Takbir Cinta Jahrana ( Habiburrahman El Sirozy)



(Sebuah Novelet Pembangun Jiwa)

Matanya berkaca-kaca. Kalau tidak ada kekuatan iman
Ujian yang ia derita sangat berbeda dengan orangorang
seusianya. Banyak yang memandangnya sukses.
Hidup berkecukupan. Punya pekerjaan yang terhormat
dan bisa dibanggakan. Bagaimana tidak, ia mampu
meraih gelar master teknik dari sebuah institut
teknologi paling bergengsi di negeri ini. Dan kini ia
dipercaya duduk dalam jajaran pengajar tetap di
universitas swasta terkemuka di ibukota Propinsi Jawa
Tengah: Semarang.

Satu
Tidak hanya itu, ia juga pernah mendapatkan
penghargaan sebagai dosen paling berdedikasi di
kampusnya. Ia sangat disegani oleh sesama dosen dan
dicintai oleh mahasiswanya. Ia juga disayang oleh
keluarga dan para tetangganya. Bagi perempuan
seusianya, nyaris tidak ada yang kurang pada dirinya.
Sudah berapa kali ia mendengar pujian tentang
kesuksesannya. Hanya ia seorang yang tahu bahwa
sejatinya ia sangat menderita.
Ada satu hal yang ia tangisi setiap malam. Setiap kali
bermunajat kepada Sang Pencipta siang dan malam. Ia
menangisi takdirnya yang belum juga berubah. Takdir
sebagai perawan tua yang belum juga menemukan
jodohnya. Dalam keseharian ia tampak biasa dan ceria.
Ia bisa menyembunyikan derita dan sedihnya dengan
sikap tenangnya.
Ia terkadang menyalahkan dirinya sendir kenapa tidak
menikah sejak masih duduk di S.l dahulu? Kenapa tidak
berani menikah ketika si Gugun yang mati-matian
mencintainya sejak duduk di bangku kuliah itu
mengajaknya menikah?
Ia dulu memandang remeh Gugun. Ia menganggap Gugun
itu tidak cerdas dan tipe lelaki kerdil. Sekarang si
Gugun itu sudah sukses jadi pengusaha cor logam dan
baja di Klaten. Karyawannya banyak dan anaknya sudah
tiga. Gugun sekarang juga punya usaha Travel Umroh di
Jakarta. Setiap kali bertemu, nyaris ia tidak berani
mengangkat muka.

Kenapa juga ketika selesai S.l ia tidak langsung
menikah? Kenapa ia lebih tertantang masuk S.2 di ITB
Bandung? Padahal saat itu, temannya satu angkatan si
Yuyun menawarkan kakaknya yang sudah buka kios
pakaian dalam di Pasar Bringharjo Jogja. Saat itu
kenapa ia begitu tinggi hati. Ia masih memandang
rendah pekerjaan jualan pakaian dalam. Sekarang
kakaknya Yuyun sudah punya toko pakaian dan sepatu
yang lumayan besar di Jogja. Akhirnya ia menikah
dengan seorang santriwati dari Pesantren Al Munawwir,
Krapyak.
Dan sekarang telah membuka SDIT di Sleman. Apa
sebetulnya yang ia kejar? Kenapa waktu itu ia tidak
juga cepat dewasa dan menyadari bahwa hidup ini
berproses.
Ia meneteskan airmata. Dulu banyak mutiara yang
datang kepadanya ia tolak tanpa pertimbangan. Dan kini
mutiara itu tidak lagi datang. Kalau pun ada seolah-olah
sudah tidak lagi tersedia untuknya. Hanya bebatuan
dan sampah yang kini banyak datang dan membuatnya
menderita batin yang cukup dalam.
Matanya berkaca-kaca. Ketika ia sadar harus rendah
hati. Ketika ia sadar prestasi sejati tidaklah sematamata
prestasi akademik. Ketika ia sadar dan ingin
mencari pendamping hidup yang baik. Baik bagi dirinya
dan juga bagi anak-anaknya kelak. Ketika ia sadar dan
ingin menjadi Muslimah seutuhnya. Ketika ia menyadari,
semua yang ia temui kini, adalah jalan terjal yang
panjang yang menguji kesabarannya.
Umurnya sudah tidak muda lagi. Tiga puluh empat
tahun. Teman-teman seusianya sudah ada yang memiliki
anak dua, tiga, empat, bahkan ada yang lima. Adik-adik
tingkatnya, bahkan mahasiswi yang ia bimbing
skripsinya sudah banyak yang nikah. Sudah tidak
terhitung berapa kali ia menghadiri pernikahan
mahasiswinya. Dan ia selalu hanya bisa menangis iri
menyaksikan mereka berhasil menyempurnakan separo
agamanya.
Hari ini ia kembali diuji. Seseorang akan datang.
Datang kepada orangtuanya untuk meminangnya. Ia
masih bimbang harus memutuskan apa nanti. Ia sudah
sangat tahu siapa yang akan datang. Dan sebenarnya ia
juga sudah tahu apa yang harus ia putuskan. Meskipun
pahit ia merasa masih akan bersabar meniti jalan terjal
dan panjang sampai ia menemukan mutiara yang ia
harapkan. Tapi bagaimana ia harus kembali memberikan
pemahaman kepada ayah-ibunya yang sudah mulai
renta?
Hand phone-nya berdering. Dengan berat ia angkat,
"Zahrana?" Suara yang sangat ia kenal. Suara Bu
Merlin, atasannya di kampus. Bu Merlin, ataulengkapnya
Ir. Merlin Siregar M.T., adalah Pembantu Dekan I. Ia
orang kepercayaan Pak Karman. Sejak SMA ia di
Semarang, jadi logat Bataknya nyaris hilang. Bahasa
Jawanya bisa dibilang halus.
"Iya Bu Merlin." Jawabnya dengan airmata menetes di
pipinya.
"Saya dan rombongan Pak Karman sudah sampai
Pedurungan. Dua puluh menit lagi sampai."
"Iya Bu Merlin." Jawabnya hambar, dengan suara
serak.
"Suaramu kok sepertinya serak. Sudahlah Rana,
bukalah hatimu kali ini. Pak Karman memiliki apa yang
diinginkan perempuan. Dia sungguh-sungguh berkenan
menginginkanmu."
"Iya Bu Merlin, semoga keputusan yang terbaik nanti
bisa saya berikan."
"Baguslah kalau begitu. Gitu dulu ya. O ya jangan lupa
dandan yang cantik." Klik. Tanpa salam.
Kali ini yang datang melamarnya bukan orang
sembarangan. Pak H. Sukarman, M.Sc., Dekan Fakultas
Teknik, orang nomor satu di fakultas tempat dia
mengajar. Duda berumur lima puluh lima tahun. Status
dan umur baginya tidak masalah. Sudah bertitel haji.
Kredibilitas intelektualnya tidak diragukan. Materi tak
usah ditanyakan. Di Semarang saja ia punya tiga pom
bensin. Namun soal kredibilitas moralnya, susah
Zahrana untuk memaafkannya. Repotnya, jika ia
menolak ia sangat susah untuk menjelaskan. Ia harus
berkata bagaimana.
Ia telah membicarakan hal ini pada kedua sahabat
karibnya. Si Lina, yang kini jualan buku-buku Islami di
Tembalang. Dan si Wati yang kini jadi isteri lurah
Tlogosari Kulon. Lina berpendapat untuk tidak
mengambil risiko dengan menerima orang amoral
seperti Pak Karman itu. Apapun titel dan jabatannya.
Moral adalah nyawa orang hidup. Jika moral itu hilang
dari seseorang, ia ibarat mayat yang bergentayangan.
Itu pendapat Lina.
Sedangkan Wati lain lagi, menurutnya sudah saatnya ia
tidak melangit. Mencari manusia setengah malaikat itu
hal yang mustahil. Selama Pak Karman masih shalat dan
puasa ya terima saja. Apalagi ia orang terpandang. Dan
juga kesempatan seperti ini tidak selalu datang.
Terakhir Wati bilang, "Siapa tahu dengan menikah
denganmu, Pak Karman berubah. Dan di hari tuanya ia
sepenuhnya membaktikan umurnya untuk kebaikan.
Bukankah itu bagian dari dakwah yang agung
pahalanya?"
Ia belum bisa mengambil keputusan. Kata-kata Wati
selalu terngiang-ngiang di telinganya. Ia nyaris
memutuskan untuk menerima saja lamaran Pak Karman.
Namun jika ia teringat apa yang dilakukan Pak Karman
pada beberapa mahasiswi yang dikencaninya diam-diam,
ia tak mungkin memaafkan. Jika sudah demikian
tibatiba wajah keriput kedua orangtuanya muncul
dengan sebuah pertanyaan, "Kowe mikir opo Nduk?
Kowe ngenteni opo? Dadine kapan kowe kawin, Nduk?"1
***
Lima menit sebelum rombongan Pak Karman datang,
Zahrana berbicara kepada kedua orangtuanya. Ia minta
kepada mereka pengertiannya jika ia nanti mengambil
keputusan yang mungkin tidak melegakan mereka
berdua. Diberitahu seperti itu kedua orangtuanya
menangkap apa yang akan terjadi. Dan mereka kembali
pasrah dalam kekecewaan. Namun mereka tetap
berharap akan terjadi hal yang membahagiakan.
Mereka berdoa, kali ini semoga keputusan putri semata
wayang mereka lain dari sebelum-sebelumnya. Semoga
hatinya terbuka. Segera menikah. Dan segera lahir
cucu yang jadi penerus keturunan.
Kamu mikir apa, Anakku? Kamu menunggu apa? Kapan
kamu menikah, Anakku?
la meneguhkan jiwa, menata hati. la juga memprediksi
gaya bahasa yang akan disampaikan pihak Pak Karman.
Dan menyiapkan bahasa yang tepat untuk menjawab. la
juga tidak lupa menyiapkan hidangan yang pantas untuk
menghormati tamu. Ruang tamu telah ia rapikan. Bungabunga
ia tata, dan sarung bantal ia ganti dengan yang
baru. Tuan rumah harus bisa menjaga kehormatan. Dan
ia kembali meneguhkan prinsipnya dalam menghadapi
siapapun: harus tenang, bicara yang tepat, rendah hati
dan santun. Itulah senjata para pemenang. Dan ia harus
menang. Ia teringat perkataan Napoleon Hill,
"Kebijakan yang sesungguhnya, biasanya tampak melalui
kerendahan hati dan tidak banyak cakap."
Ia kini tampak tegar. Tak ada lagi airmata. Mental yang
ia siapkan adalah mental seorang dosen pembimbing
yang siap maju sidang membela mahasiswanya
mempertahankan skripsinya. Ia sangat yakin akan
kekuatannya.
Ia berdandan secukupnya. Ia pakai jilbab hijau muda
kesayangannya. Sangat serasi dengan gamis bordir
hijau tua bermotif bunga melati putih kecil-kecil.
Hanya dirinya dan kedua orangtuanya yang akan
menyambut. Ia merasa tak perlu mengundang para
kerabat. Sebab seperti yang telah lalu, jika terjadi hal
yang tidak memuaskan hanya akan jadi gunjingan
panjang tak berkesudahan. Ia tak ingin itu terjadi lagi.
Ia ingin para kerabat diundang hanya untuk yang sudah
jadi. Yang tak ada ruang bagi mereka berbincang
kecuali kebaikan. Kali ini yang ia undang justru dua
orang ibu-ibu yang biasa membantu keluarganya selama
ini.
Rombongan Pak Karman datang tepat jam setengah lima
sore. Tidak main-main. Empat mobil. la harus mengakui
kehebatan Bu Merlin mengorganisir ini semua. Juga
keberhasilan Bu Merlin memprovokasi Pak Karman
untuk nekat seperti ini. Ayah ibunya tampak kaget.
Tidak menduga yang datang akan sebanyak ini dan
seserius ini. Untung ruang tamu rumah orangtuanya
cukup luas.
Hanya tiga orang yang tidak dapat tempat duduk.
Terpaksa duduk di beranda. la yakin tujuan Bu Merlin
baik, hanya saja Bu Merlin tidak tahu visi hidupnya saat
ini. Bukan sekadar materi dan kedudukan yang ia
harapkan dari calon suaminya. la mencari calon suami
yang bisa dijadikan imam. Imam yang menjadi bagian
tak terpisahkan dalam ibadahnya kala mengarungi
kehidupan. Karena itulah posisinya benar-benar sulit
kali ini. Bu Merlinlah yang selama ini banyak
membantunya di kampus. Dia jugalah yang dulu memberi
bocoran adanya lowongan dosen di kampusnya.
Rombongan telah duduk tenang. Pak Karman menyukur
bersih kumis dan cambangnya. Ia tampak lebih muda
dari biasanya. Koko biru muda dan peci hitam
membuatnya tampak alim. Seorang lelaki setengah
baya, mengaku sebagai adiknya Pak Karman, namanya
Pak Darmanto mengawali pembicaraan. Unggah-ungguh
dan basa-basi berjalan. Ia sendiri lebih banyak diam.
Tak bicara jika tidak perlu bicara. Ibunya yang
biasanya memang cerewet yang banyak mengimbangi
bicara.
Sesekali ada lelucon-lelucon yang menghangatkan
suasana. Makanan dan minuman dikeluarkan oleh dua
orang ibu-ibu yang rapi berkerudung. "Tape ketan ini
dibuat oleh anakku, si Zahrana ini dengan penuh cinta.
Siapa yang memakannya insya Allah awet muda." Ibunya
melucu sambil mempersilakan tamu-tamunya menikmati
hidangan seadanya. Mendengar hal itu spontan Pak
Karman berkomentar dengan gaya lucu,
"Sebelum yang lain mengambil saya dulu yang harus
mencicipi. Agar awet muda dan bisa menyunting
bidadari."
Spontan perkataan itu disambut tertawa semua yang
hadir, kecuali dirinya. Entah kenapa perkataan itu
menurutnya tidak lucu. Perkataan itu seperti sampah
yang hendak dijejalkan ke telinganya. Bagaimana
mungkin ia hidup bersama orang yang suaranya saja
tidak mau ia dengar.
Lima belas menit basa-basi akhirnya Pak Darmanto,
juru bicara Pak Karman, masuk pada inti kedatangan,
"...dan maksud kedatangan kami adalah untuk
menyambung persaudaraan dan kekeluargaan dengan
keluarga Bapak Munajat. Kami bermaksud menyunting
putri Bapak Munajat, yaitu Dewi Zahrana untuk
saudara kami Bapak H. Sukarman, M.Sc. Alangkah
bahagianya jika maksud dan tujuan kami dikabulkan."
Ayahnya menjawab dengan suara rentanya yang
terbata-bata,
"Pertama....tama, ka...kami sekeluarga menyampaikan
rasa terima kasih atas silaturrahminya. Kami juga
bahagia. Bagi ka..kami lamaran ini adalah suatu bentuk
penghormatan. Dan jika bisa kami akan membalasnya
dengan penghormatan yang le..lebih baik. Namun
masalah jodoh hanya Allahlah yang mengatur. Putri
kami sudah sangat dewasa. Dia lebih berpendidikan
daripada kami berdua. Dia bisa memutuskan sendiri
mana yang baik baginya. Itu yang bisa kami sampaikan."
Masalah sudah jelas. Semua tamu melihat ke arahnya.
la tahu bola sekarang ada di tangannya. Dialah sekarang
yang paling berkuasa di majelis itu. la berusaha untuk
tenang. Setenang ketika ia membantu argumen
mahasiswa yang dibelanya dalam sidang skripsi,
"Saya pernah mendengar Baginda Nabi Muhammad
Saw., pernah bersabda, 'Al 'ajalatu minasy syaithan.
Tergesa-gesa itu datangnya dari setanl' Saya tidak
mau tergesa-gesa. Saya tidak mau mengecewakan
siapapun. Termasuk diri saya sendiri. Maka
perkenankan saya untuk menjawabnya tiga hari ke
depan. Saya akan langsung sampaikan kepada Pak
Karman yang saya hormati. Maafkan jika saya tidak
bisa menjawab sekarang."
Ada sedikit gurat kekecewaan di wajah Pak Darmanto
dan Pak Karman. Namun keduanya tidak bisa bersikap
apapun kecuali setuju. Bu Merlin tersenyum tanda
setuju. Yang lain bisa memahami dan memaklumi.
Hanya Pak Munajat, ayahnya yang meneteskan airmata
mendengar jawaban putrinya itu. Ia sudah tahu ke
mana arah perkataan putrinya itu.
Menjelang Maghrib rombongan itu pamit. Zahrana
langsung ke kamarnya mengatur kata yang tepat untuk
disampaikan pada Pak Karman. Ia tersenyum, dengan
senyum yang susah diartikan.
* * *
"Kamu masih nunggu yang bagaimana lagi, Nduk? Pak
Karman memang agak tua, tapi ia berpendidikan dan
kaya. Dia juga bisa tampak muda." Kata ibunya yang
sudah tahu keputusannya.
"Saya tidak menunggu yang bagaimana-bagaimana Bu.
Saya menunggu lelaki saleh yang pas di hati saya. Itu
saja." Jawab Zahrana.
"Lha Pak Karman itu apa masih kurang saleh. Dia sudah
haji. Sudah menyempurnakan rukun Islam. Kita saja
belum." Bantah ibunya.
Ia merasa, memang agak susah memahamkan ibunya
bahwa kesalehan tidak dilihat dari sudah haji atau
belum. Tidak dilihat dari pakai baju koko atau tidak.
Tidak bisa dilihat dari pakai peci putih atau peci yang
lainnya. Betapa banyak penjahat di negeri ini yang
bertitel haji. Setiap tahun haji justru untuk menutupi
kejahatannya. Atau malah berhaji untuk melakukan
kejahatan di musim haji. Ibunya tidak akan nyambung
dia ajak dialog masalah itu.
"Pokoknya menurutku Pak Karman masih kurang. Saya
sangat tahu siapa dia, soalnya saya satu kampus
dengannya. Nanti kalau ada yang cocok pasti saya
menikah Bu."
Begitu mendengar dari jawabannya ada perkataan
"pokoknya", sang ibu langsung diam dengan raut muka
sedih. Dalam hati ia istighfar jika telah melukai ibunya.
Tapi ia tidak mau asal menikah. Menikah adalah ibadah,
tidak boleh asal-asalan. Harus dikuati benar syarat
rukunnya. Meskipun ia tahu ia sudah jadi perawan tua
yang sangat terlambat menikah, namun ia tidak mau
gegabah dalam memilih ayah untuk anak-anaknya kelak.
Zahrana masuk kamar dan menulis surat jawaban untuk
Pak Karman dengan komputernya. Bahasanya tegas dan
lugas:
Kepada
Yth. Bpk. H. Sukarman, M.S.c
Di Semarang
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Semoga Bapak senantiasa sehat dan berada dalam
naungan hidayah-Nya.
To the point saja, tanpa mengurangi rasa hormat saya
kepada Bapak, saya ingin menyampaikan bahwa saya
belum bisa menerima pinangan Bapak. Semoga Bapak
mendapatkan yang lebih baik dari saya. Mohon maklum
dan mohon maaf jika tidak berkenan.
la lalu menge-print surat itu dan memasukkannya ke
dalam amplop putih. Ia akan minta bantuan seorang
mahasiswanya untuk menyampaikan hal itu kepada Pak
Karman besok pagi. Dan ia sudah berketetapan akan
mengambil cuti satu minggu. Sebab jawaban itu pasti
tidak diinginkan oleh Pak Karman. Bahkan pasti sangat
mengecewakan Pak Karman. Untuk menjaga hal yang
tidak baik, lebih baik ia tidak masuk kampus. Dan
kembali masuk jika suasana kembali seperti sediakala.
Apa yang ia rencanakan berjalan. Dan apa yang ia
prediksi terjadi. Dua hari kemudian ia mendapatkan
SMS dari Pak Karman:
"Suratmu sudah aku terima. Kamu pasti tahu bahwa
jawabanmu sangat mengecewakan aku!"
Ia membaca jawaban itu dengan hati tidak enak. Entah
kenapa ia merasakan ada aroma jahat dalam setiap
huruf-hurufnya dan susunan kalimatnya. Lalu ia
mendapat SMS dari Bu Merlin:
"Hari ini saya dicacimaki Pak Karman gara-gara
jawabanmu. Saya sungguh kecewa dengan kamu!"
Airmatanya meleleh.
"Maafkan aku Bu Merlin," lirihnya dengan hati perih. Ia
merasakan dunia ini begitu sempit. Dinding-dinding
kamarnya seakan hendak menggenjetnya. Atap
kamarnya seakan mau rubuh menimpanya. Ia hanya bisa
pasrah kepada-Nya dan memohon kekuatan untuk tetap
kuat dan tegar di jalan-Nya.
* * *
"Saya harap begitu. Kalau begitu saya pamit dulu.
Masih ada urusan yang harus saya kerjakan." Kata Bu
Merlin.
* * *
Zahrana sadar Bu Merlin masih tetap menyimpan rasa
sayang padanya, meskipun ia telah mengecewakannya.
Bu Merlin juga tetap setia pada prinsip hidupnya:
Memaksimalkan manfaat meminimalisir konflik. Jika
masih ada jalan menghindari konflik, maka jalan itulah
yang harus ditempuh.
Setelah Bu Merlin pergi Zahrana langsung mengendarai
sepeda motornya ke rumah Lina, temannya paling akrab
sejak di SMP sampai Perguruan Tinggi. la perlu orang
yang bisa diajak bicara memutuskan masalahnya.
"Apa sejahat itu Pak Karman?" tanya Lina pada
Zahrana.
"Aku tak ingin membicarakan kejahatannya. Yang jelas
apa yang sebaiknya kulakukan setelah mendengar saran
Bu Merlin."
"Yang paling penting menurutku adalah, apa kaupercaya
dengan apa yang disampaikan Bu Merlin?" Zahrana
menjawab dengan memandang lekat-lekat teman
karibnya itu,
"Sampai saat ini saya belum pernah dibohongi Bu
Merlin. Saya percaya padanya."
"Kalau begitu masalahnya jelas. Pak Karman itu sedang
sangat tersinggung dan marah besar karena kamu tolak.
Dia merasa tidak nyaman berada satu atap denganmu di
kampus. Dan Bu Merlin melihat dia akan membuat
perhitungan denganmu."
"Jadi?"
"Kalau aku jadi kau, aku memilih mengundurkan diri
dengan baik-baik, daripada dipecat dengan membawa
nama tercemar. Pak Karman tentu lebih kuat posisinya
daripada kamu. Ingat dia orang nomor satu di Fakultas
tempat kamu mengajar."
"Aku tahu. Tetapi jika aku keluar, lantas nanti apa yang
harus aku katakan pada ayah dan ibu?"
"Kau kayak anak kecil aja. Cari pekerjaan baru. Dengan
begitu kau bisa berdalih degan seribu alasan yang
menyejukkan mereka. Bisa kaukatakan tidak kerasan
lagi di kampus. Cari pengalaman baru dan lain
sebagainya." Akhirnya ia mantap untuk mengundurkan
diri.
"Kau benar Lin. Besok aku akan mengundurkan diri."
"Nanti kubantu cari pekerjaan yang cocok untukmu."
"Kau memang sahabatku yang baik Lin."
***
Pagi itu Zahrana datang ke kampus dengan membawa
dua pucuk surat pengunduran dirinya. Satu untuk
rektor dan satu untuk dekan. Pak Karman sedang rapat
dengan rektor. Itu kesempatan baginya untuk
mengemasi barang-barangnya. Teman-temannya sesama
dosen banyak yang kaget.

"Saya masih boleh konsultasi pada ibu tho. Meskipun
ibu tidak di kampus ini lagi?"
"Boleh San. Kalian semua ibu persilakan dolan ke rumah
ibu kapan saja." Kata Zahrana sambil memandang wajah
mahasiswanya satu per satu. Zahrana lalu meminta
mereka mengangkat barangbarangnya ke luar gedung.
Tak lama taksi datang. Zahrana pun meninggalkan
kampus itu dengan membawa seluruh barangbarangnya.
Begitu selesai rapat, Pak Karman kembali ke ruang
kerjanya. Keputusannya sudah mantap yaitu memecat
Zahrana dengan beberapa tuduhan serius, di antaranya:
tidak disiplin. "Perawan tua itu harus diberi pelajaran!"
Geramnya dalam hati. Ketika ia duduk di kursinya ia
menangkap sepucuk surat tergeletak di atas meja
kerjanya. Ia baca surat itu. Kemarahannya seketika
meluap,
"Kurang ajar!" Ia seperti petinju yang nyaris meng-KO
lawan, tibatiba malah dipukul KO. Ia sama sekali tidak
memperhitungkan Zahrana akan membuat keputusan
nekat itu.
Namun ia tetap akan membuat perhitungan dengan
satusatunya dosen Fakultas Teknik yang masih gadis
itu.
* * *
Tak perlu waktu lama bagi Zahrana untuk mendapatkan
pekerjaan baru. Dari seorang teman ia mendapatkan
informasi bahwa STM Al Fatah Mranggen, Demak,
sedang membutuhkan seorang guru baru yang
profesional untuk mendongkrak prestasi. STM Al Fatah
berada di payung Yayasan Pesantran Al Fatah.
Pesantren besar yang terkenal di Mranggen. Ia
mengajukan lamaran dan hari itu juga ia diterima.
Kepala sekolahnya yang masih keturunan pendiri
Pesantren Al Fatah sangat senang. Pengalaman
mengajar Zahrana ketika mengajar di FT universitas
swasta terkemuka di Semarang adalah jaminan kualitas.
Sejak hari itu Zahrana mengajar siswa-siswa yang
sebagian besar adalah santri. Ia berusaha mendalami
kultur dan budaya santri. Sebab sejak kecil ia belum
pernah menjadi santri sama sekali. Ia merasakan
nuansa yang berbeda antara mengajar santri dan
mengajar mahasiswa. Ada tantangan tersendiri
mengajar santri yang masih banyak menganggap ilmu
eksak tidak penting, yang menganggap "ilmu umum"
lainnya juga tidak penting.
Dianggap tidak penting, karena para santri berpikiran
bahwa ilmu eksak dan "ilmu umum", kelak tidak akan
ditanyakan di akhirat. Bagi mereka, yang terpenting
adalah "ilmu agama", karena ilmu itulah yang akan
dibawa hingga akhirat nanti. Pikiran yang perlu
diluruskan.
Dan Zahrana tertantang untuk meluruskannya. la
merasa mengajar di lingkungan pesantren lebih
menenteramkan. Entah kenapa? Apa karena dekat
dengan banyak ulama? Atau karena memang di
pesantren tempat ia mengajar tidak ada manusia
seperti Pak Karman yang dalam pandangannya sangatsangat
durjana. Hari-harinya ia lalui dengan lebihTakbir Cinta Zahrana
temantemannya sesama dosen. Semuanya
menyayangkan keputusannya meninggalkan kampus. Dan
semuanya mendoakan semoga sukses dengan pilihannya.
Hp-nya kembali berdering. Dua kali. Ia buka,
"Apa kabar Perawan Tua?"
"Kelapa itu semakin tua semakin banyak santannya.
Banggalah jadi perawan tua!"
Ia meneteskan airmata. Tubuhnya bergetar. Hatinya
sakit. Tapi ia harus menang. Diam adalah senjata
pamungkasnya untuk menang. Ia tidak akan meladeni
kata-kata yang tidak mencerminkan datang dari orang
terdidik itu. Akhirnya, ia matikan hp-nya. Ia memilih
asyik berselancar di dunia maya.
Ia buka alamat emailnya yang lain. Ada dua email. Yang
satu dari sebuah komunitas milis, memanggilnya untuk
ikut milis. Dan satunya dari Pak Didik. Ia jadi bertanya
ada apa dengan Pak Didik. Baru kali ini Pak Didik
mengirim email kepadanya.
la buka email itu: Subjeknya: SEBUAH TAWARAN,
JIKA BERKENAN. Baru dikirim beberapa jam yang lalu.
la lalu membacanya dengan sedikit rasa penasaran.
Tawaran apa yang dimaksud Pak Didik, yang celananya
selalu di atas mata kaki itu?
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Semoga Ibu Zahrana sukses dan berbahagia selalu. Amin. Sebelumnya
mohon maaf jika email saya ini mengganggu. Sebenarnya sudah lama
saya ingin mengirim email ini tapi terhambat karena beberapa sebab.
Hari ini saya merasa hari yang tepat saya mengirim email ini untuk
memberikan sebuah tawaran kepada Ibu Zahrana. Maaf terpaksa saya
sampaikan lewat email, sebab jika saya sampaikan langsung secara lisan
takut terjadi salah paham. Karena bahasa tulisan bisa diedit sementara
bahasa lisan tidak.
Bu Zahrana, setelah mengetahui lebih detil tentang Ibu. Juga apa yang
Ibu cari selama ini saya memberanikan diri mengajukan diri.
Mengajukan diri untuk menjadi suami ibu. Maaf, to the point saja Bu.
Saya menawarkan kepada ibu, sekali lagi maaf jika dianggap lancang,
untuk menjadi isteri kedua saya. Saya yakin isteri saya bisa
menerimanya nanti.
Saya akan berusaha adil sebagai suami. Terus terang sebenarnya yang
saya harapkan adalah seorang isteri yang educated dan cerdas seperti Bu
Zahrana. Bukan yang bisanya cuma arisan seperti isteri saya saat ini.
Tapi karena sudah punya dua anak, tidak mungkin saya meninggalkan
dia.
Saya yakin dengan kita membina rumah tangga bersama, kita bisa
bersinergi. Kita bisa saling memberi dan memaksimalkan potensi. Ini
harapan saya. Semoga ibu berkenan dengan harapan ini.
Saya kira cukup sekian dulu surat ini. Jika ada salah kata motion maaf.
Tawaran saya ini mohon tidak diartikan sebagai pelecehan. Sama sekali
saya tidak bermaksud seperti itu. Saya bermaksud kita saling memberi
manfaat. Itu saja. Akhirul kalam,
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Hormat saya,
Didik Hamdani, M.T.
Zahrana membaca email itu dengan tubuh bergetar,
mata berkaca-kaca. la tidak tahu apa yang ia rasakan.
Yang jelas bukan bahagia. Ia merasa betapa tidak
mudah menjadi gadis yang terlambat menikah. Dan
betapa susah menjadi wanita.
Jika Pak Didik itu tidak memiliki isteri, katakanlah
duda sekalipun, tawaran itu mungkin akan sedikit
menjadi jendela harapan di hatinya. Tapi ia harus
dijadikan yang kedua. Ia tidak tega. Ia tidak tega padaTakbir Cinta Zahrana
Tiga anak itu adalah hasil kawin cerainya dengan tiga
perempuan berbeda. Ia tidak mau jadi korban yang
keempat. Meskipun Wati mengatakan bahwa lelaki itu
telah insyaf. Ia ingin menikahi Zahrana sebagai isteri
yang terakhir. Karena ia tidak juga bisa menenangkan
batinya. Akhirnya ia tolak juga pemilik bengkel itu.
Datangnya lamaran silih berganti yang semuanya
ditolak oleh Zahrana itu membuat ibunya sempat
marah.
"Kamu itu masih tinggi hati Rana! Perempuan tinggi hati
tak akan mendapatkan jodohnya!"
Ia menangis dimarahi ibunya begitu. Ia merasa
penolakannya itu ada landasan logika dan syariatnya
yang kuat. Ia menangis di pangkuan ibunya, dan minta
maaf jika belum bisa menjadi anak yang
membahagiakan orangtua. Ibunya, akhirnya luluh dalam
tangis. Ayahnya yang melihat hal itu juga menangis.
Sang ayah berkata sambil terisak, "Saat pindah ke
STM Al Fatah kamu bilang siapa tahu jodohmu di
pesantren. Coba datanglah ke Pak Kiai. Coba kamu
minta pada Pak Kiai untuk membantu mencarikan.
Mungkin kamu akan ditemukan dengan santrinya!"
"Baiklah ayah, tak kurang ikhtiar saya. Untuk
menemukan yang saya idamkan baiklah saya akan sowan
ke tempat Bu Nyai dan Pak Kiai secepatnya." Jawab
Zahrana sambil mengusap airmatanya.
Esoknya ia nekat mengajak Lina, menghadap Bu Nyai
dan Pak Kiai. Ia mengajak Lina sahabatnya itu, karena
Lina dulu pernah nyatri di Pesantren ARIS Kaliwungu
selama satu bulan saja, yaitu selama bulan Ramadhan.

Lina tentu lebih tahu berdiplomasi dengan Bu Nyai
daripada dirinya yang sama sekali tidak pernah nyantri.
Kedatangannya diterima Bu Nyai dengan wajah
menyejukkan. Bu Nyai Sa'adah Al Hafidhah adalah
isteri K.H. Amir Arselan, pengasuh utama Pesantren Al
Fatah.
Bu Nyai ini umurnya lima puluhan tahun. Dulu menghafal
Al-Quran di Kudus. Dan di tangannya kini telah lahir
ratusan santriwati yang hafal Al-Quran. Saat itu
kebetulan Pak Kiai sedang pergi ke Rembang. Hanya Bu
Nyai yang menemui.
'Apa yang bisa Ummi bantu, Anakku? Oh ya siapa
namamu, Anakku?" tanya Bu Nyai.
"Nama saya Rana, Ummi. Lengkapnya Dewi Zahrana.
Kedatangan saya ke sini pertama untuk silaturrahmi.
Kedua untuk mohon tambahan doa dari Ummi.
Kebetulan saya ikut mengajar di STM Al Fatah. Baru
enam bulan ini Ummi." Terang Zahrana dengan kepala
menunduk.
"O begitu. Ya. Jadi kau guru baru di STM Al Fatah?"
"Iya, Ummi."
"Dulu nyantri di mana?"
Belum sempat Zahrana menjawab, Lina memotong,
"Zahrana ini belum pernah nyantri, Ummi. Tapi dia
hariannya seperti santri. Zahrana ini dari SMA. Terus
kuliah S.l di UGM dan S.2 di ITB Bandung, Ummi."
"Kalau begitu kamu hebat ya Zahrana. Bisa S.2 di ITB.
Jurusan apa?"
Teknik Sipil, Ummi."
Bu Nyai hanya manggut-manggut.
Lina tahu bahwa Zahrana tidak berani mengungkapkan
maksud sebenarnya. Maka dengan tanpa diminta ia lalu
menjelaskan dengan sehalus mungkin maksud utama
kedatangan Zahrana ke pesantren. Bu
Nyai menjawab, "Saya yakin tidak mudah mencari yang
selevel denganmu, Anakku. Jujur saja kalau misalnya
ada yang selesai S.2 umurnya sama denganmu dia akan
memilih yang lebih muda darimu. Lelaki itu umumnya
punya ego, tidak mau isterinya lebih pinter dan lebih
tua darinya. Tapi ya tidak semua lelaki lho. Sekali lagi
tidak mudah mencarikan jodoh yang pendidikannya
harus tinggi seperti kamu juga saleh. Kalau boleh tahu,
kalau strata pendidikannya tidak setinggi kamu
bagaimana?"
Zahrana mengerti maksud Bu Nyai. Segera ia
menjawab, "Saat ini status, strata, kedudukan sosial,
pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi pertimbangan
saya Bu Nyai. Saya hanya ingin suami yang baik
agamanya. Baik imannya dan bisa jadi teladan untuk
anak-anak kelak. Itu saja."
"Oo, baiklah kalau begitu. Besok kautelpon aku ya.
Nanti malam aku akan rembugan dengan Pak Kiai.
Semoga ada pandangan."
"Baik Bu Nyai."
Keduanya lalu pamitan setelah dipaksa Bu Nyai
menghabiskan minuman yang ada di gelas.
"Harus dihabiskan. Kalau tidak habis itu namanya
mubazir. Dan orang yang suka mubazir itu teman
akrabnya setan." Kata Bu Nyai serius.
Rana dan Lina hanya bisa manut saja. Mereka pulang
dengan hati diliputi rasa gembira. Bu Nyai Dah, atau
Ummi Dah, begitu para santri memanggilnya, ternyata
sangat halus tuturbahasanya, begitu perhatian dan
begitu menyenangkan. Wajar jika banyak santri yang
mencintainya.
Pak Kiai pasti bahagia punya isteri sebaik dia.
* * *
Zahrana baru saja masuk kelas, ketika kepala sekolah
memanggilnya. Ia bertanya-tanya dalam hati,
"Ada apa sepagi ini kepala sekolah memanggilnya." Ia
bergegas ke ruang kepala sekolah dengan kepala berisi
tanda tanya.
"Bu Rana, saya baru saja ditelpon sama Bu Nyai Dah.
Beliau minta kau menghadap beliau sekarang juga."
Begitu kata kepala sekolah begitu ia sampai di ruang
kerja beliau. Zahrana langsung tahu kenapa Bu Nyai
memanggilnya.
Ia langsung bergegas ke ndalem Bu Nyai Dah. Bu Nyai
Dah ternyata sudah menunggunya sambil membaca Al-
Quran. Begitu Zahrana sampai beliau menghentikan
bacaannya.
"Duduklah, Anakku."
Ia duduk dengan kepala menunduk.

"Begini, Anakku. Pak Kiai punya seorang santri yang
sudah tiga tahun ini meninggalkan pesantren. Dia santri
yang dulu sangat diandalkan Pak Kiai. Namanya Rahmad.
Pendidikannya tidak tinggi. Ia hanya tamat Madrasah
Aliyah. Tidak kuliah. Karena setelah itu dia mengabdi di
pesantren ini. Baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung
jawabnya bisa diandalkan. Ia dari keluarga pas-pasan.
Anak kedua dari tujuh bersaudara. Pekerjaannya
sekarang jualan kerupuk keliling. Dia duda tanpa anak.
Isterinya meninggal satu tahun yang lalu karena demam
berdarah. Itulah informasi yang bisa aku berikan.
Musyawarahkanlah dengan kedua orangtuamu dan
kerjakanlah shalat Istikharah. Jika kamu ingin dan
tertarik, beritahukan Ummi. Nanti kita carikan jalan
terbaik."
"Baiklah, Ummi. Terima kasih. Saya akan musyawarah
dan Istikharah dulu. Saya pamit dulu Ummi, karena tadi
kelas saya tinggalkan." Jawab Zahrana.
"Ya. Semoga barakah, Anakku!"
Zahrana berjalan ke kelas dengan telinga yang
mendengungkan apa yang disampaikan Bu Nyai:
"...Ia dari keluarga pas-pasan. Anak kedua dari tujuh
bersaudara. Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk
keliling. Dia duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu
tahun yang lalu karena demam berdarah...!"
Sambil berjalan ia menirukan ucapan Bu Nyai,
"Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk keliling. Dia
duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu tahun!"

"Hmm penjual kerupuk keliling. Apakah memang
takdirku jadi isteri seorang penjual kerupuk keliling?"
gumamnya sendiri.
Ada dialog yang cukup serius dalam dirinya.
"Tapi meskipun penjual kerupuk keliling. Ia adalah
orang yang baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung
jawabnya bisa diandalkan. Toh aku sudah bilang pada Bu
Nyai bahwa status, strata, kedudukan sosial,
pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi pertimbangan
lagi. Yang aku inginkan adalah suami yang baik
agamanya. Baik imannya dan bisa jadi teladan untuk
anak-anak kelak. Apakah aku harus mempersoalkan
pekerjaannya yang cuma penjual kerupuk keliling?"
Sampai di kelas ia tidak konsentrasi mengajar.
Akhirnya ia memberi pekerjaan kepada para siswa. Jam
ketiga ia ijin pulang ke rumah dengan alasan ada
kepentingan yang sangat penting berkaitan dengan
permintaan Bu Nyai. Jika alasannya Bu Nyai, tidak ada
yang berani membantah.
Sampai di rumah ia mengajak musyawarah ayah dan
ibunya. Keduanya mendorongnya untuk maju.
"Kemuliaan hidup seseorang itu tidak karena
pendidikannya atau pekerjaannya. Seseorang jika
dimuliakan oleh Allah akan juga mulia di mata manusia."
Demikian kata ibunya.
Ia mulai mantap. Namun merasa masih belum cukup. Ia
lalu menelpon Lina. Dari jauh Lina menjawab,
"Dia kan lulusan aliyah. Nanti jika kalian sudah menikah
dan hidup mapan. Minta saja dia kuliah. Dengan begitudia akan selesai S.l dan jarak pendidikan tidak terlalu
jauh. Dan sebenarnya dengan dia mengabdi di
Pesantren bertahun-tahun dia telah mendapatkan
pelajaran hidup yang lebih matang dari mata kuliah di
Program Pascasarjana sekalipun. Sudah mantaplah Ran.
Pak Kiai dan Bu Nyai pasti berusaha mengarahkan yang
terbaik."
Mantap sudah hatinya. Niatnya sudah bulat. Untuk
semakin memantapkan ia pun Istikharah. Setelah
Istikharah rasa mantapnya semakin besar. Hari itu
juga ia menelpon Bu Nyai dan menjelaskan
kemantapannya.
Bu Nyai menjawab,
"Baiklah coba jelaskan alamat rumahmu!"
"Saya tinggal di Perumahan Klipang Asri. Jalan
Madukara B-15."
"Besok satu hari penuh jangan ke mana-mana. Pak Kiai
akan meminta si Rahmad itu berjualan ke perumahan di
mana kau tinggal. Kau belilah kerupuk darinya, dan kau
boleh bertanya apa saja padanya. Biasa saja. Dia tidak
tahu apa-apa masalah ini. Dengan begitu kau bisa tahu
dengan jelas calon suamimu itu. Jika kau masih
jugamantap, maka bisa diteruskan. Jika tidak ya tidak
apaapa."
"Baik Bu Nyai." Jawabnya.
Dari situ ia tahu betapa demokratisnya Bu Nyai. Betapa
bijaksananya Bu Nyai. Betapa Bu Nyai memang tidak
mau memaksa. Ia kemudian jadi takut. Janganjangan
ia yang nanti mau, tapi si penjual kerupuk itu justru
yang tidak mau dengan alasan minder dan lain
sebagainya. Ia mendesah nafas panjang. Biarlah waktu
yang menjawabnya, desahnya.
* * *

1 komentar: