Habib Luthfi Menolak Keras Gugatan Hasil Muktamar NU



Pimpinan tertinggi JATMAN (Jam'iyyah Ahlut Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah), al-Habib M. Luthfi bin Yahya, usai ditemui Gus Shalah dan utusan KH. Hasyim Muzadi, menolak dengan tegas kubu HM-GS cs untuk menggugat hasil Muktamar dan menuntut Muktamar ulang. Karena secara de facto dan de jure hasil Muktamar NU ke-33 telah sah dan meyakinkan, meskipun banyak kekurangan secara teknis di lapangan.

"Menggugat dan menuntut Muktamar ulang sama saja meruntuhkan ulama dan Nahdlatul Ulama itu sendiri," tutur Habib Luthfi.

Habib Luthfi juga menyatakan kekecewaannya atas mundurnya Gus Mus dari jabatan Rais Aam. Karena, menurut Habib Luthfi, Gus Mus bagi beliau adalah yang terpantas menyandang jabatan tersebut. Dan Habib Luthfi juga menyatakan sangat menyetujui mekanisme AHWA (Ahlul Halli Wal 'Aqdi) diterapkan untuk pemilihan Rais Aam di Muktamar ini. (Kunanfadinaka).

Sebelumnya, dalam suasana Muktamar, Habib Luthfi mampir sejenak di Tebuireng. Usai Maghrib sekitar pukul 18.00, Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan tiba di Tebuireng bersama para pengikutnya. Setelah memasuki komplek Pesantren Tebuireng, Rais Aam Jam’iyah Ahlut Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah itu langsung menuju ke kediaman Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid, Selasa (04/08).

Selesai berbincang dengan Gus Sholah, Habib Luthfi berziarah ke makam Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari di komplek pemakaman Tebuireng. Para peziarah maupun muktamirin pun berebut ingin bersalaman.

Kedatangan Ketua Umum MUI Jawa Tengah itu juga ditemani seorang ulama asal Malang, KH. Abdul Mu’thi. “Beliau tiba habis Maghrib, ke ndalem, lalu ziarah. Setelah itu langsung pulang”, kata seorang satpam Tebuireng. Sekitar pukul 20.00 WIB, setelah berziarah, Habib Luthfi langsung meninggalkan Pesantren Tebuireng dengan mobil hitam berplat nomor N 5 U. (Tebuireng.org)
sumber:

Apa itu Islam NUsantara?

Oleh: Ahmad Baso,
Islam NUsantara bukanlah Islam tandingan, bukan agama baru, bukan pula agama pinggiran atau “Islam lokal” yang dianut kalangan Muslim NUsantara .
Islam NUsantara bukan pula Islam historis. Ketika Islam NUsantara dikatakan Islam historis, maka itu kemudian dipertentangkan dengan “Islam normatif” yang asli dari al-Quran dan Hadits yang kemudian hanya dimiliki kelompok Islam puritan Wahabi! Dikotomi itu hanya membenarkan kelompok puritan yang punya slogan “kembali kepada al-Quran dan Hadits”, selian itu hanya historis yang berubah-ubah di setiap saat!
Berbicara tentang Islam NUsantara adalah berbicara tentang bagaimana Islam sebagai ajaran normatif diamalkan dan diistifadah dalam “bahasa-bahasa ibu” penduduk NUsantara. Jadi sebutan NUsantara bukan menunjukkan sebuah teritori, tapi sebagai paradigma pengetahuan, kerja-kerja kebudayaan dan juga kreatifitas intelektual.

Manhaji Islam NUsantara

Islam NUsantara adalah ma’rifatul ulama-i-l-Indonesiyyin bil-ahkami-sy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha-t-tafshiliyyah; atau, majmu’atu ma’arifil -l- ulama-i-l-Indonesiyyin bil-ahkami-sy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha-t-tafshiliyyah (al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas).
Islam NUsantara sebagai hasil ijma dan ijtihad para ulama NUsantara “dalam melakukan istinbath terhadap al-ahkami-sy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha-t-tafshiliyyah”. Islam NUsantara adalah idrakul hukmi min dalilihi ala sabili-r-rujhan. Islam NUsantara sebagai “mazhab berpikir” para ulama kita tentang bagaimana idrakul hukmi min dalilihi ala sabili-r-rujhan. (Jadi bicara Islam NUsantara justru tidak nyambung dengan bangunan fiqhul kitab wassunah atau fiqih sunnah yang dikampanyekan kalangan puritan wahabi).
Obyek Islam NUsantara sebagai ilmu tentang hal-hal ‘aridhah li dzatil Islam, yakni, al-ahwal al-mansubah ila l-Islam. Apa yang dimaksud yang aridhah? Yakni al-mahmul alasysyai al-kharij ‘an dzatih, atau, al-‘aradh dzati lisyiddati ta’lluqihi bi-dz-dzati, bi an yalhaqal sy syai ldzatihi, seperti penginderaan atau pencerapan inderawi oleh manusia, atau melalui sesuatu yang setara dengan dzat itu, seperti ketawanya manusia karena perantaraan takjub, atau melalui sesuatu yang lebih umum dari itu tapi tetap menjadi bagian integral darinya, yakni melalui posisinya sebagai makhluk.
Posisi Islam NUsantara seperti halnya posisi bermazhab, tidak bisa dilepaskan dari ajaran normatif Islam itu sendiri. Memang ia adalah aradh, terpisah, tapi tidak bisa dilepaskan dari yang normatif itu, karena lisyiddati ta’lluqihi bi dzati-l-Islam. Bahkan untuk memahami dan mengamalkan Islam itu sendiri.
Oleh karena itu ada salah satu kaidah yang relevan tentang Islam NUsantara ini: “Ma la yattimu-l-wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (Islam NUsantara adalah bagian dari yang “bihi, fahuwa wajibun”).
Redaksi aplikatifnya adalah “al-Islam Nusantara huwa: ma la yatimmu-l-Islam illa bihi fahuwa wajibun”. Juga argemen lil wasail hukmul maqashid. Juga ada argumen al-Imam al-Ghazali dalam Kitab al-Mustashfa min Ilmi-l-Ushul (al-kulliyatul-khams).

Contoh-Contoh Ijtihad Islam NUsantara:

  1. Imsak,
  2. Halal bihalal,
  3. Ta’liq thalaq,
  4. Konsep barakah (ziyadah fil-khair – ke barakah Nusantara dalam Hikayat Banjar)
  5. Kaidah al-muhafazhah ala-l-qadimis-sh-shalih

Silsilah dan Sanad Islam NUsantara

Untuk menunjukkan bahwa Islam NUsantara itu bukan Islam pinggiran, bukan Islam yang tidak murni, bukan Islam lokal atau Islam tidak sempurna, salah satu instrumen untuk membuktikan itu adalah sanad dan silsilah kitab dan guru-guru. Contoh Silsilah Syeikh Yasin al-Fadani, ada ratusan ulama Indonesia yang mengambil ilmu dari Syeikh Yasin Isa al-Fadani di Mekah. Berikut sanad beliau hingga ke al-Imam asy-Syafi’i:
  1. Allah subhanahu wata’ala
  2. Malaikat Jibril
  3. Nabi Muhammad shallallahualaihiwasallam
  4. Abdullah bin Mas’ud
  5. Alqamah
  6. Imam Ibrahim an-Nakha’i (wafat 95 H)
  7. Hammad bin Abi Sulaiman (wafat 120 H)
  8. Imam Abu Hanifah (wafat 150 H)
  9. Imam Malik (wafat 179 H)
  10. Al-Imam asy-Syafii (wafat 204 H)
  11. Ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi (wafat 270 H)
  12. Abu al-Abbas Muhammad bin Ya’qub al-Asham
  13. Abu Nuaim al-Asfahani
  14. Abu Ali bin Ahmad al-Haddad
  15. Al-Qadhi Abu al-Makarim Ahmad bin Muhammad al-Labban
  16. Al-Fakhr Abu al-Hasan Ali bin Ahmad ibn al-Bukhari
  17. Ash-Shalah Muhammad bin Abi Umar
  18. Imam al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani
  19. Al-Qadhi Zakariya bin Muhammad al-Anshari
  20. Syeikh Najmuddin Muhammad bin Ahmad al-Ghaithi
  21. Syeikh Salim bin Muhammad as-Sanhuri
  22. Syeikh Syamsuddin Muhammad bin Ala al-Babili
  23. Syeikh Syamsuddin Muhammad bin Salim al-Hifni
  24. Syeikh Abdullah bin Hijazi Syarqawi
  25. Syekih Usman bin Hasan ad-Dimyathi
  26. Syeikh Ahmad Zaini Dahlan
  27. Syeikh Bakri Syatha
  28. Syeikh Muhammad Ali al-Maliki (w 1367 H) + Syekh Umar Hamdan al-Mahrisi + Syekh Umar bin Husain ad-Daghistani (w 1365 H) +
  29. Syekh Hasan bin Sa’id Yamani (wafat 1391 H)
  30. Syekh Yasin Isa al-Fadani
  31. Ulama-ulama Islam NUsantara

Islam NUsantara adalah “Ngluri Leluhur” (Melestarikan Tradisi Leluhur)

Islam NUsantara memberi karakter bermazhab dalam teks-teks para ulama NUsantara untuk menyambungkan kita dengan tradisi leluhur kita, untuk kita hormati, dan untuk meneladani contoh-contoh terbaik yang mereka hasilkan. Itu kalau Anda ingin menghargai jasa para leluhur bangsa ini, yang berjuang dan berbakti demi bangsa ini, tapi kalau tidak bermazhab, tidak punya silsilah atau kedekatan dengan sanad, berarti Anda tidak punya kepekaan dan tidak juga basis kerakyatan. Jadi ngluri leluhur adalah penghargaan terhadap leluhur, para ulama, para pejuang yang berjuang untuk bangsa ini serta para pendahulu yang berjasa.
Islam NUsantara membantu anak-anak bangsa memelihara segenap memori kolektif bangsa ini dari masa lalu tentang kejayaannya, tentang segenap pengalamannya berhadapan dengan bangsa-bangsa asing, hingga membantu mereka mengingat kembali perjuangan orang-orang yang berkorban untuk bangsa dan tanah air ini. Mekanisme untuk itu dilakukan dengan memelihara sejumlah tradisi, ritual, upacara, rasionalitas (ma’quliyah), pengalaman, dan segenap praktik-praktik keagamaan, kesenian dan berkebudayaan yang menghubungkan satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu komunitas ke komunitas lainnya, sehingga solidaritas berbangsa, persatuan dan kebersamaan di antara komponen bangsa ini jadi terjaga.

Mengapa Perlu Ada Islam NUsantara, Tidak Cukupkah Islam Saja?

Karena mengarah pada kesinambungan memori bangsa dan pemeliharaan sumber-sumber kekuatan bangsa ini, maka Islam NUsantara menjadi alat dan mekanisme efektif dan satu-satunya untuk mengembangkan segenap kekuatan dan potensi sumber daya bangsa ini di masa depan, yang nanti akan dituangkan dalam berbagai displin pengetahuan dan lembaga-lembaga ekonomi, sosial, kebudayaan dan politik.
Islam NUsantara adalah sarana untuk membentuk kemampuan bekerja penduduk negeri ini, dan juga sebagai sarana yang utama untuk memahami pengalaman bangsa-bangsa di dunia ini, untuk menguji berbagai kecenderungan (paham, aliran, ideologi, politik) di dunia ini, serta untuk memahami dan membentuk karakter khusus bangsa kita dengan sebuah pandangan untuk membangkitkan segenap kekuatan mereka ke depan dengan sebuah pandangan yang optimis dan kritis

Substansi Islam NUsantara:

  1. Babad Tanah Jawi: Konstruksi Kiai Abdullah bin Abdulkahar al-Bantani abad 17 tentang silsilah dan sanad dalam historiografi Nusantara,
  2. Serat Surya Raja: Konstruksi Putra Mahkota Kraton Yogyakarta [kemudian menjadi Hamengkubuwono II] abad 18 tentang ideologi “Kimudin Arap Jawi” (menegakkan Islam NUsantara ). “Teks Serat Surya Raja [karya Hamengkubuwono II] meramalkan satu solusi akhir dari pemisahan kekuasaan [antara Yogyakarta dan Surakarta] dan masalah kolonialisme Belanda [di NUsantara], yaitu persatuan dan kemenangan penduduk Jawi [NUsantara], yang dimungkinkan oleh keunggulan peradaban Islam Aswaja”

Substansi Historiografi NUsantara: Persatuan dan Titik Temu NUsantara

  1. Serat Jaka Rusul dari abad 19: “Dhewe-dhewe tekatira nanding nora sulaya, kumpul bae maksudira” (meski mereka berbeda-beda, tapi tidak berselisih dan tetap bertemu juga maksudnya).
  2. Jaringan teks-teks Islam NUsantara dari abad 17 dan 18 dalam bahasa Melayu merupakan “petunjuk tentang proses pembentukan ideologi baru di bidang agama dan politik.” (dirumuskan kemudian menjadi “al-Jumhuriyah al-Indonesiyah”)
  3. Serat Wicarakeras karya Kiai Yosodipuro II: “padha Jawa datan arsa” (sadar tidak berperang dan berlawanan dengan sesama anak-anak NUsantara); “[tan] sêsetanan anjaili padha bôngsa” (jangan seperti orang yang setannya mengkhianati sesama anak bangsa sendiri).

Strategi- Strategi Islam NUsantara: “Para Wali Pasemone” (Para Walisongo Berbahasa Takwil)

Artinya:
  1. “Sampun putus patitis” (ahli takwil, jago tafsir dan ahli membuat bahasa kiasan),
  2. “Tan kuciwa ing semu”, tidak pernah luput menangkap makna yang halus dan tersembunyi,
  3. “Limpat ing reh pasang semu”, ahli dan mumpuni dalam seni menghasilkan tanda-tanda dalam berkomunikasi tentang makna dan kebenaran yang tersembunyi.
Disampaikan dalam Daurah Nasional Kader Ahlussunnah wal Jama’ah dengan presentasi berjudul “Islam NUsantara: Qawli, Manhaji, Ideologi”, bertempat di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Jawa Timur, 2 Rabi’ul Awwal 1436 H/ 24 Desember 2015

Sumber :
https://rmi-nu.or.id/nahdlatul-ulama/apa-itu-islam-nusantara-2748.