Wali Pitu Pulau Dewata

  1. Raden Mas Sepuh / Pangeran Amangkuningrat (Keramat Pantai Seseh)
  2. Habib Umar bin Maulana Yusuf Al Maghribi (Keramat Bukit Bedugul)
  3. Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Abu Bakar Al Hamid di (Keramat Pantai Kusamba)
  4. Habib Ali Zainal Abidin Al Idrus (Keramat Karangasem)
  5. Syeich Maulana Yusuf Al Baghdi Al Maghribi (Keramat Karangasem)
  6. Syeich Abdul Qodir Muhammad (Keramat Karangrupit)
  7. Habib Ali bin Umar bin Abu Bakar Bafaqih di Jembrana
1. Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkurat
Wali yang pertama bernama Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkurat, yang punya nama Bali, Ida Cokordo. Ia putra Raja Mengwi I yang menikah dengan seorang putri muslimah dari Kerajaan Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur. Sejak kecil ia dibesarkan oleh ibundanya di Blambangan, setelah dewasa menemui ayahandanya, Raja Mengwi ke-I.
Syeich Ahmad Hamdun Khoirussholeh alias Raden Mas Sepuh yang bernama kecil Pangeran Amangkuningrat. Semenjak kecil, beliau diasuh oleh ibundanya, seorang muslimah asal Blambangan, Jawa Timur. Proses ditemukannya Makam Keramat Pantai Seseh dimulai sejak Jamaah Manaqib yang ada di Bali mendapat petunjuk, yaitu pada bulan Muharram 1413 H atau 1992 M yang kemudian ditemukan juga makam keramat yang lain. Makam ini terletak di Pantai Seseh, Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung yang berdampingan dengan Pura Agung di Tanah Lot. Jarak antara Pantai Seseh dan Jalan Raya Tabanan - Denpasar ± 15 km. Selain dikeramatkan oleh kaum muslimin, makamnya juga dihormati oleh umat Hindu. Juru kuncinya bahkan seorang pemuka Hindu.
Raden Amangkurat terkenal sakti mandraguna, namun tetap rendah hati dan pemaaf, terutama kepada musuh yang telah menyerah. Selain dikeramatkan oleh kaum muslimin, makamnya di Pantai Seseh, Desa Munggu Mengwi, Kabupaten Badung (berdampingan dengan Candi Pura Agung di Tanah Lot), juga dihormati oleh umat Hindu. Bahkan juru kuncinya adalah seorang pendeta Hindu. Karena terletak di pantai Seseh, makam ini juga terkenal dengan sebutan Makam Keramat Pantai Seseh.

2. Syaikh Umar bin Maulana Yusuf al-Maghribi.
Wali kedua ialah Syaikh Umar bin Maulana Yusuf al-Maghribi. Nasabnya diyakini bersambung sampai Rasulullah SAW. Untuk mencapai lokasi makam, para peziarah harus mendaki bukit yang cukup tinggi. Mereka harus sangat hati-hati, karena anak tangganya masih asli dari tanah, tanpa pagar atau pegangan tangan.
 Makam ini terletak di bukit Bedugul, Kabupaten Tabanan, Bali, yang hanya berwujud empat batu nisan untuk dua makam, yaitu makam Habib Umar dan pengikutnya yang luasnya 4×4 meter. Makam ini sebenarnya sudah lama ada, namun menurut keterangan dari beberapa tokoh masyarakat setempat baru saja ditemukan sekitar 40—50 tahun berselang oleh seorang yang mencari kayu bakar di bukit Bedugul tersebut. Untuk mencapai makam tersebut, peziarah harus berjalan kaki mendaki kurang lebih 4 jam.
Setiap Rabu terakhir bulan Safar, masyarakat setempat berbondong-bondong naik ke bukit berziarah di makam Habib Umar bin Yusuf Al Maghribi ini untuk memperingati wafatnya dengan mengadakan do’a bersama dan kenduri selamatan.

3. Habib Ali bin Abubakar bin Umar al-Hamid
Wali yang ketiga ialah Habib Ali bin Abubakar bin Umar al-Hamid, yang makamnya terdapat di Desa Kusumba, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Makam keramat ini terletak tak jauh dari selat yang menghubungkan Klungkung dengan pulau Nusa Penida. Selain dikeramatkan oleh kaum muslimin, makam ini juga dikeramatkan oleh umat Hindu. Di depan makam dibangun patung seorang tokoh bersorban dan berjubah menunggang kuda.
Semasa hidupnya Habib Ali mengajar bahasa Melayu kepada Raja Dhalem I Dewa Agung Jambe dari Kerajaan Klungkung. Sang raja menghadiahkan seekor kuda kepadanya sebagai kendaraan dari kediamannya di Kusamba menuju istana Klungkung. Suatu hari, pulang mengajar di istana, ia diserang oleh kawanan perampok. Ia wafat dengan puluhan luka di tubuhnya.
Jenazahnya dimakamkan di ujung barat pekuburan desa Kusamba. Malam hari selepas penguburan, terjadi keajaiban. Dari atas makam menyemburlah kobaran api, membubung ke angkasa, memburu kawanan perampok yang membunuh sang Habib. Akhirnya semua kawanan perampok itu tewas terbakar. Kaum muslimin setempat biasa menggelar haul Habib Ali setiap Ahad pertama bulan Sya'ban.

Makam Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar Al Hamid berada di tepi pantai di Desa Kusumba, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, tidak jauh dari selat yang menghubungkan Klungkung dengan Nusa Penida. Selain dikeramatkan oleh kaum muslimin, makam ini juga dikeramatkan oleh umat Hindu. Semasa hidupnya, Habib Ali mengajar bahasa Melayu kepada Raja Dalem I Dewa Agung Jambe dari Kerajaan Klungkung. Sang Prabu menghadiahkan seekor kuda sebagai kendaraan dari kediamannya di Kusamba menuju puri Klungkung.
Pada suatu hari, sewaktu Habib Ali pulang dari Klungkung dan sesampainya di pantai Kusamba, beliau diserang oleh sekelompok orang yang tidak dikenal dengan senjata tajam dan tewas di tempat. Akhirnya, jenazah beliau dimakamkan di ujung barat pekuburan Desa Kusamba.

4. Habib Ali Zainal Abidin Al-Idrus.
Keramat Kembar Karangasem terletak di Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali. Makam keramat tersebut berada tidak jauh dari Jalan Raya Subangan arah ke utara, jalan tembus menuju ke Singaraja dari Desa Temukus. Dari Singaraja berjarak ± 6-7 km.
Di dalam satu cungkup makam kembar tersebut terdapat makam tua/kuno berjajar dengan makam Habib Ali bin Zainal Abidin al-Idrus. Menurut masyarakat, makam kuno inilah yang dikeramatkan sejak zaman dahulu. Makam ini diperkirakan berusia 350—400 tahun. Adapun mengenai nama, sejarah, dan dari mana asalnya, tidak satu pun yang tahu, bahkan juru kuncinya pun tidak tahu. Sebagian kalangan menyebutkan bahwa makam ini adalah makam dari Syekh Maulana Yusuf al-Baghdi al-Maghribi.
Adapun Habib Ali Zainal Abidin al-Idrus (wafat pada 9 Ramadhan 1404 H / 19 Juni 1983) dikenal sebagai ulama besar yang arif bijaksana, dan banyak santri yang mengaji kepadanya yang berasal dari Bali, Lombok dan sekitarnya. Semasa hidupnya, beliau menjadi juru kunci makam kuno itu dan dimakamkan di samping makan kuno tersebut.

5. Habib Syaikh Mawlana Yusuf al-Baghdadi al-Maghribi.
Wali kelima ialah Habib Syaikh Mawlana Yusuf al-Baghdadi al-Maghribi. yang dimakamkan tidak jauh dari makam Habib Ali bin Zainal Al-Idrus di Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Di atas makam tersusun batu bata merah tanpa semen yang tak terawat dan tampak sangat tua. Makam itu selamat dari amukan Gunung Agung yang meletus dengan dahsyat pada 1963.

6. Syaih Abdul Qadir Muhammad
Wali yang keenam ialah Syaih Abdul Qadir Muhammad, yang nama aslinya Thee Kwan Pau-lie, di Desa Temukus, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Penduduk menyebutnya sebagai Keramat Karang Rupit. Semasa remaja, ia adalah murid Sunan Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Para peziarah, baik muslim maupun Hindu, biasanya banyak berkunjung pada hari Rabu terakhir (Rebu Wekasan) bulan Shafar. Uniknya, masing-masing mengelar upacara menurut keyakinan masing-masing.
Makam Keramat Karang Rupit terletak di Desa Temukus (Labuan Aji), Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali. Makam tersebut berada di tepi Jalan Raya Seririt. Berjarak ± 15 km dari Singaraja
Makam keramat ini adalah makam dari Syeikh Abdul Qadir Muhammad yang memiliki nama asli The Kwan Lie atau The Kwan Pao-Lie. Penduduk setempat menyebutnya sebagai Keramat Karang Rupit.Semasa remaja, beliau adalah murid Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat. Para peziarah, baik muslim maupun Hindu, biasanya banyak berkunjung pada hari Rabu terakhir (Rabu Wekasan) bulan Shafar. Uniknya, masing-masing menggelar upacara menurut keyakinan masing-masing


HABIB ALI BIN UMAR BIN ABU BAKAR BAFAQIH

Habib Ali Bafaqih dilahirkan dari pasangan Habib Umar dan Syarifah Nur, Beliau lahir pada tahun 1890 di Banyuwangi. Menjelang usia 20 tahun, atau sekitar tahun 1910, Sayyid Ali “berlayar” ke tanah suci Mekah untuk memperdalam ilmu agamanya. Keberangkatan ke Mekah ini atas “sponsor” Haji Sanusi, ulama terkemuka di Banyuwangi pada masa itu. Beliau mukim di Siib Ali (Mekah) lebih kurang tujuh tahun lamanya. Sepulang dari Mekah, Habib Ali kembali ke tanah air dan menambahkan ilmunya di Pondok pesantren di Jombang yang di asuh oleh Kyai Wahab Abdullah. Selain mendalami ilmu Al Quran di waktu mudanya beliau dikenal sebagai pendekar silat yang sangat tangguh.Jauh sebelum beliau mendirikan Pondok Pesantren “Syamsul Huda” di Loloan Barat Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana, Beliau mengajar di Madrasah Khairiyah selama setahun di daerah kelahirannya Banyuwangi. Perjalanan ke Bali beliau lakukan perjalan ini atas permintaan Datuk Kyai Haji Mochammad Said, seorang ulama besar di Loloan. Mulailah Syiar Islam berbinar di Loloan dengan makin bertambahnya ulama setingkat Kyai Sayyid Ali Bafaqih.

Baru pada tahun 1935 beliau mendirikan Pondok Pesantren Syamsul Huda yang kini telah meneteskan ribuan ulama, da’i dan ustazah. Para santri datang dari berbagai pelosok desa di tanah air. Mereka belajar membaur dengan kehidupan masyarakat Loloan yang sejak ratusan tahun lalu telah dikunjungi oleh ulama-ulama tangguh dari berbagai daerah.Tak terkecuali ulama besar dari Trengganu (Malaysia) yang meninggalkan negerinya lalu hijrah ke Loloan sekitar awal abad 19.

KH. Habib Ali Bafaqih wafat pada tahun 1997 pada usia 107 tahun. Karena perjuangan dan kegigihanya untuk menyebarkan atau mensyiarkan agama Islam dan juga ketinggian ilmunya maka beliau dianggap sebagai salah satu “Wali Pitu” yang ada di Bali. Kini Makam beliau banyak di kunjungi atau diziarahi orang dari berbagai pelosok negeri mulai dari Jakarta, Bandung, Lampung, tak kurang dari 10 Bus pariwisata yang datang ke Loloan. Syiar Islam di Bali pada masa silam telah meninggalkan sejumlah “Karya Besar” yang pada masanya kini dapat dijadikan landasan kikih bagi syiar Islam di masa-masa yang akan datang. Kampung Loloan telah menjadi legenda syiar Islam yang tetap hidup di Bali.

Makam Habib Ali beralamat Jln. Nangka No. 145 di Desa Loloan Barat Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana. Beliau di makamkan di Area Pondok Pesantren “Syamsul Huda” .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar