Oleh: M. Syamsi Ali
Dua minggu lalu, selepas jum’at saya menemukan secarik kerta di atas meja kantor saya di Islamic Cultural Center of New York. Isinya kira-kira berbunyi ‘I have been trying to reach you but never had a good luck! Would you please call me back? Karen’.
Berhubung karena berbagai kesibukan lainnya, saya menunda menelpon balik Karen higga dua hari lalu. ‘Oh….thank you so much for getting back to me!’, jawabnya ketika saya perkenalkan diri dari Islamic Center of New York. ‘I am really sorry for delaying to call you back’, kata saya, sambil menanyakan siapa dan apa latar belakang sang penelpon.
‘Hi, I am sorry! My name is Karen Henderson, and I am a professor at the NYU (New York University)’, katanya.
‘And so what I can do for you?’ tanyaku. Dia kemudian menanyakan jika saya ada beberapa menit untuk berbicara lewat telpon. ‘Yes, certainly I have, just for you, professor!’ candaku. ‘Oh.. that is so kind of you!’, jawabnya.
Karen kemudian bercerita panjang mengenai dirinya, latar belakang keluarganya, profesinya, dan bahkan status sosialnya.
‘I am a professor teaching sociology at the New York University’, demikian dia memulai. Namun menurutnya lagi, sebagai sosiolog, dia tidak saja mengajar di universitas tapi juga melakukan berbagai penelitian di berbagai tempat, termasuk luar negeri. Karen sudah pernah mengunjungi banyak negara untuk tujuan penelitiannya, termasuk dua negara yang justeru disebutnya sebagai sumber inspirasi. Yaitu Pakistan dan Afghanistan.
‘I spent more than 3 years in those countries, and mostly in villages’, katanya. ‘During those three years, I have a lot memories about the people. They are simply amazing’, lanjutnya.
Tidak terasa Karen berbicara di telpon hampir 20 menit. Sementara saya hanya mendengarkan dengan serius dan tanpa menyela sekalipun. Selain karena cara Karen berbicara sangat menarik, informative dan disampaikan dalam bahasa yang jelas, saya menjadi lebih tertarik mendengar. Mungkin karena dia adalah seorang professor, jadi dalam berbicara dia sangat sistimatis dan eloquent.
‘Karen, that is a very interesting story. I am sure what you did experience in Pakistan I did as well. I lived in Pakistan 7 years, and had an opportunity to visit many of those areas you did mention’, kataku.
‘But what did you want to tell me out this story?’, tanyaku lagi
Nampaknya Karena menarik napas, lalu menjawab. Tapi kali ini dengan suara lembut dan agak lamban. ‘Sir, I wanted to know further Islam, the religion of those people. They are sweet people, and I think I have inspired by them in many ways’, katanya.
Tapi karena waktu yang tidak terlalu mengizinkan untuk saya banyak berbicara lewat telpon, saya meminta Karen untuk datang ke Islamic Center keesokan harinya (Sabtu lalu). Diapun menyetujui dan disepakatilah pukul 1:30 siang, persis jam ketika saya mengajar di kelas khusus non Muslim, Islamic Forum for non Muslims.
Keesokan harinya, Sabtu, saya tiba agak telat. Sekitar pukul 12 siang saya tiba, dan pihak security menyampaikan bahwa dari tadi ada seorang wanita menunggu saya. ‘She is the mosque’ (maksudnya di ruang shalat wanita). Saya segera meminta security untuk memanggil wanita tersebut ke kantor untuk menemui saya.
Tak lama kemudian datangnya seorang wanita dengan pakaian ala Asia Selatan (India Pakistan). Sepasang shalwar dan Gamiz, lengkap dengan penutup kepala ala kerudung Benazir Bhutto. ‘Hi, sorry for coming earlier! I can wait at the mosque, if you are still busy with other things’, kata wanita baya umur 40-an tahun itu. Dia jelas Amerika berkulit putih, kemungkinan keturunan Jerman.
‘Not at all, professor! I am free for you’, jawabku sambil tersenyum. ‘Have your seat, but let me go around the school for five minutes’, mintaku untuk sekedar melihat-lihat weekend school program hari itu.
Setelah selesai melihat-lihat beberapa kelas pada hari itu, saya kembali ke kantor. ‘I am sorry Professor!’, sapaku. ‘Please do call me by name, Karen!’, pintanya sambil tersenyum. ‘You know, I like to address people respectfully, and I really did not know how to address you’, kataku. ‘In some countries, people love to be known with their professional title. But I know Americans are not’, lanjutku sambil ketawa kecil.
Kita kemudian hanyut dalam pembicaraan dalam berbagai hal, mulai dari isu hangat tentang kartun Nabi Muhammad SAW di sebuah komedi kartun Amerika, hingga kepada asal usul Karen itu sendiri. ‘I am a Jew by birth. My Parents are Jews, but you know, especially my father, he doesn’t believe in the religion any more’, katanya. Bahkan menurutnya, ayahnya itu seringkali menilai konsep tuhan sebagai sekedar alat repression (menekan) sepanjang sejarah manusia.
Namun menurut Karen, walaupun tidak percaya agama dan mengaku tidak percaya tuhan, ayahnya masih juga merayakan hari-hari besar Yahudi, seperti Hanukkah, Sabbath, dll. ‘These celebrations, as most Jews do, are no more than heritage traditions’, jelasnya. ‘Judaism is think not a religion, in the sense that it is more about culture and family’, sambungnya lagi.
Dalam hatiku saya mengatakan bahwa semua itu bukan baru bagi saya. Sekitar 60 persen atau lebih Yahudi di Amerika Serikat adalah dari kalangan sekte ‘Reform’ (Pembaharu). Mereka ini ternyata telah melakukan reformasi mendasar dalam agama mereka, termasuk dalam hal-hal akidah atau keyakinan. Sekte Reform misalnya sama sekali tidak percaya lagi kepada kehidupan akhirat. Saya masih teringat dalam sebuah diskusi di gereja Marble Collegiate tahun lalu tentang konsep kehidupan. Pembicaranya adalah saya dan seorang Pastor dan Rabbi dari Central Synagogue Manhattan. Ketika kita telah sampai kepada isu hari Akhirat, Rabbi tersebut mengaku tidak percaya.
Tiba-tiba salah seorang hadirin yang juga murid muallaf saya keturunan Rusia berdiri dan bertanya ‘And so, if you don’t believe in the life after death, why you have to go to your synagogue, worship, wearing yarmukka, giving charity, etc.? Why do you think it is necessary to be honest, be helpful to others? And why we have to avoid things we must avoid?’, tanyanya panjang lebar.
Sang Rabbi hanya tersenyum dan menjawab singkat ‘we do all those because that what we have to be and do’.
Mendengar jawaban sang Rabbi, semua hadirin hanya tersenyum, dan bahkan banyak yang tertawa.
Kembali ke Karen, kita kemudian hanyut dalam dialog tentang konsep kebahagiaan. Menurutnya, sebagai seorang sosiolog, dia telah melakukan banyak penelitian dalam berbagai hal yang berkaitan dengan bidangnya. Pernah ke Amerika Latin, Afrika, beberapa negara Eropa, dan juga Asia, termasuk Asia Selatan. ‘But one thing I have to tell, those Pakistanis and Afghanis are simply amazing people’, katanya. ‘What really amazed about them?’ tanyaku.
‘Many, their religiosity and commitment to the religion, among others. But I think the most amazing about them is their strength and enduring in nature in their daily life’, katanya panjang lebar. ‘I am amazed how these people are so strong and looking happy despite the very challenging life that they are in’, jelasnya lagi.
Saya tidak pernah menyangka kalau Karen tiba-tiba meneteskan airmata di tengah-tengah pembicaraan kami. Dia seorang professor yang senior, walau masih belia dalam umur. Tapi juga pengalamannya yang luar biasa, menjadikan saya lebih banyak mendengar. Di tengah-tengah membicarakan ‘kesulitan hidup’ orang-orang Afghanistan dan Pakistan, khususnya di daerah pegunungan-pegunungan, dia meneteskan airmata tapi sambil melemparkan senyum. ‘I am sorry, I am very emotional with this story?’, katanya.
Segera saya ambil kendali. Saya bercerita tentang konsep kebahagiaan menurut ajaran Islam. Bahkan berbicara panjang lebar tentang kehidupan dunia sementara, dan bagaimana Islam mengajarkan kehidupan akhirat itu sendiri. ‘No matter how do you live your life here, it is temporary and unfulfilling. There must be some where, sometime where we will live eternally and all dreams and wishes will be fulfilled’, jelasku. ‘This belief gives us an immense strength and determination to live our lives at fullest, no matter how circumstances may surround that life itself’.
Tanpa terasa adzan Dhuhr dikumandangkan. Saya pun segera berhenti berbicara. Nampaknya Karen paham bahwa ketika adzan didengarkan maka kita seharusnya mendengarkan dan menjawab. Mungkin dia sendiri tidak paham apa yang seharusnya diucapkan, tapi dia tersenyum ketika saya meminta maaf berhenti berbicara.
Setelah adzan saya melanjutkan sedikit, lalu saya tanya kepada Karen. ‘And so, what really makes you calling me the other day?’
‘I want to tell you that my mind constantly remember those people. My memory reminds me about how they happy are, while we Americans with all this fancy life, lacking of happiness..!’, katanya seolah marah.
‘And so what makes you contacting me? I mean why do you have to come and discuss with me?’ pancingku lagi.
Karen merubah posisi duduknya, tapi nampak sangat serius lalu berkata ‘I’ve thought this for long time. But I really don’t know what to do and how to proceed it. I wanted to become a Muslim!’, katanya mantap.
Saya segera menjelaskan bahwa untuk menjadi Muslim itu sebenarnya sangat mudah. Yang susah adalah proses menemukan hidayah. Jadi nampaknya anda sudah melalui prose situ, dan kini sudah menuju kepada jenjang akhir. ‘My question to you is are you really convinced that this is the religion that you believe to be the Truth?’, kataku lagi.
‘Yes, certainly no doubt!’, jawabnya tegas.
Saya segera memanggil salah seorang guru weekend school wanita untuk mengajarkan kepada Karen mengambil wudhu. Ternyata dia sudah bias wudhu dan shalat, hanya belum hafal bacaan-bacaan shalat tersebut.
Selepas shalat Dhuhur, Karen saya tuntun melafalkan ‘Ash-hadu an laa ilaaha illa Allah wa ash-hadu anna Muhammadan Rasul Allah’, dengan penuh khusyu’ dan diikuti pekikan takbir ratusan jama’ah yang hadir.
Hanya doa yang menyertai semoga Karen Henderson dijaga dan dikuatkan dalam iman, tumbuh menjadi pejuang Islam di bidangnya sebagai professor ilmi-ilmu social di salah satu universitas bergengsi di AS. Amin!
New York, 26 April 2010
_____________________________________________________________________________
Syamsi Ali adalah dai kondang di Amerika Serikat. Kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada 5 Oktober 1967. Menjadi imam masjid Islamic Center, masjid terbesar di New York. Ia juga menjadi imam di Masjid Al-Hikmah, masjid milik komunitas Islam asal Indonesia
Ia pernah tampil sepanggung dengan mantan Presiden AS Bill Clinton, ratu talk show Oprah Winfrey, dan Gubernur Negara Bagian New York George Pataki dalam sebuah acara bertajuk “A Prayer for America”.
Acara ini dihadiri oleh 50 ribu orang dari berbagai ras, warna kulit, dan agama. Syamsi mengutip surat Al-Hujarat ayat 13, tentang asal-usul manusia yang diciptakan Tuhan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Tidak ada yang lebih mulia, kecuali mereka yang bertakwa. Syamsi ingin mengatakan kepada public Amerika bahwa Islam adalah agama yang mengakui persauadaraan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar