JAMROH EL FATTAH
Nikmati Hidup Di Dalam Perbedaan Karena Aneka Perbedaan Membuat Kehidupan Semakin Indah Bagi Yang Menerima Perbedaan Sebagai Rahmah
DPC FKDT Subang Turut Hadir Safari Ramadhan
Kamis 14 April 2022, beberapa Pengurus DPC FKDT Subang yang di komandoi Agus Rahayu,S.Pd.I Ketua DPC turut hadir dalam Acara Safari Ramadhan bertempat di Alun-alun Bendungan Kecamatan Pagaden Barat yang diselenggarakan Oleh PCNU Subang kerja bareng Coklat Kita, yang juga turut dihadiri Agus Maskur wakil bupati subang beserta jajaran Pemkab Subang, juga nampak hadir beberapa pejabat Kemenag. Usai acara safari ramadhon Pengurus DPC FKDT Subang juga menghadiri acara buka bersama dan Taraweh Keliling yang bertempat di MT.Al Hujroh Al Musri Majelis binaan K.Ridwan Farid,S.Kub yang kebetulan termasuk Pengurus DPC FKDT sebagai Ketua Laskar Diniyah. " Saya sangat berterimakasih sekali atas kehadiran rekan-rekan dalam acara buka bersama dan tarawih keliling ini khusus kepada ketua DPW fkdt Jawa Barat Kyai Atep Abdul Gopar ,juga kepada rekan-rekan pengurus DPC Subang Semoga sinergitas tetap terjalin Demi kemajuan Madrasah Diniyah di Kabupaten Subang ". Ujar K.Ridwan Farid yang juga sering dipanggil Ki Bentar.
Musafir Cinta Robi'ah Al 'Adawiyah
Suatu ketika, Rabiah al-Adawiyah makan bersama dengan keluarganya.Sebelum menyantap hidangan makanan yang tersedia, Rabi’ah memandangayahnya seraya berkata, “Ayah, yang haram selamanya tak akan menjadihalal. Apalagi karena ayah merasa berkewajiban memberi nafkah kepadakami.” Ayah dan ibunya terperanjat mendengar kata-kata Rabi’ah. Makananyang sudah di mulut akhirnya tak jadi dimakan. Ia pandang Rabi’ahdengan pancaran sinar mata yang lembut, penuh kasih. Sambil tersenyum,si ayah lalu berkata, “Rabi’ah, bagaimana pendapatmu, jika tidak adalagi yang bisa kita peroleh kecuali barang yang haram?” Rabi’ahmenjawab: “Biar saja kita menahan lapar di dunia, ini lebih baikdaripada kita menahannya kelak di akhirat dalam api neraka.” Ayahnyatentu saja sangat heran mendengar jawaban Rabi’ah, karena jawabanseperti itu hanya didengarnya di majelis-majelis yang dihadiri olehpara sufi atau orang-orang saleh. Tidak terpikir oleh ayahnya, bahwaRabi’ah yang masih muda itu telah memperlihatkan kematangan pikiran danmemiliki akhlak yang tinggi (Abdul Mu’in Qandil).
Penggalan kisah
di atas sebenarnya hanya sebagian saja darikemuliaan akhlak Rabi’ah
al-Adawiyah, seorang sufi wanita yang nama danajaran-ajarannya telah
memberi inspirasi bagi para pecinta Ilahi.Rabi’ah adalah seorang sufi legendaries. Sejarah hidupnya banyakdiungkap oleh berbagai kalangan, baik di dunia sufi maupun akademisi.Rabi’ah
adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta)Ilahi,
sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorangsalik
(penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lainyang
memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi,sufi
penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun672
H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbahmelalui
syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-ITabriz.
Sepanjang
sejarahnya, konsep Cinta Ilahi (Mahabbatullah) yangdiperkenalkan Rabi’ah
ini telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan.Sebab,
konsep dan ajaran Cinta Rabi’ah memiliki makna dan hakikat yangterdalam
dari sekadar Cinta itu sendiri. Bahkan, menurut kaum sufi,Mahabbatullah
tak lain adalah sebuah maqam (stasiun, atau jenjang yangharus dilalui
oleh para penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allahdalam
beribadah) bahkan puncak dari semua maqam. Hujjatul Islam Imamal-Ghazali
misalnya mengatakan, “Setelah Mahabbatullah, tidak ada lagimaqam,
kecuali hanya merupakan buah dari padanya serta mengikutidarinya,
seperti rindu (syauq), intim (uns), dan kepuasan hati(ridla)”.
Rabi’ah telah
mencapai puncak dari maqam itu, yakniMahabbahtullah. Untuk menjelaskan
bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Allah,tampaknya agak sulit untuk
didefinisikan dengan kata-kata. Dengan katalain, Cinta Ilahi bukanlah
hal yang dapat dielaborasi secara pasti,baik melalui kata-kata maupun
simbol-simbol. Para sufi sendiriberbeda-beda pendapat untuk
mendefinisikan Cinta Ilahi ini. Sebab,pendefinisian Cinta Ilahi lebih
didasarkan kepada perbedaan pengalamanspiritual yang dialami oleh para
sufi dalam menempuh perjalananruhaninya kepada Sang Khalik. Cinta
Rabi’ah adalah Cinta spiritual(Cinta qudus), bukan Cinta al-hubb al-hawa
(cinta nafsu) atau Cintayang lain. Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691-751 H)
membagi Cinta menjadiempat bagian.
Pertama, mencintai
Allah. Dengan mencintai Allah seseorangbelum tentu selamat dari azab
Allah, atau mendapatkan pahala-Nya,karena orang-orang musyrik, penyembah
salib, Yahudi, dan lain-lain jugamencintai Allah.Kedua,
mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Cintainilah yang dapat
menggolongkan orang yang telah masuk Islam danmengeluarkannya dari
kekafiran. Manusia yang paling Cintai adalah yangpaling kuat dengan
cinta ini.Ketiga, Cinta untuk Allah dan kepada Allah. Cinta ini termasuk
perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai Allah.Keempat,Cinta
bersama Allah. Cinta jenis ini syirik. Setiap orang mencintaisesuatu
bersama Allah dan bukan untuk Allah, maka sesungguhnya
diatelah menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cinta
orang-orangmusyrik.
Pokok ibadah,
menurut Ibnu Qayyim, adalah Cinta kepada Allah,bahkan mengkhususkan
hanya Cinta kepada Allah semata. Jadi, hendaklahsemua Cinta itu hanya
kepada Allah, tidak mencintai yang lain bersamaanmencintai-Nya. Ia
mencintai sesuatu itu hanyalah karena Allah danberada di jalan Allah.
Cinta sejati adalah
bilamana seluruh dirimu akan kau serahkanuntukmu Kekasih (Allah), hingga
tidak tersisa sama sekali untukmu(lantaran seluruhnya sudah engkau
berikan kepada Allah) dan hendaklahengkau cemburu (ghirah), bila ada
orang yang mencintai Kekasihmumelebihi Cintamu kepada-Nya. Sebuah sya’ir
mengatakan:
Aku cemburu
kepada-Nya,Karena aku Cinta kepada-Nya,Setelah itu aku teringat akan
kadar Cintaku,Akhirnya aku dapat mengendalikan cemburuku
Oleh karena itu, setiap
Cinta yang bukan karena Allah adalahbathil. Dan setiap amalan yang
tidak dimaksudkan karena Allah adalahbathil pula. Maka dunia itu
terkutuk dan apa yang ada di dalamnya jugaterkutuk, kecuali untuk Allah
dan Rasul-Nya
Rabi’ah adalah anak
keempat dari empat saudara. Semuanyaperempuan. Ayahnya menamakan
Rabi’ah, yang artinya “empat”, tak lainkarena ia merupakan anak keempat
dari keempat saudaranya itu. Pernahsuatu ketika ayahnya berdoa agar ia
dikaruniai seorang anak laki-laki.Keinginan untuk memperoleh anak
laki-laki ini disebabkan karenakeluarga Rabi’ah bukanlah termasuk
keluarga yang kaya raya, tapisebaliknya hidup serba kekurangan dan penuh
penderitaan. Setiap hariayahnya kerap memeras keringat untuk menghidupi
keluarganya, sementaraanak-anaknya saat itu masih terbilang
kecil-kecil. Apalagi dengankehadiran Rabi’ah, beban penderitaan ayahnya
pun dirasakan semakinbertambah berat, sehingga bila kelak dikaruniai
anak laki-laki,diharapkan beban penderitaan itu akan berkurang karena
anak laki-lakibisa melindungi seluruh keluarganya. Atau paling tidak
bisa membantuayahnya untuk mencari penghidupan.
Sekalipun keluarganya
berada dalam kehidupan yang serbakekurangan, namun ayah Rabi’ah selalu
hidup zuhud dan penuh kesalehan.Begitu pun Rabi’ah, yang meskipun sejak
kecil hingga dewasanya hidupserba kekurangan, namun ia sama sekali tidak
menciutkan hatinya untukterus beribadah kepada Allah. Sebaliknya,
kepapaan keluarganya iajadikan sebagai kunci untuk memasuki dunia sufi,
yang kemudianmelegendakan namanya sebagai salah seorang martir sufi
wanita di antaraderetan sejarah para sufi.
Rabi’ah memang tidak
mewarisi karya-karya sufistik, termasuksya’ir-sya’ir Cinta Ilahinya
yang kerap ia senandungkan. Namun begitu,Sya’ir-sya’ir sufistiknya
justru banyak dikutip oleh para penulisbiografi Rabi’ah, antara lain J.
Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257 M) dengankaryanya Mir’at az-Zaman (Cermin
Abad Ini), Ibnu Khallikan (w. 1282 M)dengan karyanya Wafayatul A’yan
(Obituari Para Orang Besar), Yafi’Iasy-Syafi’i (w. 1367 M) dengan
karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayatash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam
Kehidupan Para Orang Saleh), danFariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan
karyanya Tadzkirat al-Auliya'(Memoar Para Wali).
Dari sekian banyak
penulis biografi Rabi’ah, Tadzkiratal-Awliya’ karya Fariduddin Aththar
tampaknya dianggap sebagai bukubiografi yang paling mendekati kehidupan
Rabi’ah, terutama ketikaawal-awal Rabi’ah akan lahir di tengah keluarga
yang sangat miskin itu(tapi ada yang menyebutkan bahwa keluarga Rabi’ah
sebenarnya termasukketurunan bangsawan). Riwayat Aththar, yang dikutip
Margaret Smithdalam bukunya Rabi’a the Mystic & Her Fellow-Saints in
Islam(sebuah disertasi, terbitan Cambridge University Press, London,
1928),antara lain banyak mengungkap sisi-sisi kehidupan Rabi’ah sejak
kecilhingga dewa sanya.
Diceritakan,
sewaktu bayi Rabi’ah lahir malam hari, di rumahnyasama sekali tidak ada
minyak sebagai bahan untuk penerangan, termasukkain pembungkus untuk
bayi Rabi’ah. Karena tak ada alat penerangan,ibunya lalu meminta sang
suami, Ismail, untuk mencari minyak di rumahtetangga. Namun, karena
suaminya terlanjur berjanji untuk tidak memintabantuan pada sesama
manusia (kecuali pada Tuhan), Ismail pun terpaksapulang dengan tangan
hampa. Saat Ismail tertidur untuk menunggui putrikeempatnya yang baru
lahir tersebut, ia kemudian bermimpi didatangioleh Nabi Muhammad Saw dan
bersabda: “Janganlah bersedih hati, sebabanak perempuanmu yang baru
lahir ini adalah seorang suci yang agung,yang pengaruhnya akan dianut
oleh 7.000 umatku.” Nabi kemudian bersabdalagi: “Besok kirimkan surat
kepada Isa Zadzan, Amir kota Basrah,ingatkanlah kepadanya bahwa ia
biasanya bershalawat seratus kaliuntukku dan pada malam Jum’at sebanyak
empat ratus kali, tetapi malamJum’at ini ia melupakanku, dan sebagai
hukumannya ia harus membayardenda kepadamu sebanyak empat ratus dinar.”
Ayah Rabi’ah
kemudian terbangun dan menangis. Tak lama, ia punmenulis surat dan
mengirimkannya kepada Amir kota Basrah itu yangdititipkan kepada pembawa
surat pemimpin kota itu. Ketika Amir selesaimembaca surat itu, ia pun
berkata: “Berikan dua ribu dinar ini kepadaorang miskin itu sebagai
tanda terima kasihku, sebab Nabi telahmengingatkanku untuk memberi empat
ratus dinar kepada orang tua itu dankatakanlah kepadanya bahwa aku
ingin agar ia menghadapku supaya akudapat bertemu dengannya. Tetapi aku
rasa tidaklah tepat bahwa orangseperti itu harus datang kepadaku, akulah
yang akan datang kepadanyadan mengusap penderitaannya dengan
janggutku.”
Aththar juga
menceritakan mengenai nasib malang yang menimpakeluarga Rabi’ah. Saat
Rabi’ah menginjak dewasa, ayah dan ibunyakemudian meninggal dunia.
Jadilah kini ia sebagai anak yatim piatu.Penderitaan Rabi’ah terus
bertambah, terutama setelah kota Basrahdilanda kelaparan hebat. Rabi’ah
dan suadara-saudaranya terpaksa harusberpencar, sehingga ia harus
menanggung beban penderitaan itusendirian.
Suatu hari,
ketika sedang berejalan-jalan di kota Basrah, iaberjumpa dengan seorang
laki-laki yang memiliki niat buruk. Laki-lakiitu lalu menarik Rabi’ah
dan menjualnya sebagai seorang budak sehargaenam dirham kepada seorang
laki-laki. Dalam statusnya sebagai budak,Rabi’ah benar-benar
diperlakukan kurang manusiawi. Siang malam tenagaRabi’ah diperas tanpa
mengenal istirahat. Suatu ketika, ada seoranglaki-laki asing yang datang
dan melihat Rabi’ah tanpa mengenakan cadar.Ketika laki-laki itu
mendekatinya, Rabi’ah lalu meronta dan kemudianjatuh terpeleset. Mukanya
tersungkur di pasir panas dan berkata: “YaAllah, aku adalah seorang
musafir tanpa ayah dan ibu, seorang yatimpiatu dan seorang budak. Aku
telah terjatuh dan terluka, meskipundemikian aku tidak bersedih hati
oleh kejadian ini, hanya aku inginsekali ridla-Mu. Aku ingin sekali
mengetahui apakah Engkau Ridlaterhadapku atau tidak.” Setelah itu, ia
mendengar suara yangmengatakan, “Janganlah bersedih, sebab pada saat
Hari Perhitungan nantiderajatmu akan sama dengan orang-orang yang
terdekat dengan Allah didalam surga.”
Setelah itu,
Rabi’ah kembali pulang pada tuannya dan tetapmenjalankan ibadah puasa
sambil melakukan pekerjaannya sehari-hari.Konon, dalam menjalankan ibadah itu, ia sanggup berdiri di atas kakinyahingga siang hari.
Pada suatu
malam, tuannya sempat terbangun dari tidurnya dandari jendela kamarnya
ia melihat Rabi’ah sedang sujud beribadah. Dalamshalatnya Rabi’ah
berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku, Engkau-lah Yang MahaMengetahui keinginan
dalam hatiku untuk selalu menurutiperintah-perintah-Mu. Jika
persoalannya hanyalah terletak padaku, makaaku tidak akan henti-hentinya
barang satu jam pun untuk beribadahkepada-Mu, ya Allah. Karena
Engkau-lah yang telah menciptakanku.”Tatkala Rabi’ah masih khusyuk
beribadah, tuannya tampak melihat adasebuah lentera yang tergantung di
atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelaitali pun yang mengikatnya. Lentera
yang menyinari seluruh rumah itumerupakan cahaya “sakinah” (diambil dari
bahasa Hebrew “Shekina”,artinya cahaya Rahmat Tuhan) dari seorang
Muslimah suci.
Melihat peristiwa
aneh yang terjadi pada budaknya itu, majikanRabi’ah tentu saja merasa
ketakutan. Ia kemudian bangkit dan kembali ketempat tidurnya semula.
Sejenak ia tercenung hingga fajar menyingsing.Tak
lama setelah itu ia memanggil Rabi’ah dan bicara kepadanya
denganbaik-baik seraya membebaskan Rabi’ah sebagai budak. Rabi’ah pun
pamitanpergi dan meneruskan pengembaraannya di padang pasir yang tandus.
Dalam
pengembaraannya Rabi’ah berkeinginan sekali untuk pergike Mekkah
menunaikan ibadah haji. Akhirnya, ia berangkat juga denganditemani
seekor keledai sebagai pengangkut barang-barangnya. Sayangnya,belum lagi
perjalanan ke Mekkah sampai, keledai itu tiba-tiba mati ditengah jalan.
Ia kemudian berjumpa dengan serombongan kafilah danmereka menawarkan
kepada Rabi’ah untuk membawakan barang-barangmiliknya. Namun, tawaran
itu ditolaknya baik-baik dengan alasan takingin meminta bantuan kepada
bukan selain Tuhannya. Ia hanya percayapada bantuan Allah dan tidak
percaya pada makhluk ciptaan-Nya.
Orang-orang itu
pun memahami keinginan Rabi’ah, sehingga merekameneruskan perjalanannya.
Rabi’ah terdiam dan kemudian menundukkankepalanya sambil berdoa, “Ya
Allah, apalagi yang akan Engkau lakukandengan seorang perempuan asing
dan lemah ini? Engkau-lah yangmemanggilku ke rumah-Mu (Ka’bah), tetapi
di tengah jalan Engkaumengambil keledaiku dan membiarkan aku seorang
diri di tengah padangpasir ini.”
Setelah asyik
bermunajat, di depan Rabi’ah tampak keledai yangsemula mati itu pun
hidup kembali. Rabi’ah tentu saja gembira karenabisa meneruskan
perjalannya ke Mekkah.
Dalam cerita yang berbeda
disebutkan, saat Rabi’ah berada ditengah padang pasir, ia berdoa, “Ya
Allah, ya Tuhanku. Hatiku inimerasa bingung sekali, ke mana aku harus
pergi? Aku hanyalah debu diatas bumi ini dan rumah itu (Ka’bah) hanyalah
sebuah batu bagiku.Tampakkanlah wajah-Mu di tempat yang mulia ini.”
Bgeitu ia berdoasehingga muncul suara Allah dan langsung masuk ke dalam
hatinya tanpaada jarak, “Wahai Rabi’ah, ketika Musa ingin sekali melihat
wajah-Ku,Aku hancurkan Gunung Sinai dan terpecah menjadi empat puluh
potong.Tetaplah berada di situ dengan Nama-Ku.”
Diceritakan
pula, saat Rabi’ah dalam perjalanannya ke Mekkah,tiba-tiba di tengah ia
melihat Ka’bah datang menghampiri dirinya.Rabi’ah
lalu berkata, “Tuhanlah yang aku rindukan, apakah artinya rumahini
bagiku? Aku ingin sekali bertemu dengan-Nya yang mengatakan,’Barangsiapa
yang mendekati Aku dengan jarak sehasta, maka Aku akanberada sedekat
urat nadinya.’ Ka’bah yang aku lihat ini tidak memilikikekuatan apa pun
terhadap diriku, kegembiraan apa yang aku dapatkanapabila Ka’bah yang
indah ini dihadapkan pada diriku?” Singkat cerita,sekembalinya Rabi’ah
dari menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia kemudianmenetap di Basrah dan
mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadahkepada Allah seraya
melakukan perbuatan-perbuatan mulia.
Sebagaimana yang
banyak ditulis dalam biografi Rabi’ahal-Adawiyah, wanita suci ini sama
sekali tidak memikirkan dirinya untukmenikah. Sebab, menurut Rabi’ah,
jalan tidak menikah merupakan tindakanyang tepat untuk melakukan
pencarian Tuhan tanpa harus dibebani olehurusan-urusan keduniawian.
Padahal, tidak sedikit laki-laki yangberupaya untuk mendekati Rabi’ah
dan bahkan meminangnya. Di antaranyaadalah Abdul Wahid bin Zayd, seorang
sufi yang zuhud dan wara. Ia jugaseorang teolog dan termasuk salah
seorang ulama terkemuka di kotaBasrah.
Suatu ketika,
Abdul Wahid bin Zayd sempat mencoba meminangRabi’ah. Tapi lamaran itu
ditolaknya dengan mengatakan, “Wahailaki-laki sensual, carilah perempuan
sensual lain yang sama denganmereka. Apakah engkau melihat adanya satu
tanda sensual dalam diriku?”
Laki-laki lain
yang pernah mengajukan lamaran kepada Rabi’ahadalah Muhammad bin
Sulaiman al-Hasyimi, seorang Amir Abbasiyah dariBasrah (w. 172 H). Untuk
berusaha mendapatkan Rabi’ah sebagai istrinya,laki-laki itu sanggup
memberikan mahar perkawinan sebesar 100 ribudinar dan juga
memberitahukan kepada Rabi’ah bahwa ia masih memilikipendapatan sebanyak
10 ribu dinar tiap bulan. Tetapi dijawab olehRabi’ah, “Aku sungguh
tidak merasa senang bahwa engkau akan menjadibudakku dan semua milikmu
akan engkau berikan kepadaku, atau engkauakan menarikku dari Allah
meskipun hanya untuk beberapa saat.”
Dalam kisah lain
disebutkan, ada laki-laki sahabat Rabi’ahbernama Hasan al-Bashri yang
juga berniat sama untuk menikahi Rabi’ah.Bahkan para sahabat sufi lain
di kota itu mendesak Rabi’ah untukmenikah dengan sesama sufi pula.
Karena desakan itu, Rabi’ah lalumengatakan, “Baiklah, aku akan menikah
dengan seseorang yang palingpintar di antara kalian.” Mereka mengatakan
Hasan al-Bashri lahorangnya.” Rabi’ah kemudian mengatakan kepada Hasan
al-Bashri, “Jikaengkau dapat menjawab empat pertanyaanku, aku pun akan
bersedia menjadiistrimu.” Hasan al-Bashri berkata, “Bertanyalah, dan
jika Allahmengizinkanku, aku akan menjawab pertanyaanmu.”
“Pertanyaan
pertama,” kata Rabi’ah, “Apakah yang akan dikatakanoleh Hakim dunia ini
saat kematianku nanti, akankah aku mati dalamIslam atau murtad?” Hasan
menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahuiyang dapat menjawab.”
“Pertanyaan kedua,
pada waktu aku dalam kubur nanti, di saatMalaikat Munkar dan Nakir
menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasanmenjawab, “Hanya Allah Yang
Maha Mengetahui.”
“Pertanyaan
ketiga, pada saat manusia dikumpulkan di PadangMahsyar di Hari
Perhitungan (Yaumul Hisab) semua nanti akan menerimabuku catatan amal di
tangan kanan dan di tangan kiri. Bagaimanadenganku, akankah aku
menerima di tangan kanan atau di tangan kiri?”Hasan kembali menjawab,
“Hanya Allah Yang Maha Tahu.”
“Pertanyaan
terakhir, pada saat Hari Perhitungan nanti,sebagian manusia akan masuk
surga dan sebagian lain masuk neraka. Dikelompok manakah aku akan
berada?” Hasan lagi-lagi menjawab sepertijawaban semula bahwa hanya
Allah saja Yang Maha Mengetahui semuarahasia yang tersembunyi itu.
Selanjutnya,
Rabi’ah mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Akutelah mengajukan empat
pertanyaan tentang diriku, bagaiman aku harusbersuami yang kepadanya aku
menghabiskan waktuku dengannya?” Dalampenolakannya itu pula, Rabi’ah
lalu menyenandungkan sebuah sya’ir yangcukup indah.
Damaiku, wahai
saudara-saudaraku,Dalam kesendirianku,Dan kekasihku bila selamanya
bersamaku,Karena cintanya itu,Tak ada duanya,Dan cintanya itu
mengujiku,Di antara keindahan yang fana ini,Pada saat aku merenungi
Keindahan-Nya,Dia-lah “mirabku”, Dia-lah “kiblatku”,Jika aku mati karena
cintaku,Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,Amboi, alangkah hinanya
hidupku di dunia ini,Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,Juangku bila
menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku
selamanya,Engkau-lah sumber hidupku,Dan dari-Mu jua datang
kebahagiaanku,Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini dariku,Harapku
dapat menyatu dengan-Mu,Karena itulah hidup kutuju.
Begitulah,
meskipun sebagai manusia, Rabi’ah tak pernah tergodasedikit pun oleh
berbagai keindahan dunia fana. Sampai wafatnya, iahanya lebih memilih
Allah sebagai Kekasih sejatinya semata ketimbangharus bercinta dengan
sesama manusia. Meskipun demikian, disebutkanbahwa Rabi’ah memiliki
sejumlah sahabat pria, dan sangat sedikit sekaliia bersahabat dengan
kaum perempuan. Di antara sahabat-sahabat Rabi’ahyang cukup dekat
misalnya Dzun Nun al-Mishri, seorang sufi Mesir yangmemperkenalkan
ajaran doktrin ma’rifat. Sufi ini meninggal pada tahun856 M dan sempat
bersahabat dengan Rabi’ah selama kurang lebih setengahabad. Bahkan ada
yang menyebutkan bahwa pertemuan antara Dzun Nunal-Mishri dengan Rabi’ah
ini terjadi sejak awal-awal usianya.
Di kalangan
para sahabat sufi-nya itu, Rabi’ah banyak sekaliberdiskusi dan
berbincang tentang Kebenaran, baik siang maupun malam.Salah
seorang sahabat Rabi’ah, Hasan al-Bashri, misalnya menceritakan:”Aku
lewati malam dan siang hari bersama-sama dengan Rabi’ah,berdiskusi
tentang Jalan dan Kebenaran, dan tak pernah terlintas dalambenakku bahwa
aku adalah seorang laki-laki dan begitu juga Rabi’ah, takpernah ada
dalam pikirannya bahwa ia seorang perempuan, dan akhirnyaaku menengok
dalam diriku sendiri, baru kusadari bahwa diriku takmemiliki apa-apa,
yaitu secara spiritual aku tidak berharga,Rabi’ah-lah yang sesungguhnya
sejati.
Dalam kisah
lain, diceritakan bahwa pada suatu hari Rabi’ahmelewati lorong rumah
Hasan al-Bashri. Hasan melihatnya melalui jendeladan menangis, hingga
air matanya jatuh menetes mengenai jubah Rabi’ah.Ia
menengadah ke atas, dan berpikir bahwa hari tidaklah hujan, danketika
ia menyadari bahwa itu air mata sahabatnya, lalu dihampirinyasahabat
yang sedang menangis tersebut seraya berkata, “Wahai guruku,air itu
hanyalah air mata kesombongan diri saja dan bukan akibat darimelihat ke
dalam hatimu, di mana dalam hatimu air itu akan membentuksungai yang di
dalamnya tidak akan engkau dapati lagi hatimu, kecualiia telah bersama
dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.” Setelah mendengarkata-kata Rabi’ah itu,
Hasan tampak hanya bisa berdiam diri.
Di kalangan
para sahabatnya, kehidupan Rabi’ah dirasakan banyakmemberi manfaat. Hal
ini dikarenakan Rabi’ah banyak sekalimemperhatikan kehidupan mereka.
Perhatian Rabi’ah yang cukup besarkepada para sahabatnya itu, misalnya
saja dibuktikan dengan kisahsebagai berikut: Suatu ketika, ada seorang
laki-laki yang meminta agarRabi’ah mendoakan untuk dirinya. Tapi
permohonan itu dibalas olehRabi’ah dengan rasa rendah hati, “Wahai,
siapakah diriku ini? Turutlahperintah Allah dan berdoalah kepada-Nya,
sebab Dia akan menjawab semuadoa bila engkau memohonnya.”
Ke-zuhud-an Rabi’ah al-Adawiyah
Sebagaimana
diungkapkan terdahulu, Rabi’ah sejak kecil sudahmemiliki karakter yang
tidak begitu banyak memperhatikan kehidupanduniawi. Hidupnya sederhana
dan sangat besar hati-hatinya terhadapmakanan apapun yang masuk ke dalam
perutnya. Bahkan saking zuhudnya,Rabi’ah sering menolak setiap bantuan
yang datang dari para sahabatnya,tetapi sebaliknya Rabi’ah malah
menyibukkan diri untuk melayaniTuhannya. Selepas dirinya dari
perbudakan, Rabi’ah memilih hidupmenyendiri di sebuah gubuk sederhana di
kota Basrah tempatkelahirannya. Ia meninggalkan kehidupan duniawi dan
hidup hanya untukberibadah kepada Allah.
Tampaknya,
keinginan untuk hidup zuhud dari kehidupan duniawiini benar-benar ia
jalankan secara konsisten. Pernah misalnya Al-Jahiz,seorang sufi
generasi tua, menceritakan bahwa beberapa dari sahabatnyamengatakan
kepada Rabi’ah, “Andaikan kita mengatakan kepada salahseorang
keluargamu, pasti mereka akan memberimu seorang budak, yangakan melayani
kebutuhanmu di rumah ini.” Tetapi ia menjawab, “Sungguh,aku sangat malu
meminta kebutuhan duniawi kepada Pemilik dunia ini,bagaimana aku harus
meminta kepada yang bukan memiliki dunia ini?”Tiba-tiba terdengar suara
mengatakan:
“Jika engkau
menginginkan dunia ini, maka akan Aku berikansemua dan Aku berkahi,
tetapi Aku akan menyingkir dari dalam kalbumu,sebab Aku tak mungkin
berada di dalam kalbu yang memiliki dunia ini.Wahai Rabi’ah, Aku mempunyai Kehendak dan begitu juga denganmu. Akutidak mungkin menggabungkan dua kehendak itu di dalam satu kalbu.”
Rabi’ah
kemudian mengatakan, “Ketika mendengar peringatan itu,kutanggalkan hati
ini dari dunia dan kuputuskan harapan duniawikuselama tiga puluh tahun.
Aku salat seakan-akan ini terkahir kalinya,dan pada siang hari aku
mengurung diri menjauhi makhluk lainnya, akutakut mereka akan menarikku
dari diri-Nya, maka akau katakana, “YaTuhan, sibukkanlah hati ini dengan
hanya menyebut-Mu, jangan Engkaubiarkan mereka menarikku dari-Mu.”
Sebagai
seorang zahid, Rabi’ah senantiasa bermunajat kepadaAllah agar
dihindarkan dari ketergantungannya kepada manusia. Namun,perjalanan
zuhud yang dialami Rabi’ah tampaknya tidak mudah begitu sajadilalui. Di
depan, banyak tantangan dan cobaan yang harus ia
hadapi.Kenyataan-kenyataan itu memang wajar, karena sebagai manusia,
takmungkin dirinya hanya bergantung kepada Allah semata.
Meskipundemikian, Rabi’ah tetap berusaha untuk menghindari apapun
bantuan yangdatang selain dari Allah, sehingga sekalipun ia hidup dalam
kemiskinan(faqr), namun kemiskinannya dianggap sebagai bagian dari kasih
sayangAllah kepada Rabi’ah.
Dalam satu
kisah misalnya disebutkan, sahabatnya Malik binDinar pada suatu waktu
mendapati Rabi’ah sedang terbaring sakit di atastikar tua dan lusuh,
serta batu bata sebagai bantal di kepalanya.Melihat pemandangan seperti
itu, Malik lalu berkata pada Rabi’ah, “Akumemiliki teman-teman yang kaya
dan jika engkau membutuhkan bantuan akuakan meminta kepada mereka.”
Rabi’ah mengatakan, “Wahai Malik, engkausalah besar. Bukankah Yang
memberi mereka dan aku makan sama?” Malikmenjawab, “Ya, memang sama.”
Rabi’ah mengatakan, “Apakah Allah akanlupa kepada hamba-Nya yang miskin
dikarenakan kemiskinannya dan akankahDia ingat kepada hamba-Nya yang
kaya dikarenakan kekayaannya?” Malikmenyahut, “Tidak.” Rabi’ah lalu
kembali mengatakan, “Karena Diamengetahui keadaanku, mengapa aku harus
mengingatkan-Nya? Apa yangdiinginkan-Nya, kita harus menerimanya.”
Sikap zuhud
yang ditampilkan Rabi’ah sesungguhnya tiada lainagar ia hanya lebih
mencintai Allah ketimbang makhluk-makhluknya.Karena itu, hidup dalam
kefakiran baginya bukanlah halangan untukberibadah dan lebih dekat
dengan Tuhannya. Dan, toh, Rabi’ah menganggapbahwa kefakiran adalah
suatu takdir, yang karenanya ia harus terimadengan penuh keikhlasan.
Kebahagiaan dan penderitaan, demikian menurutRabi’ah, adalah datang dari
Allah. Dan dalam perjalanannya sufistiknyaitu, Rabi’ah sendiri telah
melaksanakan pesan Rasulullah: “Zuhudlahengkau pada dunia, pasti Allah
akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yangada pada manusia, pasti manusia
akan mencintaimu.”
Cinta Ilahi Rabi’ah al-Adawiyah
Cinta Ilahi
(al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memilikinilai tertinggi.
Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufitak ubahnya dengan
maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifatmerupakan kembar dua
yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. AbuNashr as-Sarraj ath-Thusi
mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itutimbul dari pandangan dan
pengetahuan mereka tentang cinta abadi dantanpa pamrih kepada Allah.
Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuanapa pun.
Apa yang
diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya takberbeda jauh
dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf(takut) dan
raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdikepada Allah
didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untukmasuk surga,
maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdikepada Allah bukan
lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasansurga, namun ia
mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cintakepada dan karena
Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’irRabi’ah sebagai berikut:
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,karena takut pada neraka,maka bakarlah aku di dalam neraka.Dan
jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,campakkanlah aku dari
dalam surga.Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,janganlah Engkau
enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,yang Abadi kepadaku.
Cinta Rabi’ah
kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya,sehingga hatinya pun tak
mampu untuk berpaling kepada selain Allah.Pernah suatu ketika Rabi’ah
ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintaiRasul?” Ia menjawab, “Ya, aku
sangat mencintainya, tetapi cintakukepada Pencipta membuat aku berpaling
dari mencintai makhluknya.”Rabi’ahjuga ditanya tentang eksistensi
syetan dan apakah ia membencinya? Iamenjawab, “Tidak, cintaku kepada
Tuhan tidak meninggalkan ruang kosongsedikit pun dalam diriku untuk rasa
membenci syetan.”
Allah adalah
teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke manasaja Rabi’ah pergi,
hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Iamencintai Allah dengan
sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, iasering jadikan Kekasihnya itu
sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalamsalah satu sya’ir berikut
jelas tergambar bagaimana Cinta Rbi’ah kepadaTeman dan Kekasihnya itu:
Kujadikan
Engkau teman bercakap dalam hatiku,Tubuh kasarku biar bercakap dengan
yang duduk.Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,Isi hatiku hanya
tetap Engkau sendiri.
Menurut kaum
sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampaikepada maqam mahabbah
dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ketahapan maqam tersebut,
Rabi’ah terlebih dahulu melampauitahapan-tahapan lain, antara lain
tobat, sabar dan syukur.Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan
perwujudan Cintanyakepada Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah
kepada Tuhannyaseakan masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian
telah disibakkan.Oleh karena
itu, Rabi’ah tak henti-hentinya memohon kepada Kekasihnyaitu agar ia
bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya. Halini sesuai
dengan firman Allah: “Dia mencintai mereka dan merekamencintai-Nya” (QS.
5: 59).
Dalam
kegamangannya itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa danbermunajat
kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetapmencintai
Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya. Doanya:
Tuhanku, malam telah berlalu dansiang segera menampakkan diri.Aku
gelisah apakah amalanku Engkau terima,hingga aku merasa bahagia,Ataukah
Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,Demi ke-Maha
Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.Selama Engkau beri aku
hayat,sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,aku tidak akan pergi
karena cintaku pada-Mu,telah memenuhi hatiku.
Cinta bagi
Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telahmelupakan segalanya
selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu sajabukan tujuan, tetapi
lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untukmenuju Tuhan sehingga
Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dandengan jalan Cinta itu
pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanyadan kepada amalan-amalan
baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanyakepada Tuhan tak lain
agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dankemudian Tuhan sanggup
membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan jugadi akhirat kelak. Ia
mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinyaberharap Tuhan memperlihatkan
wajah yang selalu dirindukannya. Dalamsya’irnya Rabi’ah mengatakan:
Aku
mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,Cinta rindu dan Cinta karena Engkau
layak dicinta,Dengan Cinta rindu,kusibukan diriku dengan
mengingat-ingat-Mu selalu,Dan bukan selain-Mu.Sedangkan Cinta karena
Engkau layak dicinta,di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,agar aku dapat memandangmu.Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.
Abu Thalib al-Makki
dalam mengomentari sya’ir di atasmengatakan, dalam Cinta rindu itu,
Rabi’ah telah melihat Allah danmencintai-Nya dengan merenungi esensi
kepastian, dan tidak melaluicerita orang lain. Ia telah mendapat
kepastian (jaminan) berupa rahmatdan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya
telah menyatu melalui hubunganpribadi, dan ia telah berada dekat sekali
dengan-Nya dan terbangmeninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya
hanya dengan-Nya,menanggalkan duniawi kecuali hanya kepada-Nya.
Sebelumnya ia masihmemiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap
Allah, ia tanggalkannafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di
dalam hatinya danDia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah memebaskan
hatinya darikeinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini
meskipun iamasih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum sesuai
untukdianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap sudah dan
iaberada di tempat yang mulia. Cintanya kepada Allah tidak
memerlukanbalasan dari-Nya, meskipun ia merasa harus mencintai-Nya.
Al-Makki
melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Diamenampakkan rahmat-Nya di
muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitupada saat ia melintasi Jalan
itu) dan rahmat Allah itu akan tampak jugadi akhirat nanti (yaitu pada
saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dania akan melihat wajah Allah
tanpa ada hijab, berhadap-hadapan). Tak adalagi pujian yang layak
bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allahsendiri yang telah
membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia danakhirat) (Abu Thalib
al-Makki, Qut al-Qulub, 1310 H, dalam MargaretSmith, 1928).
Rabi’ah dan menjelang hari kematiannya
Dikisahkan, Rabi’ah telah
menjalani masa hidup selama kuranglebih 90 tahun. Dan selama itu, ia
hanya mengabdi kepada Allah sebagaiPencipta dirinya, hingga Malaikat
Izrail menjemputnya. Tentu saja,Rabi’ah telah menjalani pula masa-masa
di mana Allah selalu beradadekat dengannya. Para ulama yang mengenal
dekat dengan Rabi’ahmengatakan, kehadiran Rabi’ah di dunia hingga
kembalinya ke alamakhirat, tak pernah terbersit sedikit pun adanya
keinginan lain kecualihanya ta’zhim (mengagungkan) kepada Allah. Ia juga
bahkan sedikitsekali meminta kepada makhluk ciptaan-Nya.
Berbagai
kisah menjelang kematian Rabi’ah menyebutkan, diantaranya pada masa
menjelang kematian Rabi’ah, banyak sekali orangalim duduk
mengelilinginya. Rabi’ah lalu meminta kepada mereka:’Bangkit dan
keluarlah! Berikan jalan kepada pesuruh-pesuruh Allah YangMaha Agung!’
Maka semua orang pun bangkit dan keluar, dan pada saatmereka menutup
pintu, mereka mendengar suara Rabi’ah mengucapkankalimat syahadat,
setelah itu terdengar sebuah suara: “Wahai jiwa yangtenang, kembalilah
kepada Tuhanmu, berpuas-puaslah dengan-Nya. Makamasuklah bersama
golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalamsurga-Ku.” (QS. 89: 27-30).
Setelah
itu tidak terdengar lagi suara apa pun. Pada saatmereka kembali masuk ke
kamar Rabi’ah, tampak perempuan tua renta itutelah meninggalkan alam
fana. Para dokter yang berdiri di hadapannyalalu menyuruh agar jasad
Rabi’ah segera dimandikan, dikafani,disalatkan, dan kemudian dibaringkan
di tempat yang abadi.
Kematian
Rabi’ah telah membuat semua orang yang mengenalnyahampir tak percaya,
bahwa perempuan suci itu akan segera meninggalkanalam fana dan menjumpai
Tuhan yang sangat dicintainya. Orang-orangkehilangan Rabi’ah, karena
dialah perempuan yang selama hidupnya penuhpenderitaan, namun tak pernah
bergantung kepada manusia. Setiap orangsudah pasti akan mengenang
Rabi’ah, sebagai sufi yang telah berjumpadengan Tuhannya.
Karenanya,
setelah kematian Rabi’ah, seseorang lalu pernahmemimpikanya. Dia
mengatakan kepada Rabi’ah, “Ceritakanlah bagaimanakeadaanmu di sana dan
bagaimana engkau dapat lolos dari Munkar danNakir?” Rabi’ah menjawab,
“Mereka datang menghampiriku dan bertanya,”Siapakah Tuhanmu?’ Aku
katakana, “Kembalilah dan katakan kepadaTuhanmu, ribuan dan ribuan sudah
ciptaan-Mu, Engkau tentunya tidak akanlupa pada perempuan tua lemah
ini. Aku, yang hanya memiliki-Mu didunia, tidak pernah melupakan-Mu.
Sekarang, mengapa Engkau harusbertanya, ‘Siapa Tuhanmu?'”
Kini Rabi’ah
telah tiada. Perempuan kekasih Ilahi itu meninggaluntuk selamanya, dan
akan kembali hidup bersama Sang Kekasih disisi-Nya. Jasad kasarnya
hilang ditelan bumi, tetapi ruh sucinyaterbang bersama para sufi, para
wali, dan para pecinta Ilahi.
Habib Luthfi Menolak Keras Gugatan Hasil Muktamar NU
Pimpinan tertinggi JATMAN (Jam'iyyah Ahlut Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah), al-Habib M. Luthfi bin Yahya, usai ditemui Gus Shalah dan utusan KH. Hasyim Muzadi, menolak dengan tegas kubu HM-GS cs untuk menggugat hasil Muktamar dan menuntut Muktamar ulang. Karena secara de facto dan de jure hasil Muktamar NU ke-33 telah sah dan meyakinkan, meskipun banyak kekurangan secara teknis di lapangan.
"Menggugat dan menuntut Muktamar ulang sama saja meruntuhkan ulama dan Nahdlatul Ulama itu sendiri," tutur Habib Luthfi.
Habib
Luthfi juga menyatakan kekecewaannya atas mundurnya Gus Mus dari
jabatan Rais Aam. Karena, menurut Habib Luthfi, Gus Mus bagi beliau
adalah yang terpantas menyandang jabatan tersebut. Dan Habib Luthfi juga
menyatakan sangat menyetujui mekanisme AHWA (Ahlul Halli Wal 'Aqdi)
diterapkan untuk pemilihan Rais Aam di Muktamar ini. (Kunanfadinaka).
Sebelumnya,
dalam suasana Muktamar, Habib Luthfi mampir sejenak di Tebuireng. Usai
Maghrib sekitar pukul 18.00, Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan tiba di
Tebuireng bersama para pengikutnya. Setelah memasuki komplek Pesantren
Tebuireng, Rais Aam Jam’iyah Ahlut Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah
itu langsung menuju ke kediaman Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid, Selasa
(04/08).
Selesai
berbincang dengan Gus Sholah, Habib Luthfi berziarah ke makam Hadhratus
Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari di komplek pemakaman Tebuireng. Para
peziarah maupun muktamirin pun berebut ingin bersalaman.
Kedatangan
Ketua Umum MUI Jawa Tengah itu juga ditemani seorang ulama asal Malang,
KH. Abdul Mu’thi. “Beliau tiba habis Maghrib, ke ndalem, lalu ziarah.
Setelah itu langsung pulang”, kata seorang satpam Tebuireng. Sekitar
pukul 20.00 WIB, setelah berziarah, Habib Luthfi langsung meninggalkan
Pesantren Tebuireng dengan mobil hitam berplat nomor N 5 U.
(Tebuireng.org)
sumber:
Apa itu Islam NUsantara?
Oleh: Ahmad Baso,
Islam
NUsantara bukanlah Islam tandingan, bukan agama baru, bukan pula agama
pinggiran atau “Islam lokal” yang dianut kalangan Muslim NUsantara .
Islam
NUsantara bukan pula Islam historis. Ketika Islam NUsantara dikatakan
Islam historis, maka itu kemudian dipertentangkan dengan “Islam
normatif” yang asli dari al-Quran dan Hadits yang kemudian hanya
dimiliki kelompok Islam puritan Wahabi! Dikotomi itu hanya membenarkan
kelompok puritan yang punya slogan “kembali kepada al-Quran dan Hadits”,
selian itu hanya historis yang berubah-ubah di setiap saat!
Berbicara
tentang Islam NUsantara adalah berbicara tentang bagaimana Islam
sebagai ajaran normatif diamalkan dan diistifadah dalam “bahasa-bahasa
ibu” penduduk NUsantara. Jadi sebutan NUsantara bukan menunjukkan sebuah
teritori, tapi sebagai paradigma pengetahuan, kerja-kerja kebudayaan
dan juga kreatifitas intelektual.
Manhaji Islam NUsantara
Islam NUsantara adalah ma’rifatul ulama-i-l-Indonesiyyin bil-ahkami-sy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha-t-tafshiliyyah; atau, majmu’atu ma’arifil -l- ulama-i-l-Indonesiyyin bil-ahkami-sy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha-t-tafshiliyyah (al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas).
Islam NUsantara sebagai hasil ijma dan ijtihad para ulama NUsantara “dalam melakukan istinbath terhadap al-ahkami-sy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha-t-tafshiliyyah”. Islam NUsantara adalah idrakul hukmi min dalilihi ala sabili-r-rujhan.
Islam NUsantara sebagai “mazhab berpikir” para ulama kita tentang
bagaimana idrakul hukmi min dalilihi ala sabili-r-rujhan. (Jadi bicara
Islam NUsantara justru tidak nyambung dengan bangunan fiqhul kitab
wassunah atau fiqih sunnah yang dikampanyekan kalangan puritan wahabi).
Obyek Islam NUsantara sebagai ilmu tentang hal-hal ‘aridhah li dzatil Islam, yakni, al-ahwal al-mansubah ila l-Islam. Apa yang dimaksud yang aridhah? Yakni al-mahmul alasysyai al-kharij ‘an dzatih, atau, al-‘aradh dzati lisyiddati ta’lluqihi bi-dz-dzati, bi an yalhaqal sy syai ldzatihi,
seperti penginderaan atau pencerapan inderawi oleh manusia, atau
melalui sesuatu yang setara dengan dzat itu, seperti ketawanya manusia
karena perantaraan takjub, atau melalui sesuatu yang lebih umum dari itu
tapi tetap menjadi bagian integral darinya, yakni melalui posisinya
sebagai makhluk.
Posisi
Islam NUsantara seperti halnya posisi bermazhab, tidak bisa dilepaskan
dari ajaran normatif Islam itu sendiri. Memang ia adalah aradh,
terpisah, tapi tidak bisa dilepaskan dari yang normatif itu, karena lisyiddati ta’lluqihi bi dzati-l-Islam. Bahkan untuk memahami dan mengamalkan Islam itu sendiri.
Oleh karena itu ada salah satu kaidah yang relevan tentang Islam NUsantara ini: “Ma la yattimu-l-wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (Islam NUsantara adalah bagian dari yang “bihi, fahuwa wajibun”).
Redaksi aplikatifnya adalah “al-Islam Nusantara huwa: ma la yatimmu-l-Islam illa bihi fahuwa wajibun”. Juga argemen lil wasail hukmul maqashid. Juga ada argumen al-Imam al-Ghazali dalam Kitab al-Mustashfa min Ilmi-l-Ushul (al-kulliyatul-khams).
Contoh-Contoh Ijtihad Islam NUsantara:
- Imsak,
- Halal bihalal,
- Ta’liq thalaq,
- Konsep barakah (ziyadah fil-khair – ke barakah Nusantara dalam Hikayat Banjar)
- Kaidah al-muhafazhah ala-l-qadimis-sh-shalih
Silsilah dan Sanad Islam NUsantara
Untuk
menunjukkan bahwa Islam NUsantara itu bukan Islam pinggiran, bukan Islam
yang tidak murni, bukan Islam lokal atau Islam tidak sempurna, salah
satu instrumen untuk membuktikan itu adalah sanad dan silsilah kitab dan
guru-guru. Contoh Silsilah Syeikh Yasin al-Fadani, ada ratusan ulama
Indonesia yang mengambil ilmu dari Syeikh Yasin Isa al-Fadani di Mekah.
Berikut sanad beliau hingga ke al-Imam asy-Syafi’i:
- Allah subhanahu wata’ala
- Malaikat Jibril
- Nabi Muhammad shallallahualaihiwasallam
- Abdullah bin Mas’ud
- Alqamah
- Imam Ibrahim an-Nakha’i (wafat 95 H)
- Hammad bin Abi Sulaiman (wafat 120 H)
- Imam Abu Hanifah (wafat 150 H)
- Imam Malik (wafat 179 H)
- Al-Imam asy-Syafii (wafat 204 H)
- Ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi (wafat 270 H)
- Abu al-Abbas Muhammad bin Ya’qub al-Asham
- Abu Nuaim al-Asfahani
- Abu Ali bin Ahmad al-Haddad
- Al-Qadhi Abu al-Makarim Ahmad bin Muhammad al-Labban
- Al-Fakhr Abu al-Hasan Ali bin Ahmad ibn al-Bukhari
- Ash-Shalah Muhammad bin Abi Umar
- Imam al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani
- Al-Qadhi Zakariya bin Muhammad al-Anshari
- Syeikh Najmuddin Muhammad bin Ahmad al-Ghaithi
- Syeikh Salim bin Muhammad as-Sanhuri
- Syeikh Syamsuddin Muhammad bin Ala al-Babili
- Syeikh Syamsuddin Muhammad bin Salim al-Hifni
- Syeikh Abdullah bin Hijazi Syarqawi
- Syekih Usman bin Hasan ad-Dimyathi
- Syeikh Ahmad Zaini Dahlan
- Syeikh Bakri Syatha
- Syeikh Muhammad Ali al-Maliki (w 1367 H) + Syekh Umar Hamdan al-Mahrisi + Syekh Umar bin Husain ad-Daghistani (w 1365 H) +
- Syekh Hasan bin Sa’id Yamani (wafat 1391 H)
- Syekh Yasin Isa al-Fadani
- Ulama-ulama Islam NUsantara
Islam NUsantara adalah “Ngluri Leluhur” (Melestarikan Tradisi Leluhur)
Islam
NUsantara memberi karakter bermazhab dalam teks-teks para ulama
NUsantara untuk menyambungkan kita dengan tradisi leluhur kita, untuk
kita hormati, dan untuk meneladani contoh-contoh terbaik yang mereka
hasilkan. Itu kalau Anda ingin menghargai jasa para leluhur bangsa ini,
yang berjuang dan berbakti demi bangsa ini, tapi kalau tidak bermazhab,
tidak punya silsilah atau kedekatan dengan sanad, berarti Anda tidak
punya kepekaan dan tidak juga basis kerakyatan. Jadi ngluri leluhur
adalah penghargaan terhadap leluhur, para ulama, para pejuang yang
berjuang untuk bangsa ini serta para pendahulu yang berjasa.
Islam
NUsantara membantu anak-anak bangsa memelihara segenap memori kolektif
bangsa ini dari masa lalu tentang kejayaannya, tentang segenap
pengalamannya berhadapan dengan bangsa-bangsa asing, hingga membantu
mereka mengingat kembali perjuangan orang-orang yang berkorban untuk
bangsa dan tanah air ini. Mekanisme untuk itu dilakukan dengan
memelihara sejumlah tradisi, ritual, upacara, rasionalitas (ma’quliyah),
pengalaman, dan segenap praktik-praktik keagamaan, kesenian dan
berkebudayaan yang menghubungkan satu generasi ke generasi berikutnya,
dari satu komunitas ke komunitas lainnya, sehingga solidaritas
berbangsa, persatuan dan kebersamaan di antara komponen bangsa ini jadi
terjaga.
Mengapa Perlu Ada Islam NUsantara, Tidak Cukupkah Islam Saja?
Karena
mengarah pada kesinambungan memori bangsa dan pemeliharaan sumber-sumber
kekuatan bangsa ini, maka Islam NUsantara menjadi alat dan mekanisme
efektif dan satu-satunya untuk mengembangkan segenap kekuatan dan
potensi sumber daya bangsa ini di masa depan, yang nanti akan dituangkan
dalam berbagai displin pengetahuan dan lembaga-lembaga ekonomi, sosial,
kebudayaan dan politik.
Islam
NUsantara adalah sarana untuk membentuk kemampuan bekerja penduduk
negeri ini, dan juga sebagai sarana yang utama untuk memahami pengalaman
bangsa-bangsa di dunia ini, untuk menguji berbagai kecenderungan
(paham, aliran, ideologi, politik) di dunia ini, serta untuk memahami
dan membentuk karakter khusus bangsa kita dengan sebuah pandangan untuk
membangkitkan segenap kekuatan mereka ke depan dengan sebuah pandangan
yang optimis dan kritis
Substansi Islam NUsantara:
- Babad Tanah Jawi: Konstruksi Kiai Abdullah bin Abdulkahar al-Bantani abad 17 tentang silsilah dan sanad dalam historiografi Nusantara,
- Serat Surya Raja: Konstruksi Putra Mahkota Kraton Yogyakarta [kemudian menjadi Hamengkubuwono II] abad 18 tentang ideologi “Kimudin Arap Jawi” (menegakkan Islam NUsantara ). “Teks Serat Surya Raja [karya Hamengkubuwono II] meramalkan satu solusi akhir dari pemisahan kekuasaan [antara Yogyakarta dan Surakarta] dan masalah kolonialisme Belanda [di NUsantara], yaitu persatuan dan kemenangan penduduk Jawi [NUsantara], yang dimungkinkan oleh keunggulan peradaban Islam Aswaja”
Substansi Historiografi NUsantara: Persatuan dan Titik Temu NUsantara
- Serat Jaka Rusul dari abad 19: “Dhewe-dhewe tekatira nanding nora sulaya, kumpul bae maksudira” (meski mereka berbeda-beda, tapi tidak berselisih dan tetap bertemu juga maksudnya).
- Jaringan teks-teks Islam NUsantara dari abad 17 dan 18 dalam bahasa Melayu merupakan “petunjuk tentang proses pembentukan ideologi baru di bidang agama dan politik.” (dirumuskan kemudian menjadi “al-Jumhuriyah al-Indonesiyah”)
- Serat Wicarakeras karya Kiai Yosodipuro II: “padha Jawa datan arsa” (sadar tidak berperang dan berlawanan dengan sesama anak-anak NUsantara); “[tan] sêsetanan anjaili padha bôngsa” (jangan seperti orang yang setannya mengkhianati sesama anak bangsa sendiri).
Strategi- Strategi Islam NUsantara: “Para Wali Pasemone” (Para Walisongo Berbahasa Takwil)
Artinya:
- “Sampun putus patitis” (ahli takwil, jago tafsir dan ahli membuat bahasa kiasan),
- “Tan kuciwa ing semu”, tidak pernah luput menangkap makna yang halus dan tersembunyi,
- “Limpat ing reh pasang semu”, ahli dan mumpuni dalam seni menghasilkan tanda-tanda dalam berkomunikasi tentang makna dan kebenaran yang tersembunyi.
Disampaikan
dalam Daurah Nasional Kader Ahlussunnah wal Jama’ah dengan presentasi
berjudul “Islam NUsantara: Qawli, Manhaji, Ideologi”, bertempat di
Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Jawa Timur, 2 Rabi’ul Awwal 1436 H/ 24
Desember 2015
Sumber :
https://rmi-nu.or.id/nahdlatul-ulama/apa-itu-islam-nusantara-2748.
Makan Bersama Tuhan
Pada suatu hari, beberapa orang dari Bani Israil datang menemui Musa as dan berkata, Wahai Musa, bukankah kau boleh bicara dengan Tuhan? Tolong sampaikan pada-Nya, kami ingin mengundang-Nya makan malam.
Musa marah luar biasa. Ia berkata bahwa Tuhan tidak perlu makan atau minum.
Ketika Musa datang ke Gunung Sinai untuk berbicara dengan Tuhan, Tuhan bersabda,
Mengapa kau tidak menyampaikan kepada-Ku undangan makan malam dari hamba-Ku? Musa menjawab, Tapi Tuhanku, Engkau tidak makan. Engkau pasti tidak akan menerima undangan tolol seperti itu. Tuhan berkata, Simpan pengetahuanmu antara kau dan Aku. Katakan pada mereka, Aku akan datang memenuhi undangan itu.
Turunlah Musa dari Gunung Sinai dan mengumumkan bahwa Tuhan akan datang untuk makan malam bersama Bani Israil. Tentu saja semua orang, termasuk Musa, menyiapkan jamuan yang amat mewah. Ketika mereka sedang sibuk memasak hidangan-hidangan terlezat dan mempersiapkan segalanya, seorang kakek tua muncul tanpa diduga.
Orang itu miskin dan kelaparan. Ia meminta sesuatu untuk dimakan. Para koki yang sibuk memasak menolaknya, Tidak, tidak. Kami sedang menunggu Tuhan. Nanti ketika Tuhan datang, kita makan bersama-sama. Mengapa kamu tidak ikut membantu. Lebih baik kamu ikut mengambilkan air dari sumur!
Mereka tidak memberi apa-apa untuk kakek malang itu. Waktu berlalu tetapi Tuhan ternyata tidak datang. Musa menjadi amat malu dan tidak tahu harus berkata apa kepada para pengikutnya.
Keesokan harinya, Musa pergi ke Gunung Sinai dan berkata, Tuhan, apa yang Kau lakukan kepadaku?
Aku berusaha meyakinkan setiap orang bahwa Kau ada. Kau katakan Kau akan datang ke jamuan kami, tapi Kau ternyata tak muncul. Sekarang tidak ada yang akan mempercayaiku lagi!
Tuhan menjawab, Aku datang. Jika saja kau memberi makan kepada hamba-Ku yang miskin, kau telah memberi makan kepada-Ku. Tuhan bersabda, Aku, Yang tidak akan boleh dimasukkan ke seluruh semesta, boleh dimasukkan ke dalam hati hamba-Ku yang beriman.
Ketika kita berkhidmat kepada hamba Tuhan, kita telah berkhidmat kepada-Nya. Ketika kita mengabdi kepada makhluk, sesungguhnya kita juga mengabdi kepada Sang Khalik.
[ Hakam elchudrie ]
Asal Usul DEWATA
Asal Mula Dewa
Kisah ini merujuk pada judul Serat Mahapurwa. Bisa diartikan sebagai serat/naskah tentang kisah yang sangat awal. Kisah tentang Adam dan kemudian muncul Dewa. Ini fokus pada sosok Sang Hyang Nurcahya yang kemudian menyebut dirinya sebagai Sang Hyang Dewata, Sang Hyang Mahamulia, dan sebagainya. Silakan menikmati.
=====
Serat Mahapurwa menceritakan kisah Sang Hyang Adama, Sang Hyang Sita, Sang Hyang Nurcahya, Sang Hyang Nurasa, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal, beserta Sang Hyang Manikmaya. Dasar serat ini merujuk pada Serat Paramayoga karya Pujangga Ranggawarsita di Surakarta yang merujuk Serat Jitapsara karya Begawan Palasara di Astina dan merujuk Pustaka Darya karya Sang Hyang Nurcahya di Lokadewa.
Sang Hyang Adama
Dikisahkan Sang Hayang Adama, sesudah diturunkan ke alam dunia bersamaan dengan ampunan dosa, menjadi raja di Kusniamalabari, merajai hewan-hewan. Makannya dari para pengikutnya. Sang Hyang Adam menciptakan tahun surya dan tahun candra, kemudian menciptakan Tanajultarki untuk permulaan menanam pada tahun 129 SA atau tahun 133 CA. Tak lama istrinya Sang Hyang Adama, yakni Dewi Hawa melahirkan kembar dampit putra-putri. Kembar pertama buruk rupa, kedua bagus, ketiga jelek dan keempat baik, kelima jelek, begitu seterusnya sampai empat puluh dua kali, tetapi yang keenam dan keempat satu, tidak kembar.
Setelah punya putra kembar lima, Sang Hayang Adam akan menjodohkan putra-putrinya. Putra yang gagah dijodohkan dengan putri yang jelek. Putri yang cantik dijodohkan dengan putra yang jelak. Jadi tak ada perjodohan dengan kembarannya sendiri.
Sedangkan maksud Dewi Hawa, putra putrinya dijodohkan dengan kembarannya, yang gagah dijodohkan dengan yang cantik, yang jelek dengan yang jelek. Perjodohan ini jadi perselisihan antara Sang Hyang Adama dan Dewi Hawa. Perselisihannya sampai adu kuasa mengeluarkan “rahsa pamuja” yang diwadahi cupumanik dan dimintakan kepada Tuhan.
Setelah sampai pada masanya, cupumanik dibuka. Rahsa pamuja di cupumanik Sang Hyang Adam menjadi bayi namun hanya raga; sedangkan Rahsa pamuja di cupumanik Dewi Hawa berwujud darah/benih. Dewi Hawa merasa sedih atas keadaan itu.
Jabang bayi yang ada di cupumanik Sang Hyang Adam dapat dipastikan menjadi bayi yang sempurna dan ada petunjuk dari Tuhan bahwa nama bayi itu adalah Sang Hyang Sita. Beliau bergembira tiada tara.
Tak lama ada peristiwa menggemparkan, cupumanik Sang Hyang Adam tertiup angin puyuh jatuh di pusat laut hitam. Cupumanik tertangkap oleh Danyang Azazil, raja Banujan yang menguasai laut hitam.
Akhirnya Dewi Hawa patuh pada aturan perjodohan Sang Hyang Adama. Semua putra putrinya semua empat puluh kembar, dan ada yang dua tidak kembar yaitu Sang Hyang Sita dan Dewi Hunun.
Putra Putri Sang Hyang Adama, yaitu
1) Sang Hyang Kabila,
2) Dewi Alima,
3) Sang Hyang Habila,
4) Dewi Damima,
5) Sang Hyang Isrila,
6) Dewi Sarira,
7) Sang Hyang Israwana,
8) Dewi Mona,
9) Sang Hyang Basaradiwana,
10) Dewi Dayuna,
11) Sang Hyang Sita,
12) Sang Hyang Yasita,
13) Dewi Awisa,
14) Sang Hyang Sesana,
15) Dewi Aisa,
16) Sang Hyang Yasmiyana,
17) Dewi Ramsa,
18) Sang Hyang Yanmiyana,
19) Dewi Yarusa,
20) Sang Hyang Suryana,
21) Dewi Siriya,
22) Sang Hyang Amana,
23) Dewi Mahasa,
24) Sang Hyang Kayumarata,
25) Dewi Hindunmaras,
26) Sang Hyang Yajuja,
27) Dewi Majuja,
28) Sang Hyang Lata,
29) Dewi Uzza,
30) Sang Hyang Harata,
31) Dewi Haruti,
32) Sang Hyang Danaba,
33) Dewi Daniba,
34) Sang Hyang Bantasa,
35) Dewi Bintisa,
36) Sang Hyang Somala,
37) Dewi Susia,
38) Sang Hyang Jamaruta
39) Dewi Malki,
40) Sang Hyang Tamakala,
41) Dewi Tamakali,
42) Sang Hyang Adana,
43) Dewi Adini,
44) Sang Hyang Harnala,
45) Dewi Harnila,
46) Sang Hyang Samala,
47) Dewi Samila,
48) Sang Hyang Awala,
49) Dewi Awila,
50) Sang Hyang Astala,
51) Dewi Astila,
52) Sang Hyang Nurala,
53) Dewi Nureli,
54) Sang Hyang Nuhkala,
55) Dewi Nuhkali,
56) Sang Hyang Nuskala,
57) Dewi Arki,
58) Sang Hyang Sarkala,
59) Dewi Sarki,
60) Sang Hyang Karala,
61) Dewi Karia,
62) Sang Hyang Dujala,
63) Dewi Dujila,
64) Sang Hyang Katala,
65) Dewi Katili,
66) Sang Hyang Arkala,
67) Dewi Arkali,
68) Sang Hyang Mrihakala,
69) Dewi Mrihakali,
70) Sang Hyang Ardabala,
71) Dewi Ardiati,
72) Sang Hyang Sanala,
73) Dewi Peni,
74) Sang Hyang Pujala,
75) Dewi Puji,
76) Sang Hyang Sasala,
77) Dewi Sasi,
78) Sang Hyang Sahnala,
79) Dewi Sani,
80) Dewi Hunun,
81) Sang Hyang Sahalanala,
82) Dewi Sahini.
1) Sang Hyang Kabila,
2) Dewi Alima,
3) Sang Hyang Habila,
4) Dewi Damima,
5) Sang Hyang Isrila,
6) Dewi Sarira,
7) Sang Hyang Israwana,
8) Dewi Mona,
9) Sang Hyang Basaradiwana,
10) Dewi Dayuna,
11) Sang Hyang Sita,
12) Sang Hyang Yasita,
13) Dewi Awisa,
14) Sang Hyang Sesana,
15) Dewi Aisa,
16) Sang Hyang Yasmiyana,
17) Dewi Ramsa,
18) Sang Hyang Yanmiyana,
19) Dewi Yarusa,
20) Sang Hyang Suryana,
21) Dewi Siriya,
22) Sang Hyang Amana,
23) Dewi Mahasa,
24) Sang Hyang Kayumarata,
25) Dewi Hindunmaras,
26) Sang Hyang Yajuja,
27) Dewi Majuja,
28) Sang Hyang Lata,
29) Dewi Uzza,
30) Sang Hyang Harata,
31) Dewi Haruti,
32) Sang Hyang Danaba,
33) Dewi Daniba,
34) Sang Hyang Bantasa,
35) Dewi Bintisa,
36) Sang Hyang Somala,
37) Dewi Susia,
38) Sang Hyang Jamaruta
39) Dewi Malki,
40) Sang Hyang Tamakala,
41) Dewi Tamakali,
42) Sang Hyang Adana,
43) Dewi Adini,
44) Sang Hyang Harnala,
45) Dewi Harnila,
46) Sang Hyang Samala,
47) Dewi Samila,
48) Sang Hyang Awala,
49) Dewi Awila,
50) Sang Hyang Astala,
51) Dewi Astila,
52) Sang Hyang Nurala,
53) Dewi Nureli,
54) Sang Hyang Nuhkala,
55) Dewi Nuhkali,
56) Sang Hyang Nuskala,
57) Dewi Arki,
58) Sang Hyang Sarkala,
59) Dewi Sarki,
60) Sang Hyang Karala,
61) Dewi Karia,
62) Sang Hyang Dujala,
63) Dewi Dujila,
64) Sang Hyang Katala,
65) Dewi Katili,
66) Sang Hyang Arkala,
67) Dewi Arkali,
68) Sang Hyang Mrihakala,
69) Dewi Mrihakali,
70) Sang Hyang Ardabala,
71) Dewi Ardiati,
72) Sang Hyang Sanala,
73) Dewi Peni,
74) Sang Hyang Pujala,
75) Dewi Puji,
76) Sang Hyang Sasala,
77) Dewi Sasi,
78) Sang Hyang Sahnala,
79) Dewi Sani,
80) Dewi Hunun,
81) Sang Hyang Sahalanala,
82) Dewi Sahini.
Namun Sang Hyang Kabila, Dewi Alima, Sang Hyang Basaradiwana, Dewi Dayuna, Sang Hyang Lata, Dewi Uzza tidak menurut pada aturan perjodohan Sang Hyang Adama. Sang Hyang Kabila tak sejalan, dan menghendaki dijodohkan dengan kembarannya, yaitu jodoh bagi Sang Hyang Habila. Perbedaan memperebutkan jodoh tersebut sampai kematian. Sang Hyang Habila dikalahkan oleh Sang Hyang Kabila. Setelah adiknya mati, Sang Hyang Kabila termenung memikirkan bagaimana caranya mengubur jasad adiknya. Kemudian ada burung gagak mengaduk-aduk tanah. Sang Hyang Kabila mengikuti burung gagak untuk membuat liang lahat.
Sang Hyang Kabila dan Istrinya Dewi Alima serta Dewi Damima diusir oleh Sang Hyang Adama, lalu mengelana sampai tanah Afrika, dibarengi oleh adiknya Sang Hyang Basaradiwana dan Dewi Dayunan. Demikian juga Sang Hyang Yajuja dan kembarannya Dewi Majuja menyusul Sang Hyang Kabila ke tanah Afrika. Sedangkan Sang Hyang Lata dan Dewi Uzza mengelana ke tanah Asia.
Sang Hyang Sita
Setelah dewasa Sang Hyang Sita diberi jodoh bidadari dari Tuhan. Nama istrinya Dewi Mulat. Rumah tangganya saling asah, asih dan asuh.
Dikisahkan, Danyang Azazil raja Banujan di Laut Hitam akan menjodohkan putrinya yang bernama Dayang Dalajah dengan keturunan Sang Hyang Adama agar bisa berkuasa pada manusia. Danyang Azazil memboyong putrinya ke Kusniamalabari. Dengan kesaktiannya Danyang Azazil, putrinya dirubah rupa menjadi Dewi Mulat. Sedangkan Dewi Mulat yang asil hilang sebab disembunyikan oleh Danyang Azazil.
Terdorong rasa terhadap orang yang dicinta, Sang Hyang Sita bersetubuh dengan Dewi Mulat jadi-jadian. Benih masuk ke dalam rahim Danyang Dalajah, kemudian Dewi Mulat jelmaan kembali ke laut hitam bersama ayahnya Danyang Azazil. Dewi Mulat yang asil sudah muncul lagi, tidur bersama Sang Hyang Sita.
Dewi Mulat mengandung bayi. Hari saatnya melahirkan, sekitar fajar, Dewi Mulat melahirkan kembar, yang pertama laki-laki, yang kedua berupa cahaya. Bersamaan itu juga Dayang Dalajah juga melahirkan berwujud darah, kemudian di bawa ke Kusniamalabari oleh Danyang Azazil.
Darah dan cahaya bergulung menyatu jadi bayi laki-laki yang terselimuti oleh cahaya terang benderang yang menyilaukan.
Kakeknya, Sang Hyang Adama, masih menganggap kedua bayi itu kembar. Yang pertama diberi nama Sang Hyang Nasa, yang kedua Sang Hyang Nurcahya, karena berselimut cahaya.
Setelah dewasa, Sang Hyang Nasa suka pada ilmu agama yang diajarkan oleh kakeknya Sang Hyang Adama. Sedangkan Sang Hyang Nurcahya suka bertapa di hutan, gunung atau di dalam gua.
Sang Hyang Nurcahya suka berkelana melanglang buana, kemudian bertemu Danyang Azazil yang malih rupa menjadi maharesi yang sakti mandraguna. Sang Hyang Nurcahya berguru kepada Danyang Azazil, diajari olah kanuragan, kesaktian, ilmu pengobatan dan sebagainya. Sang Hyang Nurcahya tak hangus oleh apik, tak basah oleh air, hilang tanpa alat, bisa terbang diatas awan, bisa masuk ke bumi dan masuk lautan.
Setelah tamat berguru, Sang Hyang Nurcahya pulang ke Kusniamalabari. Sang Hyang Adama kaget melihat keadaan cucunya. Sang Hyang Nurcahya berbeda dengan kembarannya Sang Hyang Nasa. Namun Sang Hyang Adama tak samar jika itu semua disebabkan oleh Danyang Azazil.
Sang Hyang Adama berkata kepada putranya Sang Hyang Sita menyampaikan jika Sang Hyang Nurcahya akan berpaling dari ajaran agama. Sang Hyang Adama dikarenakan menganut ajaran Danyang Azazil. Sang Hyang Sita diam termangu, menyesal sebab kelakuan Sang Hyang Nurcahya.
Saat umur 900 tahun Sang Hyang Adama meninggal dunia. Semua ilmunya diwariskan kepada Sang Hyang Sita, sedangkan kekuasaannya diserahkan kepada Sang Hyang Kayumarata, putra ketiga belas. Pembagian tersebut didasarkan atas kualitas dari putra-putranya. Sang Hyang Sita menjadi penguasa masalah rohani, sedangkan Sang Hyang Kayumaratan menjadi penguasa urusan jasmani.
Sang Hyang Nurcahya
Meninggalnya sang kakek Sang Hyang Adama menjadikan kaget cucunya Sang Hyang Nurcahya. Apalagi menyesal sebab Sang Hyang Adama mati karena sakit. Seumpama dia masih memakai ilmu Sang Hyang Adama, pasti bakal terkena mati. Kemudian Sang Hyang Nurcahya meninggalkan Kusniamalabari akan mencari ilmu yang tidak kena kematian sehingga hidupnya sehat abadi.
Sang Hyang Nurcahya berkelana sampai keluar bayas negeri Kusniamalabari. Masuk hutan, Sang Hyang bertemu dengan Danyang Azazil. Dia dibantu menuju ke daerah Awinda, yaitu daerahnya para siluman, yang terkenal angker, adanya di pusat bumi, tak pernah tersentuh cahaya. Di sana ada Air Tirtamarta Kamandalu, yaitu air kehidupan yang dari mustika mega.
Sang Hyang Nurcahya dan Danyang Azazil memohon ke Tuhan supa dikasih air Tirta Kamandalu. Kemduian ada mega yang memancarkan air kehidupan dari Lautan Rahmat. Sang Hyang Nurcahya diperintahkan mandi dan minum air Tirtamarta Kamandalu. Sang Hyang Nurcahya tanpa wadah. Danyang Azazil memberi wadah Cupumanik Astagina yang sebenarnya kepunyaan Sang Hyang Adama waktu tertiup angin sampai ke pusat lautan hitam daerah kekuasaan Danyang Azazil. Cupumanik Astagina punya kesaktian yang didalam wadahan tak bakalan habis.
Kemudian Sang Hyang Nurcahya keluar dari daerah Awinda, dan Danyang Azazil hilang. Sang Hyang Nurcahya meneruskan perjalanan seorang diri. Di sebuah daerah dia menemukan sebuah pepohonan yang akarnya bisa menyebabkan hidup kembali, kembali ke asal, kerbau pulang ke kandang, sumber kehidupan alam dunia, yang mendapat sebutan Lata Maosadi.
Di saat Sang Hyang Nurcahya mau pulang ke Kusniamalabari bingung, tak ingat jalannya. Dia tersesat mengelana, bertemu jurang, gunung dan hutan belantara.
Di suatu hari dia sampai di pantai, dan melihat ada dua makhluk di atas lautan. Sang Hyang Nurcahya meluncur di atas air mendekati. Yang satu bernama danyang Haruta dan kedua Danyang Maruta. Dulunya, makhluk itu namanya Sang Hyang Isyana dan Sang Hyang Isaya yang mendapat hukuman dari Tuhan sebagai hukumannya menjadi banujan yaitu bangsa jin.
Danyang Haruta dan Danyang Maruta mengajarkan Sang Hyang Nurcahya masalah bumi, hari, bulan, bintang, yang disebut ilmu falakiah dan ilmu hikmah.
Sang Hyang Nurcahya berkisah jika dia ingin ke surga. Danyang Haruta dan Danyang Maruta bercerita jika sruga itu adanya di hulu sungai yang besar di daerah Afrika. Sang Hyang Nurcahya percaya saja pada dongen itu, kemudian berkelana ke surga yang ada di sungai itu.
Sang Hyang Nrucahya bertemu dengan paman dan bibinya, yaitu putra-putri Sang Hyang Adama yang kelima belas bernama Sang Hyang Lata dan Dewi Uzza saat bertapa di sisi sungai tersebut. Sang Hyang Nurcahya bercerita jika dia adalah putra Sang Hyang Sita. Sang Hyang Lata dan Dewi Uzza menerima kedatangan Sang Hyang Nurcahya, kemudian diajari ilmu “kawruh sak durunge winarah” semua yang sudah dan bakal terjadi.
Kemudian Sang Hyang Nurcahya meneruskan mencari surga sampai ke telaga di hulu sungai yang ada di puncak gunung Kaspia. Sang Hyang Nurcahya bingung, sebab taka ada tanda-tanda surga.
Ada suara dari dalam kawah gunung Kaspia yang mana apinya menyala, mengaku jika suara itu suara Tuhan Penguasa Bumi yang memiliki surga dan neraka. Suara itu adalah suara Danyang Azazil yang berubah warna. Sang Hyang Nurcahya masuk ke permata bernama Ratnadumilah, melihat keindahan semua isi surga.
Setelah keluar dari permata, Danyang Azazi yang berubah menyamar menjadi Tuhan Amurma Bumi (Penguasa Bumi) memberikan Ratnadumilah kepada Sang Hyang Nurcahaya. Kesaktian permata tersebut semuanya yang dikehendaki bisa terwujud, yang diharapkan datang, tidak kena sakit. Kemudian Sang Hyang Nurcahya diajari ilmu menitis pangiwa, memasuki akhir kematian, dan jalannya cakramanggilingan.
Sang Hyang Nurcahya tidak mau pulang ke Kusniamalabari. Danyang Azazil menunjukkan sebuah tempat yang bisa ditinggali oleh Sang Hyang Nurcahya yang disebut Lokadewa. Kemudian Sang Hyang Nurcahya pergi ketempat itu.
Di Lokadewa, Sang Hyang Nurcahya meneruskan tapanya di puncak gunung. Di saat fajar menghadap timur, di tengah hari menghadap ke atas, saat sore menghadarp ke barat. Lama tapanya tujuh tahun, sampai meraga sukma masuk ke dalam alam kosong, yakni alam Banujan. Sang Hyang berada dalam alam tersebut selama 1000 tahun.
Dikisahkan ada satu raja jin yang menguasai Lokadewa bernama Danyang Maladewa, putranya Danyang Harataketu. Dia saat mengelilingi bumi melihat ada cahaya bersinar bukan matahari bukan binta seperti permata bukan rembulan, tetapi cahaya sukma keturunan Sang Hyang Adama.
Danyang Maladewa mau memegang cahaya itu namun tak bisa. Kemudian menjadi pertempuran dan sukma cahaya itu mengaku-aku Amurbamisesa Alam. Danyang Maladewa kalah tunduk pada Sang Hyang Nurcahya, yang kemudian memperistri putrinya Danyang Maladewa yang disebut Dewi Mahamuni. Semua keluarga dan balatentara Danyang Maladewa sama2 menghadap tunduk ke Sang Hyang Nurcahya yang disebut Dewata yaitu guru mulia Lokadewa. Itulah awalmulanya disebut Sang Hyang menjadi sebutan yang dipakai oleh Sang Hyang Nurcahya.
Dicertiakan Sang Hyang Nurcahya bergelar Sang Hyang Dewata, Sang Hyang Dewapamungkas, Sang Hyang Atmadewa, Sang Hyang Sukmakawekas, Sang Hyang Amurbengrat, Sang Hyang Manon, Sang Hyang Permana, Sang Hyang Permata, Sang Hyang Mahawidi, Sang Hyang Mahasidi, Sang Hyang Mahamulia, Sang Hyang Kahanantunggal, Sang Hyang Jagatmurtitaya, adalah putra Sang Hyang Sita, cucu Sang Hyang Adama.
Sang Hyang Nurcahya punya putra tunggal dari istrinya Dewi Mahamuni, yang namanya Sang Hyang Nurasa sebab tercipta dari cahaya dan rahsa (benih/rahsa) yang disirami air Tirtamarta Kamandalu.
Sang Hyang Nurasa
Setelah Sang Hyang Nurasa dewasa, kemudian Sang Hyang Nurcahya mewariskan kerajaan kepada putranya dan memberi Cupumanik Astagina, Lata Maosadi, dan Ratnadumilah. Sang Hyang Nurcahya kemudian mencipta Pustaka Darya, yaitu kitab pengingat hari, mantra tanpa suara, suara tanpa tulisan, yang menceritakan tentang dirinya. Psuta Darya juga dikasihkan kepada Sang Hyang Nurasa.
Langganan:
Postingan (Atom)