Usai Sholat berjama’ah Shubuh, sebagian santri bergegas meninggalkan musholla Al Hidayah salah satu musholla tertua di desa Tegalgubug, untuk segara berebut tempat antrian menunggu giliran pengajian sorogan kitab kuning, dihadapan Syaikhuna KH.Masykuri Mas’ud Pendiri sekaligus Pengasuh PP.Nahjul Hidayah sebagian santri yang lain masih tetap khusyuk meneruskan dzikir masing-masing dan disudut sebelah sana nampak salah seorang pengurus Pondok, begitu tertunduk khidmat menikmati kantuk yang membuai sambil sesekali terjengkang mungkin tadi malam beliau mendapat giliran kontrol jaga malam. Disudut lain nampak seorang santri duduk bersandar di dinding sambil menjulurkan kakinya ke samping sesekali menggaruk-garuk kepala dengan raut wajah resah dan gelisah ditangan nya sebuah buku kecil berisi Nadzom Alfiyah ibnu Malik, nampaknya dia sedang panik karena mungkin satu pun bait-bait Nadzom enggan menghampiri otaknya sedangkan untuk persiapan setoran hafalan siang nanti dihadapan Ustadz Faforit “Kang Miftah” yang juga masih keponakan Syaikhuna, masih belum memenuhi target, memang itu pemandangan harian setiap ba’da Shubuh.
Syaikhuna masih khusyu’ berdzikir, sorban dengan motif kotak-kotak membalut kepalanya yang mulia, jas mantel dengan kerah wol menyelimuti tubuh Syaikhuna yang kian renta serta menepis angin dingin yang merambah pagi itu, seluruh hidupnya tercurah untuk khidmat kepada Ilmu serta pengabdian kepada Sang pemilik Ilmu sampai akhir hayatnya.
Di balik sebuah pintu bagian dalam musholla aku masih duduk dengan kepala tertunduk tak ada satupun wirid ataupun dzikiran yang kubaca apalagi hafalan, aku hanya membisu, dalam benakku terlintas kata-kata yang tertulis pada selembar surat yang sore tadi ku terima dari petugas pos Arjawinangun semula aku mengira akan menerima wesel yang memang sudah dua bulan tak kunjung tiba namun…” Ananda… mohon maaf, Bapakk tidak lagi mampu memberikan kiriman wesel untuk biaya kamu menuntut Ilmu, karena Bapak sudah tidak lagi bertugas, kalau kamu tidak sanggup belajar tanpa kiriman dari rumah maka pulanglah, kalau kamu bertahan maka do’a Bapak dan Ibu selalu menyertaimu… berjuanglah Ananda…”
Kalimat itu yang membuat Subuh begitu bisu, air mata tak sanggup terbendung, kesedihan menggelayut dadaku terguncang
“ Terimakasih Ya Allah…Terimakasih Yaa Robb…”
Bukan kesedihan yang membuat tangis membuncah namun rasa syukur dan haru berpadu saat menerima keputusan Allah SWT.
Tiba-tiba sentuhan lembut mengelus bahuku
" Ananda...mulai besok kamu bantu Masruri bikin es di rumah nanti hasil dari penjualannya untuk membayar listrik setiap bulan dan sisanya bisa kalian gunakan untuk biaya mondok dan beli kitab... kamu tidak keberatan ?
Mboten Yai...Matur nuwun atas kepercayaannya,
semua persendian pagi itu seakan bertasbih mengikuti gerak lisan yang bartahmid
"Alhamdulillah , Subhanalloh beberapa detik yang lalu engkau mengujiku dengan kesedihan dan kekhawatiran, saat ini engkau memberiku anugrah yang tiada tara Terimakasih ya Allah
Matur nuwun Mbah Yai..........
