Oleh: Ahmad Baso,
Islam
NUsantara bukanlah Islam tandingan, bukan agama baru, bukan pula agama
pinggiran atau “Islam lokal” yang dianut kalangan Muslim NUsantara .
Islam
NUsantara bukan pula Islam historis. Ketika Islam NUsantara dikatakan
Islam historis, maka itu kemudian dipertentangkan dengan “Islam
normatif” yang asli dari al-Quran dan Hadits yang kemudian hanya
dimiliki kelompok Islam puritan Wahabi! Dikotomi itu hanya membenarkan
kelompok puritan yang punya slogan “kembali kepada al-Quran dan Hadits”,
selian itu hanya historis yang berubah-ubah di setiap saat!
Berbicara
tentang Islam NUsantara adalah berbicara tentang bagaimana Islam
sebagai ajaran normatif diamalkan dan diistifadah dalam “bahasa-bahasa
ibu” penduduk NUsantara. Jadi sebutan NUsantara bukan menunjukkan sebuah
teritori, tapi sebagai paradigma pengetahuan, kerja-kerja kebudayaan
dan juga kreatifitas intelektual.
Manhaji Islam NUsantara
Islam NUsantara adalah ma’rifatul ulama-i-l-Indonesiyyin bil-ahkami-sy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha-t-tafshiliyyah; atau, majmu’atu ma’arifil -l- ulama-i-l-Indonesiyyin bil-ahkami-sy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha-t-tafshiliyyah (al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas).
Islam NUsantara sebagai hasil ijma dan ijtihad para ulama NUsantara “dalam melakukan istinbath terhadap al-ahkami-sy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha-t-tafshiliyyah”. Islam NUsantara adalah idrakul hukmi min dalilihi ala sabili-r-rujhan.
Islam NUsantara sebagai “mazhab berpikir” para ulama kita tentang
bagaimana idrakul hukmi min dalilihi ala sabili-r-rujhan. (Jadi bicara
Islam NUsantara justru tidak nyambung dengan bangunan fiqhul kitab
wassunah atau fiqih sunnah yang dikampanyekan kalangan puritan wahabi).
Obyek Islam NUsantara sebagai ilmu tentang hal-hal ‘aridhah li dzatil Islam, yakni, al-ahwal al-mansubah ila l-Islam. Apa yang dimaksud yang aridhah? Yakni al-mahmul alasysyai al-kharij ‘an dzatih, atau, al-‘aradh dzati lisyiddati ta’lluqihi bi-dz-dzati, bi an yalhaqal sy syai ldzatihi,
seperti penginderaan atau pencerapan inderawi oleh manusia, atau
melalui sesuatu yang setara dengan dzat itu, seperti ketawanya manusia
karena perantaraan takjub, atau melalui sesuatu yang lebih umum dari itu
tapi tetap menjadi bagian integral darinya, yakni melalui posisinya
sebagai makhluk.
Posisi
Islam NUsantara seperti halnya posisi bermazhab, tidak bisa dilepaskan
dari ajaran normatif Islam itu sendiri. Memang ia adalah aradh,
terpisah, tapi tidak bisa dilepaskan dari yang normatif itu, karena lisyiddati ta’lluqihi bi dzati-l-Islam. Bahkan untuk memahami dan mengamalkan Islam itu sendiri.
Oleh karena itu ada salah satu kaidah yang relevan tentang Islam NUsantara ini: “Ma la yattimu-l-wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (Islam NUsantara adalah bagian dari yang “bihi, fahuwa wajibun”).
Redaksi aplikatifnya adalah “al-Islam Nusantara huwa: ma la yatimmu-l-Islam illa bihi fahuwa wajibun”. Juga argemen lil wasail hukmul maqashid. Juga ada argumen al-Imam al-Ghazali dalam Kitab al-Mustashfa min Ilmi-l-Ushul (al-kulliyatul-khams).
Contoh-Contoh Ijtihad Islam NUsantara:
- Imsak,
- Halal bihalal,
- Ta’liq thalaq,
- Konsep barakah (ziyadah fil-khair – ke barakah Nusantara dalam Hikayat Banjar)
- Kaidah al-muhafazhah ala-l-qadimis-sh-shalih
Silsilah dan Sanad Islam NUsantara
Untuk
menunjukkan bahwa Islam NUsantara itu bukan Islam pinggiran, bukan Islam
yang tidak murni, bukan Islam lokal atau Islam tidak sempurna, salah
satu instrumen untuk membuktikan itu adalah sanad dan silsilah kitab dan
guru-guru. Contoh Silsilah Syeikh Yasin al-Fadani, ada ratusan ulama
Indonesia yang mengambil ilmu dari Syeikh Yasin Isa al-Fadani di Mekah.
Berikut sanad beliau hingga ke al-Imam asy-Syafi’i:
- Allah subhanahu wata’ala
- Malaikat Jibril
- Nabi Muhammad shallallahualaihiwasallam
- Abdullah bin Mas’ud
- Alqamah
- Imam Ibrahim an-Nakha’i (wafat 95 H)
- Hammad bin Abi Sulaiman (wafat 120 H)
- Imam Abu Hanifah (wafat 150 H)
- Imam Malik (wafat 179 H)
- Al-Imam asy-Syafii (wafat 204 H)
- Ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi (wafat 270 H)
- Abu al-Abbas Muhammad bin Ya’qub al-Asham
- Abu Nuaim al-Asfahani
- Abu Ali bin Ahmad al-Haddad
- Al-Qadhi Abu al-Makarim Ahmad bin Muhammad al-Labban
- Al-Fakhr Abu al-Hasan Ali bin Ahmad ibn al-Bukhari
- Ash-Shalah Muhammad bin Abi Umar
- Imam al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani
- Al-Qadhi Zakariya bin Muhammad al-Anshari
- Syeikh Najmuddin Muhammad bin Ahmad al-Ghaithi
- Syeikh Salim bin Muhammad as-Sanhuri
- Syeikh Syamsuddin Muhammad bin Ala al-Babili
- Syeikh Syamsuddin Muhammad bin Salim al-Hifni
- Syeikh Abdullah bin Hijazi Syarqawi
- Syekih Usman bin Hasan ad-Dimyathi
- Syeikh Ahmad Zaini Dahlan
- Syeikh Bakri Syatha
- Syeikh Muhammad Ali al-Maliki (w 1367 H) + Syekh Umar Hamdan al-Mahrisi + Syekh Umar bin Husain ad-Daghistani (w 1365 H) +
- Syekh Hasan bin Sa’id Yamani (wafat 1391 H)
- Syekh Yasin Isa al-Fadani
- Ulama-ulama Islam NUsantara
Islam NUsantara adalah “Ngluri Leluhur” (Melestarikan Tradisi Leluhur)
Islam
NUsantara memberi karakter bermazhab dalam teks-teks para ulama
NUsantara untuk menyambungkan kita dengan tradisi leluhur kita, untuk
kita hormati, dan untuk meneladani contoh-contoh terbaik yang mereka
hasilkan. Itu kalau Anda ingin menghargai jasa para leluhur bangsa ini,
yang berjuang dan berbakti demi bangsa ini, tapi kalau tidak bermazhab,
tidak punya silsilah atau kedekatan dengan sanad, berarti Anda tidak
punya kepekaan dan tidak juga basis kerakyatan. Jadi ngluri leluhur
adalah penghargaan terhadap leluhur, para ulama, para pejuang yang
berjuang untuk bangsa ini serta para pendahulu yang berjasa.
Islam
NUsantara membantu anak-anak bangsa memelihara segenap memori kolektif
bangsa ini dari masa lalu tentang kejayaannya, tentang segenap
pengalamannya berhadapan dengan bangsa-bangsa asing, hingga membantu
mereka mengingat kembali perjuangan orang-orang yang berkorban untuk
bangsa dan tanah air ini. Mekanisme untuk itu dilakukan dengan
memelihara sejumlah tradisi, ritual, upacara, rasionalitas (ma’quliyah),
pengalaman, dan segenap praktik-praktik keagamaan, kesenian dan
berkebudayaan yang menghubungkan satu generasi ke generasi berikutnya,
dari satu komunitas ke komunitas lainnya, sehingga solidaritas
berbangsa, persatuan dan kebersamaan di antara komponen bangsa ini jadi
terjaga.
Mengapa Perlu Ada Islam NUsantara, Tidak Cukupkah Islam Saja?
Karena
mengarah pada kesinambungan memori bangsa dan pemeliharaan sumber-sumber
kekuatan bangsa ini, maka Islam NUsantara menjadi alat dan mekanisme
efektif dan satu-satunya untuk mengembangkan segenap kekuatan dan
potensi sumber daya bangsa ini di masa depan, yang nanti akan dituangkan
dalam berbagai displin pengetahuan dan lembaga-lembaga ekonomi, sosial,
kebudayaan dan politik.
Islam
NUsantara adalah sarana untuk membentuk kemampuan bekerja penduduk
negeri ini, dan juga sebagai sarana yang utama untuk memahami pengalaman
bangsa-bangsa di dunia ini, untuk menguji berbagai kecenderungan
(paham, aliran, ideologi, politik) di dunia ini, serta untuk memahami
dan membentuk karakter khusus bangsa kita dengan sebuah pandangan untuk
membangkitkan segenap kekuatan mereka ke depan dengan sebuah pandangan
yang optimis dan kritis
Substansi Islam NUsantara:
- Babad Tanah Jawi: Konstruksi Kiai
Abdullah bin Abdulkahar al-Bantani abad 17 tentang silsilah dan sanad
dalam historiografi Nusantara,
- Serat Surya Raja: Konstruksi Putra
Mahkota Kraton Yogyakarta [kemudian menjadi Hamengkubuwono II] abad 18
tentang ideologi “Kimudin Arap Jawi” (menegakkan Islam NUsantara ).
“Teks Serat Surya Raja [karya Hamengkubuwono II] meramalkan satu solusi
akhir dari pemisahan kekuasaan [antara Yogyakarta dan Surakarta] dan
masalah kolonialisme Belanda [di NUsantara], yaitu persatuan dan
kemenangan penduduk Jawi [NUsantara], yang dimungkinkan oleh keunggulan
peradaban Islam Aswaja”
Substansi Historiografi NUsantara: Persatuan dan Titik Temu NUsantara
- Serat Jaka Rusul dari abad 19:
“Dhewe-dhewe tekatira nanding nora sulaya, kumpul bae maksudira” (meski
mereka berbeda-beda, tapi tidak berselisih dan tetap bertemu juga
maksudnya).
- Jaringan teks-teks Islam NUsantara
dari abad 17 dan 18 dalam bahasa Melayu merupakan “petunjuk tentang
proses pembentukan ideologi baru di bidang agama dan politik.”
(dirumuskan kemudian menjadi “al-Jumhuriyah al-Indonesiyah”)
- Serat Wicarakeras karya Kiai
Yosodipuro II: “padha Jawa datan arsa” (sadar tidak berperang dan
berlawanan dengan sesama anak-anak NUsantara); “[tan] sêsetanan anjaili
padha bôngsa” (jangan seperti orang yang setannya mengkhianati sesama
anak bangsa sendiri).
Strategi- Strategi Islam NUsantara: “Para Wali Pasemone” (Para Walisongo Berbahasa Takwil)
Artinya:
- “Sampun putus patitis” (ahli takwil, jago tafsir dan ahli membuat bahasa kiasan),
- “Tan kuciwa ing semu”, tidak pernah luput menangkap makna yang halus dan tersembunyi,
- “Limpat ing reh pasang semu”, ahli
dan mumpuni dalam seni menghasilkan tanda-tanda dalam berkomunikasi
tentang makna dan kebenaran yang tersembunyi.
Disampaikan
dalam Daurah Nasional Kader Ahlussunnah wal Jama’ah dengan presentasi
berjudul “Islam NUsantara: Qawli, Manhaji, Ideologi”, bertempat di
Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Jawa Timur, 2 Rabi’ul Awwal 1436 H/ 24
Desember 2015
Sumber :
https://rmi-nu.or.id/nahdlatul-ulama/apa-itu-islam-nusantara-2748.