Rindu Yang Tak Pernah Layu

Oleh : Azmat Maula


Di atas sepeda motor butut merk Smash yang ku kendarai, dengan helm biru pelindung kepala, jaket tebal lusuh tanpa mengenakan sepatu seperti layaknya para pemudik dari jakarta menuju kampung halaman tercinta, saat itu aku hanya memakai sendal jepit merk swallau, merk legendaris sejak tahun70 an yang biasa dijadikan sasaran Ghosob para santri mbeling. dibawah terik matahari waktu istiwa, seakan membakar seluruh tubuh, apalagi motor yang kukendarai belum ganti oil selama lebih dari tiga bulan, membuat kaki yang hanya mengenakan sandal jepit seakan gosong terpanggang mesin suzuki yang meskipun butut tapi masih lumayan tangguh, untuk sekedar menyalip tukang becak yang sedang ngebut mengangkut karung2 besar yang berisi kain dari pasar Tegalgubug menuju rumah juragan2 kain. Ah… sampai juga aku di desa yang menyimpan berjuta kenangan baik suka ataupun duka, senang dan susah, cinta ataupun benci, ah pokok nya di setiap jengkal tanah desa ini terukir kisah hidup ku.
Dari atas jembatan kali gede Desa Tegalgubug, di sebelah utara diatas tebing sungai yang penuh bebatuan nampak indah dan asri sebuah bangunan makam, yang dulu ketika aku pertama menginjakkan kaki di komplek makam ini, hanyalah sebuah gubuk kecil yang penuh dengan Kalong ( kelelawar ) berukuran agak besar, terbang kesana kemari disekitar makam dan keluar masuk melalui lobang di atas pintu yang berukuran kurang lebih satu meter yang terkadang menabrak para peziarah, setiap aku dan para santri yang lain masuk untuk berziarah, terpaksa harus merunduk satu persatu meskipun dulu aku masih kecil karena memang ukuran pintu yang pendek dan sempit memaksa para peziarah harus merunduk ketika masuk. Ki Gede Suro Pati alias Ki Buntel mayit alias Syeikh singa sayagh sayuda alias Syeikh Muhyiddin Waliyulloh, sederet nama-nama itu adalah milik seorang Ulama besar sekaligus senopati agung yang tangguh juga murid Syeikh Syarif Hidayatulloh Sunun Gunung Jati, ialah pendiri desa Tegalgubug yang makamnya kini begitu indah dan asri menciptakan suasana nyaman para peziarah.
Motor Smash pun kulajukan dengan pelan lalu kubelokkan kearah jalanan yang hanya cukup dilalui sebuah mobil box pengangkut kain, sejenak aku berhenti untuk sekedar memberikan hadiah Fatihah untuk Ki Gede Suro, lalu perjalananpun berlanjut melalui jalan yang berkelok, dengan sisi yang terjal, sebelah kanan dan kiri penuh rimbunan pohon masih sama seperti dulu tak terawat. Terlintas dalam kenangan dulu Para santri dan penduduk Rembes selalu berduyun2 untuk berziarah kubur setiap kamis sore melalui jalan ini hanya saja dulu belum sehalus jalan sekarang ini, begitupun ketika musim hujan tiba aku dan teman2 santri berlarian dibawah guyuran hujan diatas tanah becek rerumputan mengejar Belalang dengan bermodalkan sebuah raket badminton atau hanya sebilah kayu sambil sesekali terjatuh kerana jalanan licin, rasa sakit pun sirna segera ketika seekor belalang tertangkap, “Far… mana plastiknya, aku dapat satu nih…”.
“Tumben lo Men dapat belalang biasanya takut ama jentik nya…ha..ha..ha..” ledek Ja’far anak tetangga desaku sambil berlari membawa plastik yang mungkin bekas bungkus sampah. Ah bodo amat yang penting halal…
“Far, mana si Osep ? tadi dia bareng sama kita, kan? Apa mungkin dia lagi godain Iis, anak kebon kelapa itu, yang kemaren kita kenalan di Tegalan Jambu,kita kesana yo…!
“Emeeen… sini…di cari ama Iiiis…” dari arah sungai kaligede suara Osep yang cempreng memanggilku, ternyata di bawah jembatan dekat lempengan batu2 besar, beberapa gadis sedang mandi masih mengenakan pakaian karena mereka pun habis hujan2an, pakaian dalam mereka nampak sekali apa lagi Iis mungkin diantara mereka dia yang paling Cantik, dengan pakaian tipis, rambut panjang basah terurai, nampak kulit putih mulus bagian bawah ketika tanpa sengaja aku lihat saat dia terjatuh, entah kenapa hatiku berdetak kencang ketika dia melambai ke arahku, “Men, sini tolong aku mau turun kebawah licin banyak lumut nya,” rengek Anis, dengan senang hati akupun mendekatinya yang sedang siap2 mengulurkan tangan nya, “Ayo Nis pelan2 sambil pegangan yang erat….” Tiba2 kakiku tergelincir dan tak sanggup menjaga kseimbangan akhirnya “ Byur…” Aau…tolong ..Men…” Anis terbawa arus sungai yang lumayan deras, beruntung aku dapat menangkap pergelangan tangan nya, “Makasih banyak, Men…” ujar Anis lemas sambil memberesi pakaian nya yang acak2an namun entah mengapa dia malah tersenyum tak ku mengerti, lalu tanpa basa-basi dia langsung menggenggam hangat jemariku……..
“Tin…tin…tin…teka kapan Mennn…? Suara klakson dan sapaan khas anak Rembes membuyarkan lamunanku, “eh… Dau teka Dad, sira pan mendi? “. “Meng Nangun, ayo Men ” jawab Amdad sambil tancap gas. Kenangan yang seakan kembali terulang tak terasa mengantarku ke Pondok Pesantren Nahjul Hidayah. Rembes Tegalgubug Cirebon.
Ku parkir sepeda motorku di depan pintu masuk Pondok, suara Adzan Dzuhur mang Anas Kumis dengan gaya maritiman, mengalun menyeretku ke alam Tigabelas tahun silam saat kang Kholili selaku Kepala Pondok juga kang Nasrudin selaku Keamanan Pondok dengan sejadah tebal menggobrag para santri setiap waktu sholat tiba, saat sebagian santri tidur Qoilulah ( sedikit waktu menjelang Dzuhur) sedangkan yang lain santai di teras belakang sambil memandang sumur dekat sawah tempat mencuci pakaian warga Rembes diantaranya Sofat, Sukriyah dan gadis2 lain yang tiap hari mencuci pakaian sambil bersenda gurau, sebagaimana biasa aku dan santri yang lain nongkrong2 selepas ngaji kitab Tafsir al Jalalain setiap mulai jam 8.30 pagi, sampai selesai jam 10 yang langsung dibacakan oleh Mama Kuri ( Syaikhuna KH.Masykuri Mas’ud ) Pengasuh sekaligus Pendiri Pondok Pesantren sejak tahun 70 an, selepas ngaji salah seorang santri baru asal subang yang bernama Ali Khoer sebagaimana biasa Memasak didapur untuk persiapan makan siang sambil menenteng kastrol / panci dengan memakai sarung sebatas lutut sambil sesekali berdendang sya’ir2 Nadzom ‘Awamil dengan gaya lagu manuk dadali, seolah tak mau ketinggalan Sa’id santri likwo ( cilik tuwo) asal kalimantan, mengiringi Nadzoman Ali Khoer dengan alat musik khas pesantren yaitu baskom, piring, ember dan alat dapur lainnya, Mimi Hj As sekembali dari menengok kebun dibelakang pondok, hanya tersenyum melihat olah santrinya yang layaknya anak band sedang konser di dapur yag lebih mirip gudang yang penuh tumpukan kain-kain bekas, yang dimanfaatkan untuk bahan bakar memasak sementara santri lain bersembunyi di balik pintu-pintu kamar dan jendela belakang pondok

Bersambung dulu ah

1 komentar:

  1. Duh...kapan endinge kien cerita kihh...maaf yaa lagi nyari sumber inspirasi dulu...

    BalasHapus