa kepada para pengikutnya.

Keesokan harinya, Musa pergi ke Gunung Sinai dan berkata, Tuhan, apa yang Kau lakukan kepadaku?

Aku berusaha meyakinkan setiap orang bahwa Kau ada. Kau katakan Kau akan datang ke jamuan kami, tapi Kau ternyata tak muncul. Sekarang tidak ada yang akan mempercayaiku lagi!

Tuhan menjawab, Aku datang. Jika saja kau memberi makan kepada hamba-Ku yang miskin, kau telah memberi makan kepada-Ku. Tuhan bersabda, Aku, Yang tidak akan boleh dimasukkan ke seluruh semesta, boleh dimasukkan ke dalam hati hamba-Ku yang beriman.

Ketika kita berkhidmat kepada hamba Tuhan, kita telah berkhidmat kepada-Nya. Ketika kita mengabdi kepada makhluk, sesungguhnya kita juga mengabdi kepada Sang Khalik.
[ Hakam elchudrie ]


Asal Usul DEWATA

Asal Mula Dewa

Kisah ini merujuk pada judul Serat Mahapurwa. Bisa diartikan sebagai serat/naskah tentang kisah yang sangat awal. Kisah tentang Adam dan kemudian muncul Dewa. Ini fokus pada sosok Sang Hyang Nurcahya yang kemudian menyebut dirinya sebagai Sang Hyang Dewata, Sang Hyang Mahamulia, dan sebagainya. Silakan menikmati.
=====
Serat Mahapurwa menceritakan kisah Sang Hyang Adama, Sang Hyang Sita, Sang Hyang Nurcahya, Sang Hyang Nurasa, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal, beserta Sang Hyang Manikmaya. Dasar serat ini merujuk pada Serat Paramayoga karya Pujangga Ranggawarsita di Surakarta yang merujuk Serat Jitapsara karya Begawan Palasara di Astina dan merujuk Pustaka Darya karya Sang Hyang Nurcahya di Lokadewa.
Sang Hyang Adama
Dikisahkan Sang Hayang Adama, sesudah diturunkan ke alam dunia bersamaan dengan ampunan dosa, menjadi raja di Kusniamalabari, merajai hewan-hewan. Makannya dari para pengikutnya. Sang Hyang Adam menciptakan tahun surya dan tahun candra, kemudian menciptakan Tanajultarki untuk permulaan menanam pada tahun 129 SA atau tahun 133 CA. Tak lama istrinya Sang Hyang Adama, yakni Dewi Hawa melahirkan kembar dampit putra-putri. Kembar  pertama buruk rupa, kedua bagus, ketiga jelek dan keempat baik, kelima jelek, begitu seterusnya sampai empat puluh dua kali, tetapi yang keenam dan keempat satu, tidak kembar.
Setelah punya putra kembar lima, Sang Hayang Adam akan menjodohkan putra-putrinya. Putra yang gagah dijodohkan dengan putri yang jelek. Putri yang cantik dijodohkan dengan putra yang jelak. Jadi tak ada perjodohan dengan kembarannya sendiri.
Sedangkan maksud Dewi Hawa, putra putrinya dijodohkan dengan kembarannya, yang gagah dijodohkan dengan yang cantik, yang jelek dengan yang jelek. Perjodohan ini jadi perselisihan antara Sang Hyang Adama dan Dewi Hawa. Perselisihannya sampai adu kuasa mengeluarkan “rahsa pamuja” yang diwadahi cupumanik dan dimintakan kepada Tuhan.
Setelah sampai pada masanya, cupumanik dibuka. Rahsa pamuja di cupumanik Sang Hyang Adam menjadi bayi namun hanya raga; sedangkan Rahsa pamuja di cupumanik Dewi Hawa berwujud darah/benih. Dewi Hawa merasa sedih atas keadaan itu.
Jabang bayi yang ada di cupumanik Sang Hyang Adam dapat dipastikan menjadi bayi yang sempurna dan ada petunjuk dari Tuhan bahwa nama bayi itu adalah Sang Hyang Sita. Beliau bergembira tiada tara.
Tak lama ada peristiwa menggemparkan, cupumanik Sang Hyang Adam tertiup angin puyuh jatuh di pusat laut hitam. Cupumanik tertangkap oleh Danyang Azazil, raja Banujan yang menguasai laut hitam.
Akhirnya Dewi Hawa patuh pada aturan perjodohan Sang Hyang Adama. Semua putra putrinya semua empat puluh kembar, dan ada yang dua tidak kembar yaitu Sang Hyang Sita dan Dewi Hunun.
Putra Putri Sang Hyang Adama, yaitu
1) Sang Hyang Kabila,
2) Dewi Alima,
3) Sang Hyang Habila,
4) Dewi Damima,
5) Sang Hyang Isrila,
6) Dewi Sarira,
7) Sang Hyang Israwana,
8) Dewi Mona,
9) Sang Hyang Basaradiwana,
10) Dewi Dayuna,
11) Sang Hyang Sita,
12) Sang Hyang Yasita,
13) Dewi Awisa,
14) Sang Hyang Sesana,
15) Dewi Aisa,
16) Sang Hyang Yasmiyana,
17) Dewi Ramsa,
18) Sang Hyang Yanmiyana,
19) Dewi Yarusa,
20) Sang Hyang Suryana,
21) Dewi Siriya,
22) Sang Hyang Amana,
23) Dewi Mahasa,
24) Sang Hyang Kayumarata,
25) Dewi Hindunmaras,
26) Sang Hyang Yajuja,
27) Dewi Majuja,
28) Sang Hyang Lata,
29) Dewi Uzza,
30) Sang Hyang Harata,
31) Dewi Haruti,
32) Sang Hyang Danaba,
33) Dewi Daniba,
34) Sang Hyang Bantasa,
35) Dewi Bintisa,
36) Sang Hyang Somala,
37) Dewi Susia,
38) Sang Hyang Jamaruta
39) Dewi Malki,
40) Sang Hyang Tamakala,
41) Dewi Tamakali,
42) Sang Hyang Adana,
43) Dewi Adini,
44) Sang Hyang Harnala,
45) Dewi Harnila,
46) Sang Hyang Samala,
47) Dewi Samila,
48) Sang Hyang Awala,
49) Dewi Awila,
50) Sang Hyang Astala,
51) Dewi Astila,
52) Sang Hyang Nurala,
53) Dewi Nureli,
54) Sang Hyang Nuhkala,
55) Dewi Nuhkali,
56) Sang Hyang Nuskala,
57) Dewi Arki,
58) Sang Hyang Sarkala,
59) Dewi Sarki,
60) Sang Hyang Karala,
61) Dewi Karia,
62) Sang Hyang Dujala,
63) Dewi Dujila,
64) Sang Hyang Katala,
65) Dewi Katili,
66) Sang Hyang Arkala,
67) Dewi Arkali,
68) Sang Hyang Mrihakala,
69) Dewi Mrihakali,
70) Sang Hyang Ardabala,
71) Dewi Ardiati,
72) Sang Hyang Sanala,
73) Dewi Peni,
74) Sang Hyang Pujala,
75) Dewi Puji,
76) Sang Hyang Sasala,
77) Dewi Sasi,
78) Sang Hyang Sahnala,
79) Dewi Sani,
80) Dewi Hunun,
81) Sang Hyang Sahalanala,
82) Dewi Sahini.
Namun Sang Hyang Kabila, Dewi Alima, Sang Hyang Basaradiwana, Dewi Dayuna, Sang Hyang Lata, Dewi Uzza tidak menurut pada aturan perjodohan Sang Hyang Adama. Sang Hyang Kabila tak sejalan, dan menghendaki dijodohkan dengan kembarannya, yaitu jodoh bagi Sang Hyang Habila. Perbedaan memperebutkan jodoh tersebut sampai kematian. Sang Hyang Habila dikalahkan oleh Sang Hyang Kabila. Setelah adiknya mati, Sang Hyang Kabila termenung memikirkan bagaimana caranya mengubur jasad adiknya. Kemudian ada burung gagak mengaduk-aduk tanah. Sang Hyang Kabila mengikuti burung gagak untuk membuat liang lahat.
Sang Hyang Kabila dan Istrinya Dewi Alima serta Dewi Damima diusir oleh Sang Hyang Adama, lalu mengelana sampai tanah Afrika, dibarengi oleh adiknya Sang Hyang Basaradiwana dan Dewi Dayunan. Demikian juga Sang Hyang Yajuja dan kembarannya Dewi Majuja menyusul Sang Hyang Kabila ke tanah Afrika. Sedangkan Sang Hyang Lata dan Dewi Uzza mengelana ke tanah Asia.
Sang Hyang Sita
Setelah dewasa Sang Hyang Sita diberi jodoh bidadari dari Tuhan. Nama istrinya Dewi Mulat. Rumah tangganya saling asah, asih dan asuh.
Dikisahkan, Danyang Azazil raja Banujan di Laut Hitam akan menjodohkan putrinya yang bernama Dayang Dalajah dengan keturunan Sang Hyang Adama agar bisa berkuasa pada manusia. Danyang Azazil memboyong putrinya ke Kusniamalabari. Dengan kesaktiannya Danyang Azazil, putrinya dirubah rupa menjadi Dewi Mulat. Sedangkan Dewi Mulat yang asil hilang sebab disembunyikan oleh Danyang Azazil.
Terdorong rasa terhadap orang yang dicinta, Sang Hyang Sita bersetubuh dengan Dewi Mulat jadi-jadian. Benih masuk ke dalam rahim Danyang Dalajah, kemudian Dewi Mulat jelmaan kembali ke laut hitam bersama ayahnya Danyang Azazil. Dewi Mulat yang asil sudah muncul lagi, tidur bersama Sang Hyang Sita.
Dewi Mulat mengandung bayi. Hari saatnya melahirkan, sekitar fajar, Dewi Mulat melahirkan kembar, yang pertama laki-laki, yang kedua berupa cahaya. Bersamaan itu juga Dayang Dalajah juga melahirkan berwujud darah, kemudian di bawa ke Kusniamalabari oleh Danyang Azazil.
Darah dan cahaya bergulung menyatu jadi bayi laki-laki yang terselimuti oleh cahaya terang benderang yang menyilaukan.
Kakeknya, Sang Hyang Adama, masih menganggap kedua bayi itu kembar. Yang pertama diberi nama Sang Hyang Nasa, yang kedua Sang Hyang Nurcahya, karena berselimut cahaya.
Setelah dewasa, Sang Hyang Nasa suka pada ilmu agama yang diajarkan oleh kakeknya Sang Hyang Adama. Sedangkan Sang Hyang Nurcahya suka bertapa di hutan, gunung atau di dalam gua.
Sang Hyang Nurcahya suka berkelana melanglang buana, kemudian bertemu Danyang Azazil yang malih rupa menjadi maharesi yang sakti mandraguna. Sang Hyang Nurcahya berguru kepada Danyang Azazil, diajari olah kanuragan, kesaktian, ilmu pengobatan dan sebagainya. Sang Hyang Nurcahya tak hangus oleh apik, tak basah oleh air, hilang tanpa alat, bisa terbang diatas awan, bisa masuk ke bumi dan masuk lautan.
Setelah tamat berguru, Sang Hyang Nurcahya pulang ke Kusniamalabari. Sang Hyang Adama kaget melihat keadaan cucunya. Sang Hyang Nurcahya berbeda dengan kembarannya Sang Hyang Nasa. Namun Sang Hyang Adama tak samar jika itu semua disebabkan oleh Danyang Azazil.
Sang Hyang Adama berkata kepada putranya Sang Hyang Sita menyampaikan jika Sang Hyang Nurcahya akan berpaling dari ajaran agama. Sang Hyang Adama dikarenakan menganut ajaran Danyang Azazil. Sang Hyang Sita diam termangu, menyesal sebab kelakuan Sang Hyang Nurcahya.
Saat umur 900 tahun Sang Hyang Adama meninggal dunia. Semua ilmunya diwariskan kepada Sang Hyang Sita, sedangkan kekuasaannya diserahkan kepada Sang Hyang Kayumarata, putra ketiga belas. Pembagian tersebut didasarkan atas kualitas dari putra-putranya. Sang Hyang Sita menjadi penguasa masalah rohani, sedangkan Sang Hyang Kayumaratan menjadi penguasa urusan jasmani.
Sang Hyang Nurcahya
Meninggalnya sang kakek Sang Hyang Adama menjadikan kaget cucunya Sang Hyang Nurcahya. Apalagi menyesal sebab Sang Hyang Adama mati karena sakit. Seumpama dia masih memakai ilmu Sang Hyang Adama, pasti bakal terkena mati. Kemudian Sang Hyang Nurcahya meninggalkan Kusniamalabari akan mencari ilmu yang tidak kena kematian sehingga hidupnya sehat abadi.
Sang Hyang Nurcahya berkelana sampai keluar bayas negeri Kusniamalabari. Masuk hutan, Sang Hyang bertemu dengan Danyang Azazil. Dia dibantu menuju ke daerah Awinda, yaitu daerahnya para siluman, yang terkenal angker, adanya di pusat bumi, tak pernah tersentuh cahaya. Di sana ada Air Tirtamarta Kamandalu, yaitu air kehidupan yang dari mustika mega.
Sang Hyang Nurcahya dan Danyang Azazil memohon ke Tuhan supa dikasih air Tirta Kamandalu. Kemduian ada mega yang memancarkan air kehidupan dari Lautan Rahmat. Sang Hyang Nurcahya diperintahkan mandi dan minum air Tirtamarta Kamandalu. Sang Hyang Nurcahya tanpa wadah. Danyang Azazil memberi wadah Cupumanik Astagina yang sebenarnya kepunyaan Sang Hyang Adama waktu tertiup angin sampai ke pusat lautan hitam daerah kekuasaan Danyang Azazil. Cupumanik Astagina punya kesaktian yang didalam wadahan tak bakalan habis.
Kemudian Sang Hyang Nurcahya keluar dari daerah Awinda, dan Danyang Azazil hilang. Sang Hyang Nurcahya meneruskan perjalanan seorang diri. Di sebuah daerah dia menemukan sebuah pepohonan yang akarnya bisa menyebabkan hidup kembali, kembali ke asal, kerbau pulang ke kandang, sumber kehidupan alam dunia, yang mendapat sebutan Lata Maosadi.
Di saat Sang Hyang Nurcahya mau pulang ke Kusniamalabari bingung, tak ingat jalannya. Dia tersesat mengelana, bertemu jurang, gunung dan hutan belantara.
Di suatu hari dia sampai di pantai, dan melihat ada dua makhluk di atas lautan. Sang Hyang Nurcahya meluncur di atas air mendekati. Yang satu bernama danyang Haruta dan kedua Danyang Maruta. Dulunya, makhluk itu namanya Sang Hyang Isyana dan Sang Hyang Isaya yang mendapat hukuman dari Tuhan sebagai hukumannya menjadi banujan yaitu bangsa jin.
Danyang Haruta dan Danyang Maruta mengajarkan Sang Hyang Nurcahya masalah bumi, hari, bulan, bintang, yang disebut ilmu falakiah dan ilmu hikmah.
Sang Hyang Nurcahya berkisah jika dia ingin ke surga. Danyang Haruta dan Danyang Maruta bercerita jika sruga itu adanya di hulu sungai yang besar di daerah Afrika. Sang Hyang Nurcahya percaya saja pada dongen itu, kemudian berkelana ke surga yang ada di sungai itu.
Sang Hyang Nrucahya bertemu dengan paman dan bibinya, yaitu putra-putri Sang Hyang Adama yang kelima belas bernama Sang Hyang Lata dan Dewi Uzza saat bertapa di sisi sungai tersebut. Sang Hyang Nurcahya bercerita jika dia adalah putra Sang Hyang Sita. Sang Hyang Lata dan Dewi Uzza menerima kedatangan Sang Hyang Nurcahya, kemudian diajari ilmu “kawruh sak durunge winarah” semua yang sudah dan bakal terjadi.
Kemudian Sang Hyang Nurcahya meneruskan mencari surga sampai ke telaga di hulu sungai yang ada di puncak gunung Kaspia. Sang Hyang Nurcahya bingung, sebab taka ada tanda-tanda surga.
Ada suara dari dalam kawah gunung Kaspia yang mana apinya menyala, mengaku jika suara itu suara Tuhan Penguasa Bumi yang memiliki surga dan neraka. Suara itu adalah suara Danyang Azazil yang berubah warna. Sang Hyang Nurcahya masuk ke permata bernama Ratnadumilah, melihat keindahan semua isi surga.
Setelah keluar dari permata, Danyang Azazi yang berubah menyamar menjadi Tuhan Amurma Bumi (Penguasa Bumi) memberikan Ratnadumilah kepada Sang Hyang Nurcahaya. Kesaktian permata tersebut semuanya yang dikehendaki bisa terwujud, yang diharapkan datang, tidak kena sakit. Kemudian Sang Hyang Nurcahya diajari ilmu menitis pangiwa, memasuki akhir kematian, dan jalannya cakramanggilingan.
Sang Hyang Nurcahya tidak mau pulang ke Kusniamalabari. Danyang Azazil menunjukkan sebuah tempat yang bisa ditinggali oleh Sang Hyang Nurcahya yang disebut Lokadewa. Kemudian Sang Hyang Nurcahya pergi ketempat itu.
Di Lokadewa, Sang Hyang Nurcahya meneruskan tapanya di puncak gunung. Di saat fajar menghadap timur, di tengah hari menghadap ke atas, saat sore menghadarp ke barat. Lama tapanya tujuh tahun, sampai meraga sukma masuk ke dalam alam kosong, yakni alam Banujan. Sang Hyang berada dalam alam tersebut selama 1000 tahun.
Dikisahkan ada satu raja jin yang menguasai Lokadewa bernama Danyang Maladewa, putranya Danyang Harataketu. Dia saat mengelilingi bumi melihat ada cahaya bersinar bukan matahari bukan binta seperti permata bukan rembulan, tetapi cahaya sukma keturunan Sang Hyang Adama.
Danyang Maladewa mau memegang cahaya itu namun tak bisa. Kemudian menjadi pertempuran dan sukma cahaya itu mengaku-aku Amurbamisesa Alam. Danyang Maladewa kalah tunduk pada Sang Hyang Nurcahya, yang kemudian memperistri putrinya Danyang Maladewa yang disebut Dewi Mahamuni. Semua keluarga dan balatentara Danyang Maladewa sama2 menghadap tunduk ke Sang Hyang Nurcahya yang disebut Dewata yaitu guru mulia Lokadewa. Itulah awalmulanya disebut Sang Hyang menjadi sebutan yang dipakai oleh Sang Hyang Nurcahya.
Dicertiakan Sang Hyang Nurcahya bergelar Sang Hyang Dewata, Sang Hyang Dewapamungkas, Sang Hyang Atmadewa, Sang Hyang Sukmakawekas, Sang Hyang Amurbengrat, Sang Hyang Manon, Sang Hyang Permana, Sang Hyang Permata, Sang Hyang Mahawidi, Sang Hyang Mahasidi, Sang Hyang Mahamulia, Sang Hyang Kahanantunggal, Sang Hyang Jagatmurtitaya, adalah putra Sang Hyang Sita, cucu Sang Hyang Adama.
Sang Hyang Nurcahya punya putra tunggal dari istrinya Dewi Mahamuni, yang namanya Sang Hyang Nurasa sebab tercipta dari cahaya dan rahsa (benih/rahsa) yang disirami air Tirtamarta Kamandalu.
Sang Hyang Nurasa
Setelah Sang Hyang Nurasa dewasa, kemudian Sang Hyang Nurcahya mewariskan kerajaan kepada putranya dan memberi Cupumanik Astagina, Lata Maosadi, dan Ratnadumilah. Sang Hyang Nurcahya kemudian mencipta Pustaka Darya, yaitu kitab pengingat hari, mantra tanpa suara, suara tanpa tulisan, yang menceritakan tentang dirinya. Psuta Darya juga dikasihkan kepada Sang Hyang Nurasa.