Mungkin sebelum membaca artikel ini sebaiknya pembaca yang budiman
merenggangkan sedikit otot-otot dan saraf-saraf tulang belakangnya.
Begitu pula teman-teman yang masih muda dan lajang yang sedang asyik
dengan masa bermainnya, sebaiknya segera menutup halaman ini sebab
artikel ini hanya akan menjenuhkan saja bagi para remaja yang belum mau
serius untuk berumah tangga. Dimana pembahasannnya yang agak panjang dan
agak sulit dimengerti jika tidak benar-benar konsentrasi dalam membaca
artikel ini. Maka biar kami-kami yang tua ini sajalah yang membacanya.
Tapi kalau ada teman-temanku yang sudah mulai serius untuk bepikir ke
arah sana seperti Kang Rus’an dan Kang Hadhari, maka ada baiknya membaca
artikel ini itung-itung sebagai modal tambahan buat mengarungi bahtera
rumah tangga yang penuh dengan lika-liku kehidupan kelak.Artikel
ini akan mengupas tentang siapa-siapa yang wajib dinafkahi dalam Islam
menurut empat mazhab yang ma’ruf dan sedikit rahasia nafkah itu sendiri.
Tema ini saya anggap perlu sebab banyak sekali saudara-saudara kita
yang tidak paham bahwa mereka masih diwajibkan oleh syariat untuk
menafkahi ayah-ibunya yang kekurangan atau menafkahi anak-anaknya yang
belum mampu mandiri walaupun mereka sudah dewasa.
Akhirnya saya ucapkan selamat membaca kepada Saudara-saudaraku yang budiman. Artikel ini masih banyak kekurangan dan kesalahan di sana sini, untuk itu saya sangat mengharapkan masukan dan saran dari teman-teman sekalian ^_^. Semoga bermanfaat.
1. Ta’rif Nafkah
Secara bahasa nafkah (النفقة) diambil dari kata infak (الإنفاق) yang berarti pengeluaran, penghabisan (consumtif) dan infak tidak digunakan kecuali untuk yang baik-baik.
Adapun menurut istilah nafkah adalah segala sesuatu yang dibutuhkan manusia daripada sandang, pangan dan papan.
2. Siapa-siapa Yang Wajib Diberi Nafkah
Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama fikih tentang siapa-siapa saja yang berhak untuk mendapatkan nafkah. Ini diukur berdasarkan seberapa dekat dan jauhnya seorang yang menerima infak kepada si pemberi infak.
A. Madlhab Maliki
Infak hanya wajib untuk istri, kedua orang tua dan anak-anak saja. Mereka berdalilkan:
(Al Isra’:23) وَ بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ” dan kepada kedua orang tua berbuat baiklah” dan (Al Luqman:16)وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا “Dan dampingilah keduanya di dunia dengan cara yang ma’ruf”.
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada seorang yang mengadu kepada Rasulullah bahwa bapaknya meminta-minta hartanya:
إنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإِنَّ أَمْوَالَ أَوْلَادِكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ فَكُلُوهُ هَنِيئًا رواه أحمد
“Sesungguhnya sebaik-baik yang kamu makan adalah hasil upayamu sendiri dan harta-harta anak-anakmu adalah hasil upaya kamu sendiri.
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
(Al Baqarah: 233) وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف yang artinya “…dan diwajibkan atas suami memberikan rezeki dan pakaian kepada istri-istrinya.”
Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Hindun: “Ambillah (harta Abu Sofyan) sesuai dengan kebutuhanmu dan anak-anakmu.” (Diriwayatkan oleh Jama’ah kecuali Tirmidzi)
Sangat jelas mantuq dari dalil-dalil di atas secara zahir bahwa penerima wajib infak kedua orang tua dan anak-anak saja.
B. Madlhab Syafi’i
Ada sedikit tambahan dalam mazhab Syafi’i bahwa tidak hanya istri, kedua orang tua dan anak-anak yang wajib diberikan infaknya sebagaimana mazhab Maliki di atas, tetapi juga segala ushul yang ada di atas kedua orang tua seperti kakek dan nenek serta segala furu’ yang ada di bawah anak-anak seperti cucu, cicit dan terus ke bawah. Mereka berdalilkan sebagaimana dalil-dalil Malikiyah hanya saja mereka mentafsirkan ( الوالد) lebih luas mencakup kedua orang tua dan segala ushul yang ada di atasnya dan (الأولاد) mencakup anak-anak dan segala furu’ yang ada di bawahnya sebagaimana friman Allah SWT: (Al Hajj: 77) مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ dan (Al A’raf:31) يا بني آدم
C. Madlhab Hanafi
Objek wajib nafkah dalam mazhab Hanafi lebih luas lagi melebihi mazhab Maliki dan Syafi’i dimana ada penambahan, yaitu kewajiban memberikan nafkah kepada kepada saudara kandung (القرابة المحرمة) seperti kakak dan adik kandung. Mereka berdalilkan firman Allah SWT:
(An Nisa:36) وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَي
“….dan sembahlah Allah jangan engkau menyekutukannya dengan sesuatu apapun dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.”
(Al Isra:26)وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّه
“…dan berikanlah hak saudara-saudaramu.”
Akan tetapi ini hanya sebatas saudara kandung saja, adapun yang bukan saudara kandung seperti paman, sepupu dan saudara jauh lainnya tidak termasuk objek infak sebab Hanafiyah mengamalkan qiro’at Ibnu Mas’ud:
( Al Baqarah:233) و على الوارث ذي الرحم المحرم مثل ذالك
“Dan atas ahli waris yang punya ikatan mahram adalah yang seperti itu pula.”
D. Madlhab Hambali
Inilah mazhab yang paling luas dalam kewajiban memberikan nafkah kepada keluarga, dimana tidak hanya mencakup keluarga dekat saja sebagaimana mazhab-mazhab di atas tetapi juga keluarga jauh yang masih ada pertalian warisan seperti paman, bibi, sepupu dan dzawi al-arham yang masih punya nasab terhadap ushul seperti ayahnya ibu. Mazhab Hambali tidak mensyaratkan adanya hubungan mahramiyah (saudara kandung) walaupun berdalilkan dengan dalil yang sama sebagaimana mazhab Hanafi hanya saja Hambaliyah tidak mengamalkan qiro’at Ibnu Mas’ud yang dijadikan hujjah oleh Hanafiyah. Allah SWT berfirman:
(البقرة: 233Al Baqarah: 233) و على الوارث مثل ذالك
“Dan atas ahli waris (yang umum) mendapatkan yang seperti itu pula.”
Dalam ayat di atas ahli waris berhak mendapatkan harta waris karena di dalam diri ahli waris terdapat hubungan kekerabatan. Sebagaimana harta waris wajib diberikan kepada keluarga yang masih ada hubungan kekerabatan, begitu pula nafkah wajib diberikan kepada keluarga yang masih ada hubungan kekerabatan.
Dari perbandingan di atas dapat kita tarik benang merah bahwa para ulama fikih bersepakat
Akhirnya saya ucapkan selamat membaca kepada Saudara-saudaraku yang budiman. Artikel ini masih banyak kekurangan dan kesalahan di sana sini, untuk itu saya sangat mengharapkan masukan dan saran dari teman-teman sekalian ^_^. Semoga bermanfaat.
1. Ta’rif Nafkah
Secara bahasa nafkah (النفقة) diambil dari kata infak (الإنفاق) yang berarti pengeluaran, penghabisan (consumtif) dan infak tidak digunakan kecuali untuk yang baik-baik.
Adapun menurut istilah nafkah adalah segala sesuatu yang dibutuhkan manusia daripada sandang, pangan dan papan.
2. Siapa-siapa Yang Wajib Diberi Nafkah
Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama fikih tentang siapa-siapa saja yang berhak untuk mendapatkan nafkah. Ini diukur berdasarkan seberapa dekat dan jauhnya seorang yang menerima infak kepada si pemberi infak.
A. Madlhab Maliki
Infak hanya wajib untuk istri, kedua orang tua dan anak-anak saja. Mereka berdalilkan:
(Al Isra’:23) وَ بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ” dan kepada kedua orang tua berbuat baiklah” dan (Al Luqman:16)وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا “Dan dampingilah keduanya di dunia dengan cara yang ma’ruf”.
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada seorang yang mengadu kepada Rasulullah bahwa bapaknya meminta-minta hartanya:
إنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإِنَّ أَمْوَالَ أَوْلَادِكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ فَكُلُوهُ هَنِيئًا رواه أحمد
“Sesungguhnya sebaik-baik yang kamu makan adalah hasil upayamu sendiri dan harta-harta anak-anakmu adalah hasil upaya kamu sendiri.
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
(Al Baqarah: 233) وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف yang artinya “…dan diwajibkan atas suami memberikan rezeki dan pakaian kepada istri-istrinya.”
Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Hindun: “Ambillah (harta Abu Sofyan) sesuai dengan kebutuhanmu dan anak-anakmu.” (Diriwayatkan oleh Jama’ah kecuali Tirmidzi)
Sangat jelas mantuq dari dalil-dalil di atas secara zahir bahwa penerima wajib infak kedua orang tua dan anak-anak saja.
B. Madlhab Syafi’i
Ada sedikit tambahan dalam mazhab Syafi’i bahwa tidak hanya istri, kedua orang tua dan anak-anak yang wajib diberikan infaknya sebagaimana mazhab Maliki di atas, tetapi juga segala ushul yang ada di atas kedua orang tua seperti kakek dan nenek serta segala furu’ yang ada di bawah anak-anak seperti cucu, cicit dan terus ke bawah. Mereka berdalilkan sebagaimana dalil-dalil Malikiyah hanya saja mereka mentafsirkan ( الوالد) lebih luas mencakup kedua orang tua dan segala ushul yang ada di atasnya dan (الأولاد) mencakup anak-anak dan segala furu’ yang ada di bawahnya sebagaimana friman Allah SWT: (Al Hajj: 77) مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ dan (Al A’raf:31) يا بني آدم
C. Madlhab Hanafi
Objek wajib nafkah dalam mazhab Hanafi lebih luas lagi melebihi mazhab Maliki dan Syafi’i dimana ada penambahan, yaitu kewajiban memberikan nafkah kepada kepada saudara kandung (القرابة المحرمة) seperti kakak dan adik kandung. Mereka berdalilkan firman Allah SWT:
(An Nisa:36) وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَي
“….dan sembahlah Allah jangan engkau menyekutukannya dengan sesuatu apapun dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.”
(Al Isra:26)وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّه
“…dan berikanlah hak saudara-saudaramu.”
Akan tetapi ini hanya sebatas saudara kandung saja, adapun yang bukan saudara kandung seperti paman, sepupu dan saudara jauh lainnya tidak termasuk objek infak sebab Hanafiyah mengamalkan qiro’at Ibnu Mas’ud:
( Al Baqarah:233) و على الوارث ذي الرحم المحرم مثل ذالك
“Dan atas ahli waris yang punya ikatan mahram adalah yang seperti itu pula.”
D. Madlhab Hambali
Inilah mazhab yang paling luas dalam kewajiban memberikan nafkah kepada keluarga, dimana tidak hanya mencakup keluarga dekat saja sebagaimana mazhab-mazhab di atas tetapi juga keluarga jauh yang masih ada pertalian warisan seperti paman, bibi, sepupu dan dzawi al-arham yang masih punya nasab terhadap ushul seperti ayahnya ibu. Mazhab Hambali tidak mensyaratkan adanya hubungan mahramiyah (saudara kandung) walaupun berdalilkan dengan dalil yang sama sebagaimana mazhab Hanafi hanya saja Hambaliyah tidak mengamalkan qiro’at Ibnu Mas’ud yang dijadikan hujjah oleh Hanafiyah. Allah SWT berfirman:
(البقرة: 233Al Baqarah: 233) و على الوارث مثل ذالك
“Dan atas ahli waris (yang umum) mendapatkan yang seperti itu pula.”
Dalam ayat di atas ahli waris berhak mendapatkan harta waris karena di dalam diri ahli waris terdapat hubungan kekerabatan. Sebagaimana harta waris wajib diberikan kepada keluarga yang masih ada hubungan kekerabatan, begitu pula nafkah wajib diberikan kepada keluarga yang masih ada hubungan kekerabatan.
Dari perbandingan di atas dapat kita tarik benang merah bahwa para ulama fikih bersepakat
untuk mewajibkan memberi nafkah kepada istri, kedua orang tua dan anak-anak dan adapun di luar itu mereka berbeda pendapat.
Penulis
condong mengikut kepada Hambaliyah karena lebih luas cakupannya dan
sangat sejalan dengan ruh Islam untuk menebarkan kebajikan
sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya selama orang yang memberikan
nafkah mampu dan mempunyai kelebihan dalam hartanya.
Bahkan hemat
penulis di sana ada mazhab yang lebih luas lagi dari sekedar hanya
memberikan nafkah kepada sanak saudara saja, dimana mereka mewajibkan
dirinya untuk memberikan nafkah kepada semua orang yang membutuhkan
walaupun harus mengorbankan sanak keluarga dan diri sendiri. Itulah
mazhabnya ulama-ulama tasawuf. Mereka berdalilkan:
وَالَّذِينَ
تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ
هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا
أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ(Al Hasyr:9)
“Dan
orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman
(Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor)
mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan mereka
(Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang
diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam
kesusahan dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka
Itulah orang orang yang beruntung.”
Ayat di atas menceritakan
akhlak kaum Anshor yang lebih mengutamakan kaum Muhajirin tetapi
al-’ibrotu bi’umumi al-alfazh la bikhushushiha.
Dan ini adalah
mazhab para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in seperti Abu Bakar Siddiq
Radhiyallahu ‘Anhu yang menafkahkan seluruh hartanya kepada jihad
tentara Islam. Setelah itu ketika ditanya oleh Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam: “Bagaimana akan nasib keluargamu jika kamu
menyerahkan seluruh hartamu?” Abu Bakar menjawab: “Mereka kuserahkan
kepada Allah dan Rasul-Nya SAW.” Begitu juga Umar bin Khattab
Radhiyallahu ‘Anhu menyerahkan separuh hartanya untuk jihad kaum
Muslimin yang sudah dapat dipastikan sikapnya itu akan mengguncangkan
perekonomian keluarganya. Begitu pula Utsman bin Affan Radhiyallahu
‘Anhu, walaupun beliau banyak hartanya namun sedikit banyak ini akan
mengganggu anggaran belanja keluarganya yang besar. Begitu pula
Sayyidina Ali Karramallahu Wajahahu yang sering memberikan makan kepada
fakir miskin selain keluarganya walaupun keluarganya dalam keadaan
lapar. Radhiyallahu ‘anhum.
3. Jenis-Jenis Nafkah Yang Wajib Hukumnya
Pembahasan
nafkah lintas mazhab sangat luas sekali, terlebih makalah yang kecil
ini tidak memiliki ruang yang banyak untuk mencantumkan seluruh pendapat
mazhab yang empat. Akhirnya penulis memutuskan untuk mengambil pendapat
mazhab kita saja, yaitu mazhab Imam Syafi’i Radhiyallahu ‘Anhu.
A. Nafkah Kepada Diri Sendiri
Serendah-rendahnya
nafkah yang diwajibkan syariat adalah kepada diri sendiri karena inilah
pintu untuk dapat memberikan nafkah kepada orang lain. Jenis barang
yang wajib dinafkahkan tidak keluar dari tiga benda yaitu:
1. sandang
2. pangan dan
3. papan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا (رواه مسلم
“Mulailah dari diri kamu sendiri, maka infaqkanlah dirimu, jika ada lebih maka untuk keluargamu, jika ada lebih lagi maka untuk saudara-saudaramu, jika ada lebih lagi maka untuk si ini, si ini dan seterusnya.”
1. sandang
2. pangan dan
3. papan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا (رواه مسلم
“Mulailah dari diri kamu sendiri, maka infaqkanlah dirimu, jika ada lebih maka untuk keluargamu, jika ada lebih lagi maka untuk saudara-saudaramu, jika ada lebih lagi maka untuk si ini, si ini dan seterusnya.”
B. Nafkah Ushul Kepada Furu’
Nafkah anak
diwajibkan kepada ayah (dan seluruh ushul diatasnya). Jika ayah tidak
ada maka ayahnya ayah (kakek) yang menggantikan dan begitulah seterusnya
ke atas.
Syarat-syarat diwajibkan nafkah kepada furu’ atas ushul:
1. Ushul memiliki harta yang lebih di luar makanannya sendiri dan makanan istrinya selama masa satu hari satu malam
2. Furu’ harus fakir (tidak mampu bekerja) dan di samping fakir juga disyaratkan harus tergolong kepada salah satu dari yang tiga di bawah ini:
a. masih kecil
b. lemah
c. gila
1. Ushul memiliki harta yang lebih di luar makanannya sendiri dan makanan istrinya selama masa satu hari satu malam
2. Furu’ harus fakir (tidak mampu bekerja) dan di samping fakir juga disyaratkan harus tergolong kepada salah satu dari yang tiga di bawah ini:
a. masih kecil
b. lemah
c. gila
Maka
kalau si anak sudah mampu bekerja, gugurlah kewajiban si ayah untuk
menafkahinya. Kalau si anak tidak mampu bekerja karena masih menuntut
ilmu, harus dilihat jenis ilmu yang dituntutnya. Kalau itu adalah ilmu
primer buat dirinya seperti ilmu akidah dan ibadah maka tetap wajib
dinafkahi. Namun jika ilmu-ilmu umum yang bersifat sekunder seperti ilmu
kedokteran dan industri maka tidak wajib dinafkahi. Di sini si ayah
tinggal memilih apakah bersedia menafkahi anaknya itu atau memaksa
anaknya untuk meninggalkan studinya dan menyuruhnya bekerja.
Perlu
diingat bahwasanya nafkah ushul kepada furu’ ini bukan pemindahan
kepemilikan sebagaimana jual beli (tamliki) sehingga bisa dianggap
hutang kepada si anak apabila si ayah tidak berkenan menafkahi anaknya.
Karena ini adalah bentuk pemindahan harta secara tolong menolong saja
(tamkini)
C. Nafkah Furu’ Kepada Ushul
Sebagaimana
diwajibkan nafkah kepada furu’ atas ushul begitu pula diwajibkan nafkah
kepada ushul atas furu’ seperti ayah, ibu, kakek, nenek dan seterusnya
ke atas.
Syarat-syarat diwajibkannya nafkah kepada ushul atas furu’:
1. Furu’ memiliki harta berlebih di luar nafkah diri dan istrinya sendiri sehari dan semalam.
2. Ushul harus fakir (tidak tercukupi kebutuhan primernya, baik dia mampu bekerja ataupun tidak mampu).
Syarat-syarat diwajibkannya nafkah kepada ushul atas furu’:
1. Furu’ memiliki harta berlebih di luar nafkah diri dan istrinya sendiri sehari dan semalam.
2. Ushul harus fakir (tidak tercukupi kebutuhan primernya, baik dia mampu bekerja ataupun tidak mampu).
Terlebih
nafkah kepada ibu, ini harus betul-betul diperhatikan karena ibu
kedudukannya lebih tinggi dari kedudukan seorang ayah dan perintah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk memperhatikan ibu itu
tiga kali lipat lebih besar daripada perhatian kepada ayah. Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
Radhiyallahu ‘Anhu:
حَدَّثَنَا يَزِيدُ حَدَّثَنَا بَهْزُ بْنُ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَبَرُّ قَالَ أُمَّكَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبَاكَ ثُمَّ الْأَقْرَبَ فَالْأَقْرَبَ
“Daripada kakek Muawiyah berkata kepada Rasulullah Saw: “Wahai Rasulullah, kepada siapa aku harus berbuat baik? Rasul Saw menjawab: “Ibumu”, kemudian bertanya lagi:”Kemudian siapa lagi?” dan Rasul menjawab: “Ibumu dan begitu seterusnya sampai yang ketiga kali setelah itu beliau bertanya:”Kemudian kepada siapa?” Barulah Rasul Saw menjawab: “Bapakmu, kemudian yang terdekat dan kemudian yang terdekat.”
حَدَّثَنَا يَزِيدُ حَدَّثَنَا بَهْزُ بْنُ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَبَرُّ قَالَ أُمَّكَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبَاكَ ثُمَّ الْأَقْرَبَ فَالْأَقْرَبَ
“Daripada kakek Muawiyah berkata kepada Rasulullah Saw: “Wahai Rasulullah, kepada siapa aku harus berbuat baik? Rasul Saw menjawab: “Ibumu”, kemudian bertanya lagi:”Kemudian siapa lagi?” dan Rasul menjawab: “Ibumu dan begitu seterusnya sampai yang ketiga kali setelah itu beliau bertanya:”Kemudian kepada siapa?” Barulah Rasul Saw menjawab: “Bapakmu, kemudian yang terdekat dan kemudian yang terdekat.”
Jika dua kondisi di bawah ini terjadi maka nafkah kepada ibu wajib hukumnya atas anak:
1. Sang ayah tidak mampu memberikan infak kepada sang ibu.
2. Sang ayah wafat.
1. Sang ayah tidak mampu memberikan infak kepada sang ibu.
2. Sang ayah wafat.
Peringatan:
Orang tua tetap wajib menafkahi anak walaupun si anak bukan muslim dan begitu pula sebaliknya. Kecuali jika si anak murtad (keluar dari Islam) maka terputuslah nafkahnya. Dalil tentang ini adalah Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَتْ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ متفق عليه
Orang tua tetap wajib menafkahi anak walaupun si anak bukan muslim dan begitu pula sebaliknya. Kecuali jika si anak murtad (keluar dari Islam) maka terputuslah nafkahnya. Dalil tentang ini adalah Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَتْ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ متفق عليه
Berikut urutan pihak-pihak yang wajib diberikan nafkah dari yang paling kuat prioritasnya sampai yang paling lemah:
1. Istri, karena wajib selama-lamanya
2. Anak yang masih kecil dan anak yang sudah besar namun gila, karena keduanya sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mencari nafkah.
3. Ibu, karena lebih lemah dari bapak dan haknya lebih besar sebab ibulah yang mengandung, melahirkan, menyusui dan mentarbiyah di rumah.
4. Bapak, karena kemuliaan dan keutamaannya.
5. Anak yang sudah besar tetapi tidak mampu mencari nafkah dan kedekatannya dengan bapak dan pantas untuk tetap dihormati.
6. Kakek, karena kehormatannya seperti kehormatan bapak.
1. Istri, karena wajib selama-lamanya
2. Anak yang masih kecil dan anak yang sudah besar namun gila, karena keduanya sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mencari nafkah.
3. Ibu, karena lebih lemah dari bapak dan haknya lebih besar sebab ibulah yang mengandung, melahirkan, menyusui dan mentarbiyah di rumah.
4. Bapak, karena kemuliaan dan keutamaannya.
5. Anak yang sudah besar tetapi tidak mampu mencari nafkah dan kedekatannya dengan bapak dan pantas untuk tetap dihormati.
6. Kakek, karena kehormatannya seperti kehormatan bapak.
D. Nafkah Kepada Istri
Para
ulama telah berijma’ wajib hukumnya bagi suami untuk memberikan nafkah
kepada istri dan dalilnya di antaranya adalah sebagai berikut: (An
Nisa’: 34) الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
Dan firman Allah SWT:
(Al Baqarah: 23) وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
(Al Baqarah: 23) وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Al-Mauludu lahu (المولود
له) pada ayat di atas adalah ayah dan al-walidat (الوالدات) adalah istri
maka maknanya adalah atas si suami kewajiban nafkah terhadap para
istri.
Dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (رواه مسلم)
Begitulah syariat agama kita telah memposisikan sedemikian rupa bahwasanya suamilah yang menjadi tulang punggung bangunan rumah tangga, suamilah yang memberikan nafkah oleh karena itu suamilah yang harus bekerja di luar. Ini pulalah yang menjadi salah satu sebab dijadikannya hak cerai berada di tangan suami. Jika dibalik, maka hukum-hukum yang lain pun harus dibalik pula. Jika istri yang memberikan nafkah, maka hak cerai harus diberikan kepada istri, begitu pula hak rujuk akan mengikut, hak mengatur rumah tangga, hak mendapatkan pelayanan dan sebagainya. Sebab sekarang posisinya sudah berubah. Istri yang memberi dan suami yang menerima, man yunfiq yusyraf, siapa yang memberi dia yang dimuliakan. Itu sudah kaedah umum. Jadi dalam kondisi yang demikian, suami harus memuliakan dan menghormati istri wa na’ûdzubillâh. Sungguh syariat ini sudah terbalik jika demikian. Agar ini tidak terjadi maka penulis menyarankan kepada para pembaca untuk mencari istri yang hartanya lebih sedikit sebagaimana anjuran imam shufi mazhab kita Imam Ghazali Rahimahullah yang pernah berkata:
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (رواه مسلم)
Begitulah syariat agama kita telah memposisikan sedemikian rupa bahwasanya suamilah yang menjadi tulang punggung bangunan rumah tangga, suamilah yang memberikan nafkah oleh karena itu suamilah yang harus bekerja di luar. Ini pulalah yang menjadi salah satu sebab dijadikannya hak cerai berada di tangan suami. Jika dibalik, maka hukum-hukum yang lain pun harus dibalik pula. Jika istri yang memberikan nafkah, maka hak cerai harus diberikan kepada istri, begitu pula hak rujuk akan mengikut, hak mengatur rumah tangga, hak mendapatkan pelayanan dan sebagainya. Sebab sekarang posisinya sudah berubah. Istri yang memberi dan suami yang menerima, man yunfiq yusyraf, siapa yang memberi dia yang dimuliakan. Itu sudah kaedah umum. Jadi dalam kondisi yang demikian, suami harus memuliakan dan menghormati istri wa na’ûdzubillâh. Sungguh syariat ini sudah terbalik jika demikian. Agar ini tidak terjadi maka penulis menyarankan kepada para pembaca untuk mencari istri yang hartanya lebih sedikit sebagaimana anjuran imam shufi mazhab kita Imam Ghazali Rahimahullah yang pernah berkata:
ينبغي
أن تكون المرأة دون الرجل بأربع وإلا استحقرته: بالسن، والطول، والمال،
والحسب، وأن تكون المرأة فوقه بأربع: بالجمال، والأدب، والورع والخلق
وعلامة صدق الإرادة في دوام النكاح الخلق
Hendaknya
istri itu lebih di bawah daripada suami dalam empat hal, kalau tidak,
istri akan meremehkan suami: usia, tinggi, harta dan status sosial
(keturunan). Dan istri harus berada di atas suami dalam 4 hal :
kecantikan, adab, wara’ dan akhlaknya. Dan tanda-tanda kejujuran niat
yang menginginkan agar nikahnya langgeng adalah akhlak. (Imam Ghazali
dalam Ihya Ulumiddin)
Syarat-syarat diwajibkannya nafkah istri atas suami:
1. Istri telah memberikan suami hak kuasa yang penuh atas dirinya, sehingga istri tidak bisa menolak suami untuk menggaulinya secara syar’i. Jika istri menolak untuk digauli, maka gugur kewajiban suami untuk memberikannya infak.
2. Mengikut suami untuk tinggal di tempat atau rumah yang dipilih oleh suami selama tempat itu baik dan layak huni secara syar’i. Jika istri menolak untuk tinggal bersama suami di tempat yang telah ditentukan suami maka istri dalam hal ini sudah dianggap nusyuz.
1. Istri telah memberikan suami hak kuasa yang penuh atas dirinya, sehingga istri tidak bisa menolak suami untuk menggaulinya secara syar’i. Jika istri menolak untuk digauli, maka gugur kewajiban suami untuk memberikannya infak.
2. Mengikut suami untuk tinggal di tempat atau rumah yang dipilih oleh suami selama tempat itu baik dan layak huni secara syar’i. Jika istri menolak untuk tinggal bersama suami di tempat yang telah ditentukan suami maka istri dalam hal ini sudah dianggap nusyuz.
Ini sangat berbeda dengan beberapa mazhab lain,
menurut Syafi’iyah jatuh hukum wajib nafkah itu tidak semata-mata karena
akad saja, tetapi juga ada beberapa kriteria di belakang akad yang
harus dijalani oleh istri yang telah dinikahi.
Kadar Nafkah Terhadap Istri
Kadar Nafkah Terhadap Istri
Kadar
nafkah terhadap istri itu ditentukan oleh kondisi kemampuan suami,
sebab dalam infak, kadar infak itu bergantung kepada si pemberi infak
bukan kepada si penerima infak. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
(Ath Thalaq: 7) لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang-orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya dan orang-orang yang disempitkan rezekinya hendaknya memberikan nafkah sesuai apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah nanti akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”Dalam ayat di atas yang dijadikan timbangan kadar infak adalah mengikut kepada ‘uruf dan kondisi suami bukan kepada kondisi istri. Maka banyak dan sedikitnya infak, begitu pula baik dan buruknya kualitas infak bergantung kepada senang dan susahnya suami. Pakaian misalkan, jika suami dari golongan orang berada, maka suami wajib memakaikan pakaian yang baik kualitasnya berdasarkan pakaian orang-orang berada yang berada di sekitarnya. Istri tidak boleh memakai pakaian yang buruk dan dianggap tidak layak bagi kalangan orang berada yang ada di sekitarnya sebab ini akan menurunkan wibawa dan kehormatan (hurmah) suami. Ini semua terpulang kepada kebiasaan yang ada di tempat itu. Begitu pula bila suami dari golongan orang susah, maka suami cukup memakaikan istri pakaian yang biasa dipakai oleh orang-orang susah yang ada di sekitarnya. Istri tidak boleh menuntut lebih dari itu. Oleh karena itulah jika suami menjadi susah atau miskin selama ia masih mampu dan berusaha untuk menafkahi istrinya maka istri harus ridho dan sabar untuk terus mulazamah kepada suami. Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
أَ
طْعِمُوهُنَّ مِمَّا تَأْكُلُونَ وَاكْسُوهُنَّ مِمَّا تَكْتَسُونَ وَلَا تَضْرِبُوهُنَّ وَلَا تُقَبِّحُوهُنَّ رواه أبو داود
“Berilah makan istri-istrimu dengan apa-apa yang kamu makan dan pakaiankanlah mereka dengan apa-apa yang kamu pakai dan janganlah kamu memukul serta merendahkan mereka (Riwayat Abu Daud)
(Ath Thalaq: 7) لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang-orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya dan orang-orang yang disempitkan rezekinya hendaknya memberikan nafkah sesuai apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah nanti akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”Dalam ayat di atas yang dijadikan timbangan kadar infak adalah mengikut kepada ‘uruf dan kondisi suami bukan kepada kondisi istri. Maka banyak dan sedikitnya infak, begitu pula baik dan buruknya kualitas infak bergantung kepada senang dan susahnya suami. Pakaian misalkan, jika suami dari golongan orang berada, maka suami wajib memakaikan pakaian yang baik kualitasnya berdasarkan pakaian orang-orang berada yang berada di sekitarnya. Istri tidak boleh memakai pakaian yang buruk dan dianggap tidak layak bagi kalangan orang berada yang ada di sekitarnya sebab ini akan menurunkan wibawa dan kehormatan (hurmah) suami. Ini semua terpulang kepada kebiasaan yang ada di tempat itu. Begitu pula bila suami dari golongan orang susah, maka suami cukup memakaikan istri pakaian yang biasa dipakai oleh orang-orang susah yang ada di sekitarnya. Istri tidak boleh menuntut lebih dari itu. Oleh karena itulah jika suami menjadi susah atau miskin selama ia masih mampu dan berusaha untuk menafkahi istrinya maka istri harus ridho dan sabar untuk terus mulazamah kepada suami. Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
أَ
طْعِمُوهُنَّ مِمَّا تَأْكُلُونَ وَاكْسُوهُنَّ مِمَّا تَكْتَسُونَ وَلَا تَضْرِبُوهُنَّ وَلَا تُقَبِّحُوهُنَّ رواه أبو داود
“Berilah makan istri-istrimu dengan apa-apa yang kamu makan dan pakaiankanlah mereka dengan apa-apa yang kamu pakai dan janganlah kamu memukul serta merendahkan mereka (Riwayat Abu Daud)
Namun jika
suami sudah tidak mampu lagi menafkahi istri atau memang tidak mau dan
tidak berusaha maka dalam kondisi seperti ini istri boleh meminta fasakh
sebagaimana y riwayat dari Sa’id ibnu Musayyab Radhiyallahu ‘Anhu.:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ فِى الرَّجُلِ لاَ يَجِدُ مَا يُنْفِقُ عَلَى امْرَأَتِهِ قَالَ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا (رواه دارقطني
“Dari Sa’id ibnu Musayyab yang pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang tidak memiliki apa-apa untuk diinfakkan kepada istrinya maka ia berkata agar keduanya bercerai saja.”
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ فِى الرَّجُلِ لاَ يَجِدُ مَا يُنْفِقُ عَلَى امْرَأَتِهِ قَالَ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا (رواه دارقطني
“Dari Sa’id ibnu Musayyab yang pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang tidak memiliki apa-apa untuk diinfakkan kepada istrinya maka ia berkata agar keduanya bercerai saja.”
Istri hanya boleh meminta
fasakh jika suami tidak memenuhi nafkah primernya seperti makanan, rumah
dan pakaian. Adapun jika itu nafkah sekunder (tambahan) seperti
lipstik, bedak, perhiasan, lauk pauk dan sebagainya maka istri tidak
boleh menunutut fasakh sebab itu hanya pelengkap saja dimana istri masih
bisa hidup tanpa itu semua.
D. Nafkah Kepada Makhluk Lain
Makhluk
lain di sini adalah hewan atau tumbuhan yang berada di bawah naungan
tuannya seperti hewan ternak, hewan piaraan dan tanam-tanaman yang
ditanam seperti bunga yang ditanam di
pekarangan rumah.
Makhluk-makhluk
di atas juga memiliki hak nafkah sebagaimana manusia. Ini tidak dapat
dianggap remeh bahkan pernah ada seorang wanita yang dikatakan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk neraka karena tidak mau
memberi makan seekor kucing. Tentang ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda:
عُذِّبَتْ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ لَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَسَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا وَلَا هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ رواه مسلم
“Seorang perempuan nanti akan diazab karena seekor kucing yang dikurungnya hingga mati, tidak dikasihnya makan dan tidak pula dikasihnya minum dan tidak pula dilepaskannya hingga kucing itu memakan serangga-serangga tanah. (Riwayat Muslim)
4. Penutup
عُذِّبَتْ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ لَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَسَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا وَلَا هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ رواه مسلم
“Seorang perempuan nanti akan diazab karena seekor kucing yang dikurungnya hingga mati, tidak dikasihnya makan dan tidak pula dikasihnya minum dan tidak pula dilepaskannya hingga kucing itu memakan serangga-serangga tanah. (Riwayat Muslim)
4. Penutup
Itulah fikih
Islam, semuanya dibangun atas dasar keadilan, bahkan seekor kucingpun
juga turut mendapatkan rahmat dari keadilan syariat Islam. Bukan kucing
saja sebenarnya, tetapi juga hewan-hewan kecil yang ada di dalam air dan
lubang-lubang kecilpun turut mendapatkan rahmat. Terbukti di seluruh
kitab-kitab fikih Islam hampir tidak dapat kita jumpai kitab yang tidak
mengupas habis tentang adab-adab istinja dimana di sana umat Islam
diperintahkan untuk tidak buang air di lubang-lubang dan air tergenang.
Subhanallah,
betapa indahnya agama Islam. Segalanya harus diletakkan pada tempatnya
dan tidak boleh sembarangan. Umatnya di atur, namun tidak di….Umatnya
disuruh untuk bersungguh-sungguh menjalankan perintah, tetapi tidak
dipaksa ketika tidak mampu.
Akhirnya penulis mengatakan bahwa
memberi nafkah kepada sanak keluarga memang sudah menjadi bagian dari
fitrah manusia, yang kemudian dirapihkan dan didisiplinkan oleh syariat.
Memberi nafkah tidak hanya program harian individu-individu umat Islam,
melainkan juga seluruh manusia merasa berkewajiban untuk menafkahi
keluarganya. Hanya saja mungkin di umat lain, permasalahan nafkah ini
tidak tidak dibahas secara detail di “fikih-fikih” yang ada pada agama
mereka. Alhamdulillah kita menjadi bagian dari pada umat yang agamanya
sempurna ini.
Akhirnya penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya
sebab masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam makalah yang kecil ini
dan kepada Allah Subhânahu wa Ta’ala penulis mohon ampun. Semoga
bermanfaat bagi kita semua. Walhamdulillah wa Allahu A’lam.
Al Faqir ila ‘afwi Rabbih
Ablecaire El-D’roy (Muh. Haris F. Lubis)
Pelajar Universitas Al Azhar Kairo Fak. Syariah wal Qanun
Ablecaire El-D’roy (Muh. Haris F. Lubis)
Pelajar Universitas Al Azhar Kairo Fak. Syariah wal Qanun