Takbir Cinta Jahrana ( Habiburrahman El Sirozy)



(Sebuah Novelet Pembangun Jiwa)

Matanya berkaca-kaca. Kalau tidak ada kekuatan iman
Ujian yang ia derita sangat berbeda dengan orangorang
seusianya. Banyak yang memandangnya sukses.
Hidup berkecukupan. Punya pekerjaan yang terhormat
dan bisa dibanggakan. Bagaimana tidak, ia mampu
meraih gelar master teknik dari sebuah institut
teknologi paling bergengsi di negeri ini. Dan kini ia
dipercaya duduk dalam jajaran pengajar tetap di
universitas swasta terkemuka di ibukota Propinsi Jawa
Tengah: Semarang.

Satu
Tidak hanya itu, ia juga pernah mendapatkan
penghargaan sebagai dosen paling berdedikasi di
kampusnya. Ia sangat disegani oleh sesama dosen dan
dicintai oleh mahasiswanya. Ia juga disayang oleh
keluarga dan para tetangganya. Bagi perempuan
seusianya, nyaris tidak ada yang kurang pada dirinya.
Sudah berapa kali ia mendengar pujian tentang
kesuksesannya. Hanya ia seorang yang tahu bahwa
sejatinya ia sangat menderita.
Ada satu hal yang ia tangisi setiap malam. Setiap kali
bermunajat kepada Sang Pencipta siang dan malam. Ia
menangisi takdirnya yang belum juga berubah. Takdir
sebagai perawan tua yang belum juga menemukan
jodohnya. Dalam keseharian ia tampak biasa dan ceria.
Ia bisa menyembunyikan derita dan sedihnya dengan
sikap tenangnya.
Ia terkadang menyalahkan dirinya sendir kenapa tidak
menikah sejak masih duduk di S.l dahulu? Kenapa tidak
berani menikah ketika si Gugun yang mati-matian
mencintainya sejak duduk di bangku kuliah itu
mengajaknya menikah?
Ia dulu memandang remeh Gugun. Ia menganggap Gugun
itu tidak cerdas dan tipe lelaki kerdil. Sekarang si
Gugun itu sudah sukses jadi pengusaha cor logam dan
baja di Klaten. Karyawannya banyak dan anaknya sudah
tiga. Gugun sekarang juga punya usaha Travel Umroh di
Jakarta. Setiap kali bertemu, nyaris ia tidak berani
mengangkat muka.

Kenapa juga ketika selesai S.l ia tidak langsung
menikah? Kenapa ia lebih tertantang masuk S.2 di ITB
Bandung? Padahal saat itu, temannya satu angkatan si
Yuyun menawarkan kakaknya yang sudah buka kios
pakaian dalam di Pasar Bringharjo Jogja. Saat itu
kenapa ia begitu tinggi hati. Ia masih memandang
rendah pekerjaan jualan pakaian dalam. Sekarang
kakaknya Yuyun sudah punya toko pakaian dan sepatu
yang lumayan besar di Jogja. Akhirnya ia menikah
dengan seorang santriwati dari Pesantren Al Munawwir,
Krapyak.
Dan sekarang telah membuka SDIT di Sleman. Apa
sebetulnya yang ia kejar? Kenapa waktu itu ia tidak
juga cepat dewasa dan menyadari bahwa hidup ini
berproses.
Ia meneteskan airmata. Dulu banyak mutiara yang
datang kepadanya ia tolak tanpa pertimbangan. Dan kini
mutiara itu tidak lagi datang. Kalau pun ada seolah-olah
sudah tidak lagi tersedia untuknya. Hanya bebatuan
dan sampah yang kini banyak datang dan membuatnya
menderita batin yang cukup dalam.
Matanya berkaca-kaca. Ketika ia sadar harus rendah
hati. Ketika ia sadar prestasi sejati tidaklah sematamata
prestasi akademik. Ketika ia sadar dan ingin
mencari pendamping hidup yang baik. Baik bagi dirinya
dan juga bagi anak-anaknya kelak. Ketika ia sadar dan
ingin menjadi Muslimah seutuhnya. Ketika ia menyadari,
semua yang ia temui kini, adalah jalan terjal yang
panjang yang menguji kesabarannya.
Umurnya sudah tidak muda lagi. Tiga puluh empat
tahun. Teman-teman seusianya sudah ada yang memiliki
anak dua, tiga, empat, bahkan ada yang lima. Adik-adik
tingkatnya, bahkan mahasiswi yang ia bimbing
skripsinya sudah banyak yang nikah. Sudah tidak
terhitung berapa kali ia menghadiri pernikahan
mahasiswinya. Dan ia selalu hanya bisa menangis iri
menyaksikan mereka berhasil menyempurnakan separo
agamanya.
Hari ini ia kembali diuji. Seseorang akan datang.
Datang kepada orangtuanya untuk meminangnya. Ia
masih bimbang harus memutuskan apa nanti. Ia sudah
sangat tahu siapa yang akan datang. Dan sebenarnya ia
juga sudah tahu apa yang harus ia putuskan. Meskipun
pahit ia merasa masih akan bersabar meniti jalan terjal
dan panjang sampai ia menemukan mutiara yang ia
harapkan. Tapi bagaimana ia harus kembali memberikan
pemahaman kepada ayah-ibunya yang sudah mulai
renta?
Hand phone-nya berdering. Dengan berat ia angkat,
"Zahrana?" Suara yang sangat ia kenal. Suara Bu
Merlin, atasannya di kampus. Bu Merlin, ataulengkapnya
Ir. Merlin Siregar M.T., adalah Pembantu Dekan I. Ia
orang kepercayaan Pak Karman. Sejak SMA ia di
Semarang, jadi logat Bataknya nyaris hilang. Bahasa
Jawanya bisa dibilang halus.
"Iya Bu Merlin." Jawabnya dengan airmata menetes di
pipinya.
"Saya dan rombongan Pak Karman sudah sampai
Pedurungan. Dua puluh menit lagi sampai."
"Iya Bu Merlin." Jawabnya hambar, dengan suara
serak.
"Suaramu kok sepertinya serak. Sudahlah Rana,
bukalah hatimu kali ini. Pak Karman memiliki apa yang
diinginkan perempuan. Dia sungguh-sungguh berkenan
menginginkanmu."
"Iya Bu Merlin, semoga keputusan yang terbaik nanti
bisa saya berikan."
"Baguslah kalau begitu. Gitu dulu ya. O ya jangan lupa
dandan yang cantik." Klik. Tanpa salam.
Kali ini yang datang melamarnya bukan orang
sembarangan. Pak H. Sukarman, M.Sc., Dekan Fakultas
Teknik, orang nomor satu di fakultas tempat dia
mengajar. Duda berumur lima puluh lima tahun. Status
dan umur baginya tidak masalah. Sudah bertitel haji.
Kredibilitas intelektualnya tidak diragukan. Materi tak
usah ditanyakan. Di Semarang saja ia punya tiga pom
bensin. Namun soal kredibilitas moralnya, susah
Zahrana untuk memaafkannya. Repotnya, jika ia
menolak ia sangat susah untuk menjelaskan. Ia harus
berkata bagaimana.
Ia telah membicarakan hal ini pada kedua sahabat
karibnya. Si Lina, yang kini jualan buku-buku Islami di
Tembalang. Dan si Wati yang kini jadi isteri lurah
Tlogosari Kulon. Lina berpendapat untuk tidak
mengambil risiko dengan menerima orang amoral
seperti Pak Karman itu. Apapun titel dan jabatannya.
Moral adalah nyawa orang hidup. Jika moral itu hilang
dari seseorang, ia ibarat mayat yang bergentayangan.
Itu pendapat Lina.
Sedangkan Wati lain lagi, menurutnya sudah saatnya ia
tidak melangit. Mencari manusia setengah malaikat itu
hal yang mustahil. Selama Pak Karman masih shalat dan
puasa ya terima saja. Apalagi ia orang terpandang. Dan
juga kesempatan seperti ini tidak selalu datang.
Terakhir Wati bilang, "Siapa tahu dengan menikah
denganmu, Pak Karman berubah. Dan di hari tuanya ia
sepenuhnya membaktikan umurnya untuk kebaikan.
Bukankah itu bagian dari dakwah yang agung
pahalanya?"
Ia belum bisa mengambil keputusan. Kata-kata Wati
selalu terngiang-ngiang di telinganya. Ia nyaris
memutuskan untuk menerima saja lamaran Pak Karman.
Namun jika ia teringat apa yang dilakukan Pak Karman
pada beberapa mahasiswi yang dikencaninya diam-diam,
ia tak mungkin memaafkan. Jika sudah demikian
tibatiba wajah keriput kedua orangtuanya muncul
dengan sebuah pertanyaan, "Kowe mikir opo Nduk?
Kowe ngenteni opo? Dadine kapan kowe kawin, Nduk?"1
***
Lima menit sebelum rombongan Pak Karman datang,
Zahrana berbicara kepada kedua orangtuanya. Ia minta
kepada mereka pengertiannya jika ia nanti mengambil
keputusan yang mungkin tidak melegakan mereka
berdua. Diberitahu seperti itu kedua orangtuanya
menangkap apa yang akan terjadi. Dan mereka kembali
pasrah dalam kekecewaan. Namun mereka tetap
berharap akan terjadi hal yang membahagiakan.
Mereka berdoa, kali ini semoga keputusan putri semata
wayang mereka lain dari sebelum-sebelumnya. Semoga
hatinya terbuka. Segera menikah. Dan segera lahir
cucu yang jadi penerus keturunan.
Kamu mikir apa, Anakku? Kamu menunggu apa? Kapan
kamu menikah, Anakku?
la meneguhkan jiwa, menata hati. la juga memprediksi
gaya bahasa yang akan disampaikan pihak Pak Karman.
Dan menyiapkan bahasa yang tepat untuk menjawab. la
juga tidak lupa menyiapkan hidangan yang pantas untuk
menghormati tamu. Ruang tamu telah ia rapikan. Bungabunga
ia tata, dan sarung bantal ia ganti dengan yang
baru. Tuan rumah harus bisa menjaga kehormatan. Dan
ia kembali meneguhkan prinsipnya dalam menghadapi
siapapun: harus tenang, bicara yang tepat, rendah hati
dan santun. Itulah senjata para pemenang. Dan ia harus
menang. Ia teringat perkataan Napoleon Hill,
"Kebijakan yang sesungguhnya, biasanya tampak melalui
kerendahan hati dan tidak banyak cakap."
Ia kini tampak tegar. Tak ada lagi airmata. Mental yang
ia siapkan adalah mental seorang dosen pembimbing
yang siap maju sidang membela mahasiswanya
mempertahankan skripsinya. Ia sangat yakin akan
kekuatannya.
Ia berdandan secukupnya. Ia pakai jilbab hijau muda
kesayangannya. Sangat serasi dengan gamis bordir
hijau tua bermotif bunga melati putih kecil-kecil.
Hanya dirinya dan kedua orangtuanya yang akan
menyambut. Ia merasa tak perlu mengundang para
kerabat. Sebab seperti yang telah lalu, jika terjadi hal
yang tidak memuaskan hanya akan jadi gunjingan
panjang tak berkesudahan. Ia tak ingin itu terjadi lagi.
Ia ingin para kerabat diundang hanya untuk yang sudah
jadi. Yang tak ada ruang bagi mereka berbincang
kecuali kebaikan. Kali ini yang ia undang justru dua
orang ibu-ibu yang biasa membantu keluarganya selama
ini.
Rombongan Pak Karman datang tepat jam setengah lima
sore. Tidak main-main. Empat mobil. la harus mengakui
kehebatan Bu Merlin mengorganisir ini semua. Juga
keberhasilan Bu Merlin memprovokasi Pak Karman
untuk nekat seperti ini. Ayah ibunya tampak kaget.
Tidak menduga yang datang akan sebanyak ini dan
seserius ini. Untung ruang tamu rumah orangtuanya
cukup luas.
Hanya tiga orang yang tidak dapat tempat duduk.
Terpaksa duduk di beranda. la yakin tujuan Bu Merlin
baik, hanya saja Bu Merlin tidak tahu visi hidupnya saat
ini. Bukan sekadar materi dan kedudukan yang ia
harapkan dari calon suaminya. la mencari calon suami
yang bisa dijadikan imam. Imam yang menjadi bagian
tak terpisahkan dalam ibadahnya kala mengarungi
kehidupan. Karena itulah posisinya benar-benar sulit
kali ini. Bu Merlinlah yang selama ini banyak
membantunya di kampus. Dia jugalah yang dulu memberi
bocoran adanya lowongan dosen di kampusnya.
Rombongan telah duduk tenang. Pak Karman menyukur
bersih kumis dan cambangnya. Ia tampak lebih muda
dari biasanya. Koko biru muda dan peci hitam
membuatnya tampak alim. Seorang lelaki setengah
baya, mengaku sebagai adiknya Pak Karman, namanya
Pak Darmanto mengawali pembicaraan. Unggah-ungguh
dan basa-basi berjalan. Ia sendiri lebih banyak diam.
Tak bicara jika tidak perlu bicara. Ibunya yang
biasanya memang cerewet yang banyak mengimbangi
bicara.
Sesekali ada lelucon-lelucon yang menghangatkan
suasana. Makanan dan minuman dikeluarkan oleh dua
orang ibu-ibu yang rapi berkerudung. "Tape ketan ini
dibuat oleh anakku, si Zahrana ini dengan penuh cinta.
Siapa yang memakannya insya Allah awet muda." Ibunya
melucu sambil mempersilakan tamu-tamunya menikmati
hidangan seadanya. Mendengar hal itu spontan Pak
Karman berkomentar dengan gaya lucu,
"Sebelum yang lain mengambil saya dulu yang harus
mencicipi. Agar awet muda dan bisa menyunting
bidadari."
Spontan perkataan itu disambut tertawa semua yang
hadir, kecuali dirinya. Entah kenapa perkataan itu
menurutnya tidak lucu. Perkataan itu seperti sampah
yang hendak dijejalkan ke telinganya. Bagaimana
mungkin ia hidup bersama orang yang suaranya saja
tidak mau ia dengar.
Lima belas menit basa-basi akhirnya Pak Darmanto,
juru bicara Pak Karman, masuk pada inti kedatangan,
"...dan maksud kedatangan kami adalah untuk
menyambung persaudaraan dan kekeluargaan dengan
keluarga Bapak Munajat. Kami bermaksud menyunting
putri Bapak Munajat, yaitu Dewi Zahrana untuk
saudara kami Bapak H. Sukarman, M.Sc. Alangkah
bahagianya jika maksud dan tujuan kami dikabulkan."
Ayahnya menjawab dengan suara rentanya yang
terbata-bata,
"Pertama....tama, ka...kami sekeluarga menyampaikan
rasa terima kasih atas silaturrahminya. Kami juga
bahagia. Bagi ka..kami lamaran ini adalah suatu bentuk
penghormatan. Dan jika bisa kami akan membalasnya
dengan penghormatan yang le..lebih baik. Namun
masalah jodoh hanya Allahlah yang mengatur. Putri
kami sudah sangat dewasa. Dia lebih berpendidikan
daripada kami berdua. Dia bisa memutuskan sendiri
mana yang baik baginya. Itu yang bisa kami sampaikan."
Masalah sudah jelas. Semua tamu melihat ke arahnya.
la tahu bola sekarang ada di tangannya. Dialah sekarang
yang paling berkuasa di majelis itu. la berusaha untuk
tenang. Setenang ketika ia membantu argumen
mahasiswa yang dibelanya dalam sidang skripsi,
"Saya pernah mendengar Baginda Nabi Muhammad
Saw., pernah bersabda, 'Al 'ajalatu minasy syaithan.
Tergesa-gesa itu datangnya dari setanl' Saya tidak
mau tergesa-gesa. Saya tidak mau mengecewakan
siapapun. Termasuk diri saya sendiri. Maka
perkenankan saya untuk menjawabnya tiga hari ke
depan. Saya akan langsung sampaikan kepada Pak
Karman yang saya hormati. Maafkan jika saya tidak
bisa menjawab sekarang."
Ada sedikit gurat kekecewaan di wajah Pak Darmanto
dan Pak Karman. Namun keduanya tidak bisa bersikap
apapun kecuali setuju. Bu Merlin tersenyum tanda
setuju. Yang lain bisa memahami dan memaklumi.
Hanya Pak Munajat, ayahnya yang meneteskan airmata
mendengar jawaban putrinya itu. Ia sudah tahu ke
mana arah perkataan putrinya itu.
Menjelang Maghrib rombongan itu pamit. Zahrana
langsung ke kamarnya mengatur kata yang tepat untuk
disampaikan pada Pak Karman. Ia tersenyum, dengan
senyum yang susah diartikan.
* * *
"Kamu masih nunggu yang bagaimana lagi, Nduk? Pak
Karman memang agak tua, tapi ia berpendidikan dan
kaya. Dia juga bisa tampak muda." Kata ibunya yang
sudah tahu keputusannya.
"Saya tidak menunggu yang bagaimana-bagaimana Bu.
Saya menunggu lelaki saleh yang pas di hati saya. Itu
saja." Jawab Zahrana.
"Lha Pak Karman itu apa masih kurang saleh. Dia sudah
haji. Sudah menyempurnakan rukun Islam. Kita saja
belum." Bantah ibunya.
Ia merasa, memang agak susah memahamkan ibunya
bahwa kesalehan tidak dilihat dari sudah haji atau
belum. Tidak dilihat dari pakai baju koko atau tidak.
Tidak bisa dilihat dari pakai peci putih atau peci yang
lainnya. Betapa banyak penjahat di negeri ini yang
bertitel haji. Setiap tahun haji justru untuk menutupi
kejahatannya. Atau malah berhaji untuk melakukan
kejahatan di musim haji. Ibunya tidak akan nyambung
dia ajak dialog masalah itu.
"Pokoknya menurutku Pak Karman masih kurang. Saya
sangat tahu siapa dia, soalnya saya satu kampus
dengannya. Nanti kalau ada yang cocok pasti saya
menikah Bu."
Begitu mendengar dari jawabannya ada perkataan
"pokoknya", sang ibu langsung diam dengan raut muka
sedih. Dalam hati ia istighfar jika telah melukai ibunya.
Tapi ia tidak mau asal menikah. Menikah adalah ibadah,
tidak boleh asal-asalan. Harus dikuati benar syarat
rukunnya. Meskipun ia tahu ia sudah jadi perawan tua
yang sangat terlambat menikah, namun ia tidak mau
gegabah dalam memilih ayah untuk anak-anaknya kelak.
Zahrana masuk kamar dan menulis surat jawaban untuk
Pak Karman dengan komputernya. Bahasanya tegas dan
lugas:
Kepada
Yth. Bpk. H. Sukarman, M.S.c
Di Semarang
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Semoga Bapak senantiasa sehat dan berada dalam
naungan hidayah-Nya.
To the point saja, tanpa mengurangi rasa hormat saya
kepada Bapak, saya ingin menyampaikan bahwa saya
belum bisa menerima pinangan Bapak. Semoga Bapak
mendapatkan yang lebih baik dari saya. Mohon maklum
dan mohon maaf jika tidak berkenan.
la lalu menge-print surat itu dan memasukkannya ke
dalam amplop putih. Ia akan minta bantuan seorang
mahasiswanya untuk menyampaikan hal itu kepada Pak
Karman besok pagi. Dan ia sudah berketetapan akan
mengambil cuti satu minggu. Sebab jawaban itu pasti
tidak diinginkan oleh Pak Karman. Bahkan pasti sangat
mengecewakan Pak Karman. Untuk menjaga hal yang
tidak baik, lebih baik ia tidak masuk kampus. Dan
kembali masuk jika suasana kembali seperti sediakala.
Apa yang ia rencanakan berjalan. Dan apa yang ia
prediksi terjadi. Dua hari kemudian ia mendapatkan
SMS dari Pak Karman:
"Suratmu sudah aku terima. Kamu pasti tahu bahwa
jawabanmu sangat mengecewakan aku!"
Ia membaca jawaban itu dengan hati tidak enak. Entah
kenapa ia merasakan ada aroma jahat dalam setiap
huruf-hurufnya dan susunan kalimatnya. Lalu ia
mendapat SMS dari Bu Merlin:
"Hari ini saya dicacimaki Pak Karman gara-gara
jawabanmu. Saya sungguh kecewa dengan kamu!"
Airmatanya meleleh.
"Maafkan aku Bu Merlin," lirihnya dengan hati perih. Ia
merasakan dunia ini begitu sempit. Dinding-dinding
kamarnya seakan hendak menggenjetnya. Atap
kamarnya seakan mau rubuh menimpanya. Ia hanya bisa
pasrah kepada-Nya dan memohon kekuatan untuk tetap
kuat dan tegar di jalan-Nya.
* * *
"Saya harap begitu. Kalau begitu saya pamit dulu.
Masih ada urusan yang harus saya kerjakan." Kata Bu
Merlin.
* * *
Zahrana sadar Bu Merlin masih tetap menyimpan rasa
sayang padanya, meskipun ia telah mengecewakannya.
Bu Merlin juga tetap setia pada prinsip hidupnya:
Memaksimalkan manfaat meminimalisir konflik. Jika
masih ada jalan menghindari konflik, maka jalan itulah
yang harus ditempuh.
Setelah Bu Merlin pergi Zahrana langsung mengendarai
sepeda motornya ke rumah Lina, temannya paling akrab
sejak di SMP sampai Perguruan Tinggi. la perlu orang
yang bisa diajak bicara memutuskan masalahnya.
"Apa sejahat itu Pak Karman?" tanya Lina pada
Zahrana.
"Aku tak ingin membicarakan kejahatannya. Yang jelas
apa yang sebaiknya kulakukan setelah mendengar saran
Bu Merlin."
"Yang paling penting menurutku adalah, apa kaupercaya
dengan apa yang disampaikan Bu Merlin?" Zahrana
menjawab dengan memandang lekat-lekat teman
karibnya itu,
"Sampai saat ini saya belum pernah dibohongi Bu
Merlin. Saya percaya padanya."
"Kalau begitu masalahnya jelas. Pak Karman itu sedang
sangat tersinggung dan marah besar karena kamu tolak.
Dia merasa tidak nyaman berada satu atap denganmu di
kampus. Dan Bu Merlin melihat dia akan membuat
perhitungan denganmu."
"Jadi?"
"Kalau aku jadi kau, aku memilih mengundurkan diri
dengan baik-baik, daripada dipecat dengan membawa
nama tercemar. Pak Karman tentu lebih kuat posisinya
daripada kamu. Ingat dia orang nomor satu di Fakultas
tempat kamu mengajar."
"Aku tahu. Tetapi jika aku keluar, lantas nanti apa yang
harus aku katakan pada ayah dan ibu?"
"Kau kayak anak kecil aja. Cari pekerjaan baru. Dengan
begitu kau bisa berdalih degan seribu alasan yang
menyejukkan mereka. Bisa kaukatakan tidak kerasan
lagi di kampus. Cari pengalaman baru dan lain
sebagainya." Akhirnya ia mantap untuk mengundurkan
diri.
"Kau benar Lin. Besok aku akan mengundurkan diri."
"Nanti kubantu cari pekerjaan yang cocok untukmu."
"Kau memang sahabatku yang baik Lin."
***
Pagi itu Zahrana datang ke kampus dengan membawa
dua pucuk surat pengunduran dirinya. Satu untuk
rektor dan satu untuk dekan. Pak Karman sedang rapat
dengan rektor. Itu kesempatan baginya untuk
mengemasi barang-barangnya. Teman-temannya sesama
dosen banyak yang kaget.

"Saya masih boleh konsultasi pada ibu tho. Meskipun
ibu tidak di kampus ini lagi?"
"Boleh San. Kalian semua ibu persilakan dolan ke rumah
ibu kapan saja." Kata Zahrana sambil memandang wajah
mahasiswanya satu per satu. Zahrana lalu meminta
mereka mengangkat barangbarangnya ke luar gedung.
Tak lama taksi datang. Zahrana pun meninggalkan
kampus itu dengan membawa seluruh barangbarangnya.
Begitu selesai rapat, Pak Karman kembali ke ruang
kerjanya. Keputusannya sudah mantap yaitu memecat
Zahrana dengan beberapa tuduhan serius, di antaranya:
tidak disiplin. "Perawan tua itu harus diberi pelajaran!"
Geramnya dalam hati. Ketika ia duduk di kursinya ia
menangkap sepucuk surat tergeletak di atas meja
kerjanya. Ia baca surat itu. Kemarahannya seketika
meluap,
"Kurang ajar!" Ia seperti petinju yang nyaris meng-KO
lawan, tibatiba malah dipukul KO. Ia sama sekali tidak
memperhitungkan Zahrana akan membuat keputusan
nekat itu.
Namun ia tetap akan membuat perhitungan dengan
satusatunya dosen Fakultas Teknik yang masih gadis
itu.
* * *
Tak perlu waktu lama bagi Zahrana untuk mendapatkan
pekerjaan baru. Dari seorang teman ia mendapatkan
informasi bahwa STM Al Fatah Mranggen, Demak,
sedang membutuhkan seorang guru baru yang
profesional untuk mendongkrak prestasi. STM Al Fatah
berada di payung Yayasan Pesantran Al Fatah.
Pesantren besar yang terkenal di Mranggen. Ia
mengajukan lamaran dan hari itu juga ia diterima.
Kepala sekolahnya yang masih keturunan pendiri
Pesantren Al Fatah sangat senang. Pengalaman
mengajar Zahrana ketika mengajar di FT universitas
swasta terkemuka di Semarang adalah jaminan kualitas.
Sejak hari itu Zahrana mengajar siswa-siswa yang
sebagian besar adalah santri. Ia berusaha mendalami
kultur dan budaya santri. Sebab sejak kecil ia belum
pernah menjadi santri sama sekali. Ia merasakan
nuansa yang berbeda antara mengajar santri dan
mengajar mahasiswa. Ada tantangan tersendiri
mengajar santri yang masih banyak menganggap ilmu
eksak tidak penting, yang menganggap "ilmu umum"
lainnya juga tidak penting.
Dianggap tidak penting, karena para santri berpikiran
bahwa ilmu eksak dan "ilmu umum", kelak tidak akan
ditanyakan di akhirat. Bagi mereka, yang terpenting
adalah "ilmu agama", karena ilmu itulah yang akan
dibawa hingga akhirat nanti. Pikiran yang perlu
diluruskan.
Dan Zahrana tertantang untuk meluruskannya. la
merasa mengajar di lingkungan pesantren lebih
menenteramkan. Entah kenapa? Apa karena dekat
dengan banyak ulama? Atau karena memang di
pesantren tempat ia mengajar tidak ada manusia
seperti Pak Karman yang dalam pandangannya sangatsangat
durjana. Hari-harinya ia lalui dengan lebihTakbir Cinta Zahrana
temantemannya sesama dosen. Semuanya
menyayangkan keputusannya meninggalkan kampus. Dan
semuanya mendoakan semoga sukses dengan pilihannya.
Hp-nya kembali berdering. Dua kali. Ia buka,
"Apa kabar Perawan Tua?"
"Kelapa itu semakin tua semakin banyak santannya.
Banggalah jadi perawan tua!"
Ia meneteskan airmata. Tubuhnya bergetar. Hatinya
sakit. Tapi ia harus menang. Diam adalah senjata
pamungkasnya untuk menang. Ia tidak akan meladeni
kata-kata yang tidak mencerminkan datang dari orang
terdidik itu. Akhirnya, ia matikan hp-nya. Ia memilih
asyik berselancar di dunia maya.
Ia buka alamat emailnya yang lain. Ada dua email. Yang
satu dari sebuah komunitas milis, memanggilnya untuk
ikut milis. Dan satunya dari Pak Didik. Ia jadi bertanya
ada apa dengan Pak Didik. Baru kali ini Pak Didik
mengirim email kepadanya.
la buka email itu: Subjeknya: SEBUAH TAWARAN,
JIKA BERKENAN. Baru dikirim beberapa jam yang lalu.
la lalu membacanya dengan sedikit rasa penasaran.
Tawaran apa yang dimaksud Pak Didik, yang celananya
selalu di atas mata kaki itu?
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Semoga Ibu Zahrana sukses dan berbahagia selalu. Amin. Sebelumnya
mohon maaf jika email saya ini mengganggu. Sebenarnya sudah lama
saya ingin mengirim email ini tapi terhambat karena beberapa sebab.
Hari ini saya merasa hari yang tepat saya mengirim email ini untuk
memberikan sebuah tawaran kepada Ibu Zahrana. Maaf terpaksa saya
sampaikan lewat email, sebab jika saya sampaikan langsung secara lisan
takut terjadi salah paham. Karena bahasa tulisan bisa diedit sementara
bahasa lisan tidak.
Bu Zahrana, setelah mengetahui lebih detil tentang Ibu. Juga apa yang
Ibu cari selama ini saya memberanikan diri mengajukan diri.
Mengajukan diri untuk menjadi suami ibu. Maaf, to the point saja Bu.
Saya menawarkan kepada ibu, sekali lagi maaf jika dianggap lancang,
untuk menjadi isteri kedua saya. Saya yakin isteri saya bisa
menerimanya nanti.
Saya akan berusaha adil sebagai suami. Terus terang sebenarnya yang
saya harapkan adalah seorang isteri yang educated dan cerdas seperti Bu
Zahrana. Bukan yang bisanya cuma arisan seperti isteri saya saat ini.
Tapi karena sudah punya dua anak, tidak mungkin saya meninggalkan
dia.
Saya yakin dengan kita membina rumah tangga bersama, kita bisa
bersinergi. Kita bisa saling memberi dan memaksimalkan potensi. Ini
harapan saya. Semoga ibu berkenan dengan harapan ini.
Saya kira cukup sekian dulu surat ini. Jika ada salah kata motion maaf.
Tawaran saya ini mohon tidak diartikan sebagai pelecehan. Sama sekali
saya tidak bermaksud seperti itu. Saya bermaksud kita saling memberi
manfaat. Itu saja. Akhirul kalam,
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Hormat saya,
Didik Hamdani, M.T.
Zahrana membaca email itu dengan tubuh bergetar,
mata berkaca-kaca. la tidak tahu apa yang ia rasakan.
Yang jelas bukan bahagia. Ia merasa betapa tidak
mudah menjadi gadis yang terlambat menikah. Dan
betapa susah menjadi wanita.
Jika Pak Didik itu tidak memiliki isteri, katakanlah
duda sekalipun, tawaran itu mungkin akan sedikit
menjadi jendela harapan di hatinya. Tapi ia harus
dijadikan yang kedua. Ia tidak tega. Ia tidak tega padaTakbir Cinta Zahrana
Tiga anak itu adalah hasil kawin cerainya dengan tiga
perempuan berbeda. Ia tidak mau jadi korban yang
keempat. Meskipun Wati mengatakan bahwa lelaki itu
telah insyaf. Ia ingin menikahi Zahrana sebagai isteri
yang terakhir. Karena ia tidak juga bisa menenangkan
batinya. Akhirnya ia tolak juga pemilik bengkel itu.
Datangnya lamaran silih berganti yang semuanya
ditolak oleh Zahrana itu membuat ibunya sempat
marah.
"Kamu itu masih tinggi hati Rana! Perempuan tinggi hati
tak akan mendapatkan jodohnya!"
Ia menangis dimarahi ibunya begitu. Ia merasa
penolakannya itu ada landasan logika dan syariatnya
yang kuat. Ia menangis di pangkuan ibunya, dan minta
maaf jika belum bisa menjadi anak yang
membahagiakan orangtua. Ibunya, akhirnya luluh dalam
tangis. Ayahnya yang melihat hal itu juga menangis.
Sang ayah berkata sambil terisak, "Saat pindah ke
STM Al Fatah kamu bilang siapa tahu jodohmu di
pesantren. Coba datanglah ke Pak Kiai. Coba kamu
minta pada Pak Kiai untuk membantu mencarikan.
Mungkin kamu akan ditemukan dengan santrinya!"
"Baiklah ayah, tak kurang ikhtiar saya. Untuk
menemukan yang saya idamkan baiklah saya akan sowan
ke tempat Bu Nyai dan Pak Kiai secepatnya." Jawab
Zahrana sambil mengusap airmatanya.
Esoknya ia nekat mengajak Lina, menghadap Bu Nyai
dan Pak Kiai. Ia mengajak Lina sahabatnya itu, karena
Lina dulu pernah nyatri di Pesantren ARIS Kaliwungu
selama satu bulan saja, yaitu selama bulan Ramadhan.

Lina tentu lebih tahu berdiplomasi dengan Bu Nyai
daripada dirinya yang sama sekali tidak pernah nyantri.
Kedatangannya diterima Bu Nyai dengan wajah
menyejukkan. Bu Nyai Sa'adah Al Hafidhah adalah
isteri K.H. Amir Arselan, pengasuh utama Pesantren Al
Fatah.
Bu Nyai ini umurnya lima puluhan tahun. Dulu menghafal
Al-Quran di Kudus. Dan di tangannya kini telah lahir
ratusan santriwati yang hafal Al-Quran. Saat itu
kebetulan Pak Kiai sedang pergi ke Rembang. Hanya Bu
Nyai yang menemui.
'Apa yang bisa Ummi bantu, Anakku? Oh ya siapa
namamu, Anakku?" tanya Bu Nyai.
"Nama saya Rana, Ummi. Lengkapnya Dewi Zahrana.
Kedatangan saya ke sini pertama untuk silaturrahmi.
Kedua untuk mohon tambahan doa dari Ummi.
Kebetulan saya ikut mengajar di STM Al Fatah. Baru
enam bulan ini Ummi." Terang Zahrana dengan kepala
menunduk.
"O begitu. Ya. Jadi kau guru baru di STM Al Fatah?"
"Iya, Ummi."
"Dulu nyantri di mana?"
Belum sempat Zahrana menjawab, Lina memotong,
"Zahrana ini belum pernah nyantri, Ummi. Tapi dia
hariannya seperti santri. Zahrana ini dari SMA. Terus
kuliah S.l di UGM dan S.2 di ITB Bandung, Ummi."
"Kalau begitu kamu hebat ya Zahrana. Bisa S.2 di ITB.
Jurusan apa?"
Teknik Sipil, Ummi."
Bu Nyai hanya manggut-manggut.
Lina tahu bahwa Zahrana tidak berani mengungkapkan
maksud sebenarnya. Maka dengan tanpa diminta ia lalu
menjelaskan dengan sehalus mungkin maksud utama
kedatangan Zahrana ke pesantren. Bu
Nyai menjawab, "Saya yakin tidak mudah mencari yang
selevel denganmu, Anakku. Jujur saja kalau misalnya
ada yang selesai S.2 umurnya sama denganmu dia akan
memilih yang lebih muda darimu. Lelaki itu umumnya
punya ego, tidak mau isterinya lebih pinter dan lebih
tua darinya. Tapi ya tidak semua lelaki lho. Sekali lagi
tidak mudah mencarikan jodoh yang pendidikannya
harus tinggi seperti kamu juga saleh. Kalau boleh tahu,
kalau strata pendidikannya tidak setinggi kamu
bagaimana?"
Zahrana mengerti maksud Bu Nyai. Segera ia
menjawab, "Saat ini status, strata, kedudukan sosial,
pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi pertimbangan
saya Bu Nyai. Saya hanya ingin suami yang baik
agamanya. Baik imannya dan bisa jadi teladan untuk
anak-anak kelak. Itu saja."
"Oo, baiklah kalau begitu. Besok kautelpon aku ya.
Nanti malam aku akan rembugan dengan Pak Kiai.
Semoga ada pandangan."
"Baik Bu Nyai."
Keduanya lalu pamitan setelah dipaksa Bu Nyai
menghabiskan minuman yang ada di gelas.
"Harus dihabiskan. Kalau tidak habis itu namanya
mubazir. Dan orang yang suka mubazir itu teman
akrabnya setan." Kata Bu Nyai serius.
Rana dan Lina hanya bisa manut saja. Mereka pulang
dengan hati diliputi rasa gembira. Bu Nyai Dah, atau
Ummi Dah, begitu para santri memanggilnya, ternyata
sangat halus tuturbahasanya, begitu perhatian dan
begitu menyenangkan. Wajar jika banyak santri yang
mencintainya.
Pak Kiai pasti bahagia punya isteri sebaik dia.
* * *
Zahrana baru saja masuk kelas, ketika kepala sekolah
memanggilnya. Ia bertanya-tanya dalam hati,
"Ada apa sepagi ini kepala sekolah memanggilnya." Ia
bergegas ke ruang kepala sekolah dengan kepala berisi
tanda tanya.
"Bu Rana, saya baru saja ditelpon sama Bu Nyai Dah.
Beliau minta kau menghadap beliau sekarang juga."
Begitu kata kepala sekolah begitu ia sampai di ruang
kerja beliau. Zahrana langsung tahu kenapa Bu Nyai
memanggilnya.
Ia langsung bergegas ke ndalem Bu Nyai Dah. Bu Nyai
Dah ternyata sudah menunggunya sambil membaca Al-
Quran. Begitu Zahrana sampai beliau menghentikan
bacaannya.
"Duduklah, Anakku."
Ia duduk dengan kepala menunduk.

"Begini, Anakku. Pak Kiai punya seorang santri yang
sudah tiga tahun ini meninggalkan pesantren. Dia santri
yang dulu sangat diandalkan Pak Kiai. Namanya Rahmad.
Pendidikannya tidak tinggi. Ia hanya tamat Madrasah
Aliyah. Tidak kuliah. Karena setelah itu dia mengabdi di
pesantren ini. Baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung
jawabnya bisa diandalkan. Ia dari keluarga pas-pasan.
Anak kedua dari tujuh bersaudara. Pekerjaannya
sekarang jualan kerupuk keliling. Dia duda tanpa anak.
Isterinya meninggal satu tahun yang lalu karena demam
berdarah. Itulah informasi yang bisa aku berikan.
Musyawarahkanlah dengan kedua orangtuamu dan
kerjakanlah shalat Istikharah. Jika kamu ingin dan
tertarik, beritahukan Ummi. Nanti kita carikan jalan
terbaik."
"Baiklah, Ummi. Terima kasih. Saya akan musyawarah
dan Istikharah dulu. Saya pamit dulu Ummi, karena tadi
kelas saya tinggalkan." Jawab Zahrana.
"Ya. Semoga barakah, Anakku!"
Zahrana berjalan ke kelas dengan telinga yang
mendengungkan apa yang disampaikan Bu Nyai:
"...Ia dari keluarga pas-pasan. Anak kedua dari tujuh
bersaudara. Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk
keliling. Dia duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu
tahun yang lalu karena demam berdarah...!"
Sambil berjalan ia menirukan ucapan Bu Nyai,
"Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk keliling. Dia
duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu tahun!"

"Hmm penjual kerupuk keliling. Apakah memang
takdirku jadi isteri seorang penjual kerupuk keliling?"
gumamnya sendiri.
Ada dialog yang cukup serius dalam dirinya.
"Tapi meskipun penjual kerupuk keliling. Ia adalah
orang yang baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung
jawabnya bisa diandalkan. Toh aku sudah bilang pada Bu
Nyai bahwa status, strata, kedudukan sosial,
pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi pertimbangan
lagi. Yang aku inginkan adalah suami yang baik
agamanya. Baik imannya dan bisa jadi teladan untuk
anak-anak kelak. Apakah aku harus mempersoalkan
pekerjaannya yang cuma penjual kerupuk keliling?"
Sampai di kelas ia tidak konsentrasi mengajar.
Akhirnya ia memberi pekerjaan kepada para siswa. Jam
ketiga ia ijin pulang ke rumah dengan alasan ada
kepentingan yang sangat penting berkaitan dengan
permintaan Bu Nyai. Jika alasannya Bu Nyai, tidak ada
yang berani membantah.
Sampai di rumah ia mengajak musyawarah ayah dan
ibunya. Keduanya mendorongnya untuk maju.
"Kemuliaan hidup seseorang itu tidak karena
pendidikannya atau pekerjaannya. Seseorang jika
dimuliakan oleh Allah akan juga mulia di mata manusia."
Demikian kata ibunya.
Ia mulai mantap. Namun merasa masih belum cukup. Ia
lalu menelpon Lina. Dari jauh Lina menjawab,
"Dia kan lulusan aliyah. Nanti jika kalian sudah menikah
dan hidup mapan. Minta saja dia kuliah. Dengan begitudia akan selesai S.l dan jarak pendidikan tidak terlalu
jauh. Dan sebenarnya dengan dia mengabdi di
Pesantren bertahun-tahun dia telah mendapatkan
pelajaran hidup yang lebih matang dari mata kuliah di
Program Pascasarjana sekalipun. Sudah mantaplah Ran.
Pak Kiai dan Bu Nyai pasti berusaha mengarahkan yang
terbaik."
Mantap sudah hatinya. Niatnya sudah bulat. Untuk
semakin memantapkan ia pun Istikharah. Setelah
Istikharah rasa mantapnya semakin besar. Hari itu
juga ia menelpon Bu Nyai dan menjelaskan
kemantapannya.
Bu Nyai menjawab,
"Baiklah coba jelaskan alamat rumahmu!"
"Saya tinggal di Perumahan Klipang Asri. Jalan
Madukara B-15."
"Besok satu hari penuh jangan ke mana-mana. Pak Kiai
akan meminta si Rahmad itu berjualan ke perumahan di
mana kau tinggal. Kau belilah kerupuk darinya, dan kau
boleh bertanya apa saja padanya. Biasa saja. Dia tidak
tahu apa-apa masalah ini. Dengan begitu kau bisa tahu
dengan jelas calon suamimu itu. Jika kau masih
jugamantap, maka bisa diteruskan. Jika tidak ya tidak
apaapa."
"Baik Bu Nyai." Jawabnya.
Dari situ ia tahu betapa demokratisnya Bu Nyai. Betapa
bijaksananya Bu Nyai. Betapa Bu Nyai memang tidak
mau memaksa. Ia kemudian jadi takut. Janganjangan
ia yang nanti mau, tapi si penjual kerupuk itu justru
yang tidak mau dengan alasan minder dan lain
sebagainya. Ia mendesah nafas panjang. Biarlah waktu
yang menjawabnya, desahnya.
* * *

Rindu Yang Tak Pernah Layu

Oleh : Azmat Maula


Di atas sepeda motor butut merk Smash yang ku kendarai, dengan helm biru pelindung kepala, jaket tebal lusuh tanpa mengenakan sepatu seperti layaknya para pemudik dari jakarta menuju kampung halaman tercinta, saat itu aku hanya memakai sendal jepit merk swallau, merk legendaris sejak tahun70 an yang biasa dijadikan sasaran Ghosob para santri mbeling. dibawah terik matahari waktu istiwa, seakan membakar seluruh tubuh, apalagi motor yang kukendarai belum ganti oil selama lebih dari tiga bulan, membuat kaki yang hanya mengenakan sandal jepit seakan gosong terpanggang mesin suzuki yang meskipun butut tapi masih lumayan tangguh, untuk sekedar menyalip tukang becak yang sedang ngebut mengangkut karung2 besar yang berisi kain dari pasar Tegalgubug menuju rumah juragan2 kain. Ah… sampai juga aku di desa yang menyimpan berjuta kenangan baik suka ataupun duka, senang dan susah, cinta ataupun benci, ah pokok nya di setiap jengkal tanah desa ini terukir kisah hidup ku.
Dari atas jembatan kali gede Desa Tegalgubug, di sebelah utara diatas tebing sungai yang penuh bebatuan nampak indah dan asri sebuah bangunan makam, yang dulu ketika aku pertama menginjakkan kaki di komplek makam ini, hanyalah sebuah gubuk kecil yang penuh dengan Kalong ( kelelawar ) berukuran agak besar, terbang kesana kemari disekitar makam dan keluar masuk melalui lobang di atas pintu yang berukuran kurang lebih satu meter yang terkadang menabrak para peziarah, setiap aku dan para santri yang lain masuk untuk berziarah, terpaksa harus merunduk satu persatu meskipun dulu aku masih kecil karena memang ukuran pintu yang pendek dan sempit memaksa para peziarah harus merunduk ketika masuk. Ki Gede Suro Pati alias Ki Buntel mayit alias Syeikh singa sayagh sayuda alias Syeikh Muhyiddin Waliyulloh, sederet nama-nama itu adalah milik seorang Ulama besar sekaligus senopati agung yang tangguh juga murid Syeikh Syarif Hidayatulloh Sunun Gunung Jati, ialah pendiri desa Tegalgubug yang makamnya kini begitu indah dan asri menciptakan suasana nyaman para peziarah.
Motor Smash pun kulajukan dengan pelan lalu kubelokkan kearah jalanan yang hanya cukup dilalui sebuah mobil box pengangkut kain, sejenak aku berhenti untuk sekedar memberikan hadiah Fatihah untuk Ki Gede Suro, lalu perjalananpun berlanjut melalui jalan yang berkelok, dengan sisi yang terjal, sebelah kanan dan kiri penuh rimbunan pohon masih sama seperti dulu tak terawat. Terlintas dalam kenangan dulu Para santri dan penduduk Rembes selalu berduyun2 untuk berziarah kubur setiap kamis sore melalui jalan ini hanya saja dulu belum sehalus jalan sekarang ini, begitupun ketika musim hujan tiba aku dan teman2 santri berlarian dibawah guyuran hujan diatas tanah becek rerumputan mengejar Belalang dengan bermodalkan sebuah raket badminton atau hanya sebilah kayu sambil sesekali terjatuh kerana jalanan licin, rasa sakit pun sirna segera ketika seekor belalang tertangkap, “Far… mana plastiknya, aku dapat satu nih…”.
“Tumben lo Men dapat belalang biasanya takut ama jentik nya…ha..ha..ha..” ledek Ja’far anak tetangga desaku sambil berlari membawa plastik yang mungkin bekas bungkus sampah. Ah bodo amat yang penting halal…
“Far, mana si Osep ? tadi dia bareng sama kita, kan? Apa mungkin dia lagi godain Iis, anak kebon kelapa itu, yang kemaren kita kenalan di Tegalan Jambu,kita kesana yo…!
“Emeeen… sini…di cari ama Iiiis…” dari arah sungai kaligede suara Osep yang cempreng memanggilku, ternyata di bawah jembatan dekat lempengan batu2 besar, beberapa gadis sedang mandi masih mengenakan pakaian karena mereka pun habis hujan2an, pakaian dalam mereka nampak sekali apa lagi Iis mungkin diantara mereka dia yang paling Cantik, dengan pakaian tipis, rambut panjang basah terurai, nampak kulit putih mulus bagian bawah ketika tanpa sengaja aku lihat saat dia terjatuh, entah kenapa hatiku berdetak kencang ketika dia melambai ke arahku, “Men, sini tolong aku mau turun kebawah licin banyak lumut nya,” rengek Anis, dengan senang hati akupun mendekatinya yang sedang siap2 mengulurkan tangan nya, “Ayo Nis pelan2 sambil pegangan yang erat….” Tiba2 kakiku tergelincir dan tak sanggup menjaga kseimbangan akhirnya “ Byur…” Aau…tolong ..Men…” Anis terbawa arus sungai yang lumayan deras, beruntung aku dapat menangkap pergelangan tangan nya, “Makasih banyak, Men…” ujar Anis lemas sambil memberesi pakaian nya yang acak2an namun entah mengapa dia malah tersenyum tak ku mengerti, lalu tanpa basa-basi dia langsung menggenggam hangat jemariku……..
“Tin…tin…tin…teka kapan Mennn…? Suara klakson dan sapaan khas anak Rembes membuyarkan lamunanku, “eh… Dau teka Dad, sira pan mendi? “. “Meng Nangun, ayo Men ” jawab Amdad sambil tancap gas. Kenangan yang seakan kembali terulang tak terasa mengantarku ke Pondok Pesantren Nahjul Hidayah. Rembes Tegalgubug Cirebon.
Ku parkir sepeda motorku di depan pintu masuk Pondok, suara Adzan Dzuhur mang Anas Kumis dengan gaya maritiman, mengalun menyeretku ke alam Tigabelas tahun silam saat kang Kholili selaku Kepala Pondok juga kang Nasrudin selaku Keamanan Pondok dengan sejadah tebal menggobrag para santri setiap waktu sholat tiba, saat sebagian santri tidur Qoilulah ( sedikit waktu menjelang Dzuhur) sedangkan yang lain santai di teras belakang sambil memandang sumur dekat sawah tempat mencuci pakaian warga Rembes diantaranya Sofat, Sukriyah dan gadis2 lain yang tiap hari mencuci pakaian sambil bersenda gurau, sebagaimana biasa aku dan santri yang lain nongkrong2 selepas ngaji kitab Tafsir al Jalalain setiap mulai jam 8.30 pagi, sampai selesai jam 10 yang langsung dibacakan oleh Mama Kuri ( Syaikhuna KH.Masykuri Mas’ud ) Pengasuh sekaligus Pendiri Pondok Pesantren sejak tahun 70 an, selepas ngaji salah seorang santri baru asal subang yang bernama Ali Khoer sebagaimana biasa Memasak didapur untuk persiapan makan siang sambil menenteng kastrol / panci dengan memakai sarung sebatas lutut sambil sesekali berdendang sya’ir2 Nadzom ‘Awamil dengan gaya lagu manuk dadali, seolah tak mau ketinggalan Sa’id santri likwo ( cilik tuwo) asal kalimantan, mengiringi Nadzoman Ali Khoer dengan alat musik khas pesantren yaitu baskom, piring, ember dan alat dapur lainnya, Mimi Hj As sekembali dari menengok kebun dibelakang pondok, hanya tersenyum melihat olah santrinya yang layaknya anak band sedang konser di dapur yag lebih mirip gudang yang penuh tumpukan kain-kain bekas, yang dimanfaatkan untuk bahan bakar memasak sementara santri lain bersembunyi di balik pintu-pintu kamar dan jendela belakang pondok

Bersambung dulu ah

Di Balik Tembok Pesantren Putri

DI BALIK TEMBOK PESANTREN PUTRI
Penggalan masa lalu sang Alumni
Oleh : Azmat Maula

Pukul 5 sore matahari senja berada di ufuk barat barhiaskan lembayung kuning memancarkan keceriaan para santriwan yang sedang asyik barmain bola di atas sepetak sawah yang baru saja dipanen
Hanya mengenakan kain sarung dangan kaos oblong mereka berlarian mengejar si kulit bundar walau harus sesekali kaki mereka terperosok didalam tela sawah yang semakin melebar karena entah berapa lama tidak tersiram hujan,
semangat para santri tak juga surut meski waktu hampir magrib, karena dari balik dinding madrasah pondok putri, terlihat beberapa santriwati melihat pertandingan yang sedang berlangsung sambil sesekali memberikan support pada pemain kesayangan mereka, “Ayo rohman… kejar terus… kamu pasti bisa !!!
Teriak salah satu santriwati dari balik jendela kaca belakang madrasah memberikan support,
Rohman pun semakin lincah menggocek bola setiap kali namanya di elu-elu kan para penonton.
namun sayang Rohman terlena oleh pujian, Bola pun lepas diserobot Duki jagoan dari indramayu yang terkenal memiliki ilmu kanuragan lumayan,
Rohman mengejar Duki penuh dendam namun yang dikejar agaknya bukan tandingan, akhirnya...gooool !!!
Kesebelasan masduki pun memenangkan pertandingan sepak Bola Memperebutkan KANGKUNG & NCUNG CUP.

Sementara itu di sudut madrasah sebelah utara di tikungan tembok pondok putri agaknya pintu belakang kantin masih terbuka, terlihat tiga gadis santri dengan cekatan sambil sesekali di warnai derai tawa dan bersenda gurau melayani santriwati yang membeli lauk pauk untuk makan sore atau mungkin juga persiapan berbuka puasa sunnah Senin dan Kamis,
karena kata Bu Nyai
“biar cepat pintar dan dapat ilmu manfaat,”
Aku barsama Navis teman setiaku asal kota batik, yang sama-sama mberung ( bandel ) dengan mantap dan penuh percaya diri melangkah mendekati pintu belakang kantin yang hanya terbuka bagian atas nya saja sedangkan bagian bawahnya tertutup. Mungkin dari semua santri putra yang menuntut ilmu di pesantren itu hanya aku dan Navis yang berani mendekati pintu belakang pondok putri, karena itu suatu pelanggaran Undang-Undang Pesantren
Dengan ramah Santri putri yang di panggil Iin mendekat sambil menyodorkan nampan yang berisi gorengan ba’wan makanan faforit ku yang sudah istiqomah di konsumsi tiap setelah kegiatan
Musyawaroh kitab-katab pelajaran, jam 11 malam, sambil memandang indahnya langit yang bertabur bintang di temani teh tubruk khas tegal gubug, apa lagi Bakwan madein Mbok Muner poko’e gak ada duanya.
“ kalem aja Mbak, ga usah buru-buru sambil ngobrol sedikit boleh kan? Dari mana aslinya mbak ? Sudah lama mondok di sini ?
Sambil makan gorengan dengan santai kami meluncurkan pertanyaan dan rayuan yang sama sekali tidak satupun pertanyaan dijawab, keki juga sih…
Namun, pantang mundur !!!
Itulah semboyan ku dan Navis dalam hal ngejar target.
Karena itu antara aku dan dia selalu bersaing mendapatkan koleksi Foto-foto cewek sebagai tanda cinta mereka,ce illeeh, sebagai bukti agar diketahui teman2 santri, foto-foto cewek itu di pajang dibalik pintu lemari yang sering membuat pengurus marah-marah. tapi antara kami tetap dalam koridor “ sesama kawan jangan saling mendahului” itu sebuah komitmen kami berdua demi menjaga kesetiaan persahabatan.
“ maaf kang, makan nya di pondok aja jangan disini, silahkan ambil berapa, kantin dah mau tutup”
“ kami gak bakal pergi sebelum mbak kasih tau nama mba siapa,gimana?
Kata ku dengan nada mengancam,
dalam benak ku berharap dia mau berkenalan lalu setelah akrab dia mau jadi pacar untuk menambah koleksi ku,
Tiba-tiba dari dalam pesantren putri seorang Santri, tergesa-gesa serta ketakutan dengan nafas tidak beraturan.
“ Mbak Iin…! abah tahu ada santri putra disini, sekarang beliau sedang kemari.
“ kang Tolong sampean cepat pergi, Abah pasti marah kalau tau sampean ada disini, bayar nya nanti aja”, kata mbak Iin panik.
“Makasih Mbak Iin yang cantik…lari...vis… ” langsung saja kami ambil langkah seribu ke arah pesantren putra dan langsung naik ke lantai dua komplek Arofah yaitu kamar dimana aku dan navis tinggal ,dengan perasaan takut yang berkecamuk gak karuan aku mencoba melongok dari belakang komplek ke arah Pondok Putri karena khawatir jangan-jangan Abah Habib ngejar sampe pondok kami,
karena jarak antara pondok Putra dan Putri sangat berdekatan hanya di pisah kan oleh sebuah tembok penghalang.
Ah… ternyata Abah tidak mengejar sampai pondok putra, lega rasanya hati ini. Akupun mengatur pernafasan dan detak jantung yang hampir copot.
“ Men, Vis tadi kalian kenapa dikejar Abah ? Beliau marah…”
Tanya Miftahuddin teman sekamar Navis asal Centigi Indramayu
yang juga pengurus seksi keamanan yang biasa dipanggil Mistak.
“ Tuh, Emen godain santri putri, udah makan Ba’wan belum bayar lagi,”
“ Enak aja lo Vis... emang nya Abah bilang apa, Tak ?
Tanya ku penasaran
“ Sopo mau sing ngledeki santri ku ? Nek arep nglonthe ojo nang kene !!!
Kata Mistak sambil menirukan logat Abah.
“ Ah, yang bener kamu Tak, masa abah bilang begitu ? “
Tanya Navis tidak percaya
“ Benar Vis aku gak bohong karena pas kalian lari aku ada di sana, malah Abah nanya sama aku, katanya, siapa tadi? Santri bukan ?”
“ Terus kamu jawab gimana ? “
Tanya ku sambil menahan rasa penasaran luar biasa.
“aku jawab, mereka bukan santri sini Bah, lalu Abah pun kembali. Men emangnya tadi siapa yang di godain kalian? Cakep ga?
“ Ayu tenan Tak, poko’e nek kowe weruh mesti naksir deh..” kata Navis
“ Kalian ga nanya ? Namanya siapa gitu, dari mana asalnya “
“Udah Tak, kasian tuh Emen gak diladenin keburu Abah datang, tapi dia cantik banget, kalau ga salah temennya panggil dia Iin…
iya kan Men ?“
“Iin…? Itu mah adik ku, tahu… awas kalau kalian macam-macam lagi !!!
gertak Mistak marah
“ Inggih kang Mistak calon kaka ipar…hi...hi...hi...”
ledek Navis sambil lari ke kamar kecil agaknya dari tadi dia menahan pipis, aku pun ikut ngantri pipis juga …
Sambil keluar komplek, Miftahudin yang ternyata memang benar kakak dari Iin berteriak dengan logat brebes menirukan gaya kang Nasruddin
“ Aku ora sudi nduwe mantu reman ( preman ) !!!
Kami pun sontak tertawa di dalam kamar mandi sambil menjawab
“Inggih kakang ipar….!!!!
Suara tawa pun meledak dari kamar sebelah yang dari tadi mendengar percakapan kami
“Ha...ha...ha…….Tak, aku boleh ndaftar gak jadi adik ipar ???!!!
“Ora suddiii……
Suara adzan maghrib mengalun mendayu-dayu menggetarkan bilik2 pesantren membuat semua penghuninya berhamburan mengambil air wudlu, ada yang di bak khusus tempat wudlu,
ada juga yang di sumur belakang pesantren yang dipercaya mengandung karomah karena airnya yang tak pernah habis meskipun dilanda musim kemarau cukup panjang,
ada juga yang mengambil air wudlu dan mandi di Balong depan pondok yang diatasnya berdiri kantor Pon-Pes Putra,
di kolam besar itu sebagian santri mandi dan berwudlu bahkan bersuci dari hajat besar setelah buang hajat di tela sawah setiap selepas panen musim kemarau, meskipun airnya tidak begitu jernih namun sebagian santri semakin asyik berendam dan berenang sehingga suara kang Jahol sang muadzin musholla mengumandangkan Qomat, sebagai pertanda Pak Kyai Adnani sudah rawuh (datang) dan sholat berjamaah pun segera dilaksanakan.
Kendati sholat berjamaah merupakan Peraturan Undang2 pondok namun beberapa santri masih tetap ada yang melanggar dengan mengadakan Jam’ah tandingan di kamar pondok, sebagai bentuk protes karena sudah kebiasaan, para Kyai dari luar pondok terlalu lama ditunggu jika mendapat giliran mengimami sholat berjamaah sehingga kang Jahol terlalu lama melantunkan Solawatan sampai kehabisan lagu hanya kerena menunggu sang Imam, tapi ini mungkin alasan yang dibuat2 walaupun 70% benar adanya, hanya karena menutupi rasa malas beberapa santri untuk melangkah ke Musholla, termasuk Aku dan Navis yang memelopori Jamaah tandingan Yang lagi-lagi di undang Pengurus untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kami.
Setelah Sholat Maghrib aku sengaja tidak mengikuti pengajian kitab Asybah Wan Nadzo’ir yang di asuh oleh guru faforitku Kang Ustadz Hafidh Mas’ud, biasanya aku berangkat ngaji paling akhir supaya santri putri sudah masuk semua
dan aku bisa melihat dari luar majlis santri putri yang bisa di jadikan tambahan koleksi, lalu aku duduk dekat satir ( pemisah ) antara santri putra dan putri yang hanya terbuat dari kain,
Tapi malam itu aku tidak hadir karena masih memikirkan peristiwa tadi sore.
Terbayang kemarahan Abah Habib suami Ibu Nyai pengasuh Pondok Pesantren Putri.
Abah Habib adalah tokoh Ulama yang sangat dihormati apa lagi dikalangan para Habaib baik dari Cirebon ,Tegal , Jakarta bahkan dari Solo dan Pekalongan pun banyak yang datang hanya untuk meminta Do’a dan tabarukan.
Terbayang dalam lubuk hati ku,
“ Abah adalah Dzuriyah Rosul dan termasuk Ahlul Bait yang disucikan oleh Allah SWT sesuci2nya” sebagaimana tersebut di dalam Al Qur’an
bahkan menurut salah seorang guru yang pernah kureguk sedikit ilmunya menerangkan:
“ Meskipun sesorang yang ahli ibadah, ahli Ilmu dan hampir mendekati maqom ke walian tapi kalau dia tidak hormat pada Ahlul Bait yang sholeh bahkan menyakitinya maka dia tidak akan mendapatkan manfaat sedikitpun dari amalnya”
“Na’udzu billah…” dalam batinku berkecamuk berjuta penyesalan,” seorang yang hampir mendekati maqom kewalian saja
apa bila menyakiti Ahlul Bait yang sholeh akan terancam, apa lagi aku makhluk yang hina dan selalu berkubang maksiat setiap saat, tiada secuil pun amal yang dapat ku andalkan untuk menghadap Nya sedangkan kini aku yang penuh dosa ini berani melukai perasaan seorang Ulama yang merupakan keturunan Rosul
“ Astaghfirullohal ‘adziim…”
Air mata yang selama ini kering, kini mengalir tak terbendung, tubuhku terguncang menahan tangis yang selama ini bisu,
Terbayang dosa2 yang pernah ku perbuat
“ ya Robb adakah ampunan mu atas dosa2ku... ?
Sebuah Tanya dari lubuk hati yang tak kan pernah ku tahu jawabnya.
“ Emen kenapa kamu nda ngaji ?”
“Kamu sendiri Vis, gak ngaji… kenapa? Jawabku balik nanya
“ Kejadian tadi sore membuat aku resah, Men… kayanya kita berdosa banget sama Abah, aku takut Abah ndak ridlo sehingga Ilmu kita tidak menfaat, menurut kamu enaknya kita harus bagaimana, Men? ”
“ Mau tidak mau kita harus minta maaf secara langsung sama beliau Vis,”
“emangnya gak ada cara lain, kecuali itu? Aku takut banget Men, bisa-bisa kita dihajar habis2an,selain itu kita juga malu banget sama santri putri, karena mereka pasti tahu kalau kita di ta’zir sama Abah.”
“ Tapi Vis, kesalahan kita sama Abah gak bakal bisa di ampuni sebelum Abah mengetahui apa kesalahan kita, pokoknya kita harus Showan Abah untuk minta maaf sekarang juga apapun resikonya…”
Navis pun perlahan mengangguk setuju walau rasanya berat banget.
Dengan pakaian rapi kami melangkah memasuki gerbang pondok putri dengan membawa pikiran yang semrawut, dari dekat terdengar suara santri putri lalaran sambil menunggu musyawaroh pelajaran di mulai
Disamping pintu gerbang sebuah kertas menempel bertuliskan
“ Bagi tamu laki-laki dilarang masuk dan harap menunggu di kantor”

“ Cari siapa ? Ada perlu apa? Gak lihat tulisan itu?
Suara halus namun tegas penuh wibawa seorang perempuan dari belakang mengagetkan kami yang sedang melongok kedalam komplek santri putri, degan mengenakan kacamata tebal sambil membawa sebuah map biru mungkin dia salah satu pengurus atau mungkin juga Ustadzah pondok putri
“ Ada perlu sama Abah, beliau ada ?
“ Abah baru saja keluar mengendarai motor Vespa tapi saya nggak tahu beliau pergi kemana ? “
Jawab perempuan tersebut ramah, eh ternyata dia baik juga mungkin dia melihat penampilan kami yang kaya santri beneran plus rada ganteng2 gitu...
“ Oh, ya sudah Mbak lain kali saja Insyaallaah kami kemari lagi,
Makasih atas informasi nya Mbak,”
Kata ku sambil berbalik, dan tak lupa lebih dahulu melemparkan senyuman menggoda, Navis melirik ke arahku lalu mencubit perut ku
“ Gila kamu Men… Pengurus di godain juga,”
“ Kau jangan suudzon Vis, aku tadi bukannya godain, tapi Idkholussuruur...membahagiakan orang lain kan sama dengan sedekah, siapa tau dia bahagia dan…
“ kepencut sama kamu ? Gitu kan maksud lo…. Sergah Navis sambil menendang bokongku, tapi sayang aku lebih dahulu lari, Navis pun mengejar.
“ Makan gak Men,Vis ? kalian dari mana ? kaya nya ko cape banget kaya habis di kejar setan.”
Tanya Bi Suratmi pemilik warung makan langganan santri meskipun sering kali rasa asin lebih mendominasi setiap masakannya tapi semua santri sangat memakluminya, karena Bi Suratmi seorang Janda yang sudah memiliki 7 orang anak,dan 4 cucu.
“ Tuh setan gundul yang ngejar2 aku “ jawab ku sambil menunjuk kepala Navis yang kojak mengkilap,
“ Bocah edan …” ucap Bi Suratmi sambil senyum-senyum
“ Makan Bi… biasa, pake oreg sama telor ceplok, Kamu pesan apa Men ? Ujar Navis ngos-ngosan sambil mengenyot es buntel produksi Masduki.
“ sama aja Bi…”
Jawabku sambil menikmati Opak aci sebagai makanan pembuka,tak lama kemudian gadis bernama Kiki cucu pertama Bi Suratmi muncul dengan membawa dua piring berisi pesanan,
“ Bi...Cucunya nambah demplon aja buat aku aja ya Bi…”
Kata Navis sambil melirik nakal kearah Kiki
“ Jangan mau Bi… mereka itu play boy tengik Hi...hi...hi…”
Tiba-tiba Miftahuddin muncul dari belakang warung,
Bi Suratmi pun hanya tertawa ngekek disamping Kiki yang hanya senyum malu-malu.
“ Men, tadi aku kepondok putri menemui adikku ternyata kasus tadi sore membuat pondok geger, Ibu Nyai ikut marah banget sama kalian”
Miftahuddin memulai pembicaraan dengan pelan tapi serius seakan takut kedengaran orang lain.
“ Tak, memangnya Ibu Nyai sudah kenal sama aku dan Navis ?
“ Kenal orangnya sih nggak, tapi ciri-ciri kalian semua dah tahu, dua santri mberung yang satu gondrong dan yang satu plontos siapa lagi kalau bukan kalian…sebelum kasus ini sampai ke telinga Mbah Yai, mendingan kalian secepatnya minta maaf,”
“ Barusan aku sama Emen kesana Tak, mau menyerahkan diri dan minta maaf, tapi Abah sedang pergi,” ujar Navis sambil mengunyah telur Ceplok yang masih hangat.
“ Ya sudah, pokok nya kalian mesti kesana minta maaf sama Abah dan Bu Nyai kalau kalian gak mau kwalat, apa lagi kalau sampai Mbah Yai dengar...wah , habbis lah kalian.”
“ inggih Tak, makasih atas nasehatnya, ngomong2 tadi Iin adikmu nitip salam buat aku ndak ? tanya Navis sambil menyulut rokok Ardath lalu menghembuskan asap rokok dengan santai.
“ Ndlagdag (brengsek) kamu Vis, diajak ngomong serius malah nanya begitu, nih bayarin es sama pisang goreng dua…”
Sambil menggerutu Miftah ngleos meninggalkan Navis yang Cuma cengar-cengir sambil mengelus2 kepala botaknya.

Dua pertiga malam berlalu, jam duduk berbentuk micky mouse diatas lemari, sebagai hadiah Ulang Tahun ke 19 dari pacarku anak tegal gubug blok 4, yang baru saja berangkat mondok ke kaliwungu, menunjukkan pukul 3.00 namun kedua mata ini begitu sulit terpejam, buku kecil yang berisi bait2 sya’ir Alfiyah ibnu malik dengan setia menemaniku, tapi entah malam ini tidak satu pun Bait Alfiyah singgah di otak ku meskipun berulang kali ku baca dan kubaca, dalam benak ku hanya ada satu ganjalan yaitu bayangan kemarahan Abah dan Ibu Nyai, meskipun Beliau bukan Kiyai dan Nyai tempatku mesantren, namun kesalahan yang kuperbuat sehingga membuat beliau marah itulah yang membuat hatiku selalui dihantui rasa bersalah.
Angin dingin menembus tulang, suasana sepi sesekali terusik oleh suara deru kereta api dari arah timur desa lalu hening pun kembali sepi, aku beranjak dari kamar yang berukuran 3x3 m dengan empat buah lemari besar dan kecil tempat pakaian berjejer dan satu buah lemari yang tidak berpintutempat bermacam2 buku dan kitab2 , sebuah foto Lelaki mengenakan sorban penuh kharisma terpajang di tembok kamar dengan bingkai kayu ukir bertulis nama Mbah Yai pendiri Pondok Pesantren tempatku menuntut Ilmu,
“ Maaf kan aku, Ma… santrimu yang selalu membuat mu malu,”
Sebening air memaksa bergulir dari sudut mata ku Sambil menatap kediaman Mbah Yai, lampu depan lemari kitab menyala pertanda Mbah Yai sudah bangun dan mungkin sedang muthola’ah kitab2 sementara para santri masih lelap tertidur kecuali beberapa santri yang mendapat kan giliran piket jaga malam, yang mungkin saat ini masih ngobrol ngalor nngidul sambil ngopi di teras belakang pondok, perlahan kaki ku melangkah menuruni satu demi satu tangga yang berkelok, lalu aku berhenti dan duduk termenung di atas balong sambil menerawang jauh.
“Besok aku harus menemui Abah untuk minta maaf, sanksi apapun yang akan Abah berikan aku siap menerima untuk menebus kesalahan ku dengan keridoannya,”
Batin ku tak henti2 nya memikirkan kesalahan ku, tiba-tiba…
“ Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun 3x “
kesunyian terhempas berita kematian yang di sampaikan oleh Mang Kasan.
“ Telah berpulang ke Rahmatulloh Almukarrom Kyai Haji Al Habib…”
bagai tersambar petir tubuh ku lemas tak berdaya mendengar berita wafat nya seorang ulama yang sangat Alim, zuhud, berwibawa di hormati dan di segani…
tak terasa air mata bercucuran tak terbendung merasakan penyesalan yang semakin dalam.
Rembulan dilangit suram terhalang mendung tebal seakan ikut merasakan kesedihan Umat islam atas kepergian seorang Ulama yang sangat di cintai, kumandang subuh Kang Jahol menyayat hati, akupun melangkah menuju musholla untuk Sholat berjamaah meski tak terbiasa melakukannya, Sholat shubuh pun berjalan sangat khidmat suara isak tangis para jama’ah mewarnai suasana Shubuh pagi itu,
Pondok Putri berselimut duka, ratapan dan tangisan membaur mangiringi kepergian sang guru,
Di dalam rumah duka terbujur, sosok tubuh tertutup kain tebal, di wajahnya tersisa senyum kemenangan saat2 terakhir menghadapi syakarotul maut, di sekeliling nya duduk melingkar beberapa santri membacakan surat Yasiin dengan disertai isak tangis termasuk aku yang sejak malam tadi memikirkan penyesalan yang kemarin sempat membuat Abah marah, sedangkan kata maaf beliau belum ku raih,
“ Abah… mafkan kesalahan ku…”
Dalam batinku merintih “ jangan kau biarkan Rosululloh menahan Syafaat hanya karena engkau memendam kebencian pada ku, Abah…”
Mendung semakin menggelayut tebal seakan tak sanggup lagi menahan beban kesedihan, mungkin ia pun tahu salah satu Hadits Nabi yang berbunyi :
“ Man lam yahzan bimautil ’Ulama fahuwa munafiq .“
Barang siapa yang tidak merasakan kesedihan sebab wafat nya Ulama maka dia adalah orang yang munafik.
Para penta’ziyah berduyun2 dari berbagai daerah memenuhi jalanan menuju komplek pesantren putri di antara nya dari golongan para Haba’ib bahkan dari Yaman Hadromaut pun nampak hadir untuk mengiring kepergian Habib yang Kharismatik itu, aku masih tetap termenung di sisi jasad Abah sambil tak henti2 membaca ayat2 Al Qur’an dan memanjatkan do’a untuk beliau,
“ Jenazah siap di mandikan,”
Ujar salah satu Kyai yang mungkin beliau teman dekat Abah, karena sejak subuh beliau ada di sisi jenazah.
Beberapa orang berebut masuk lalu mengerumuni Jasad Abah yang mulia, termasuk aku yang mengharap bisa ikut mengangkat Jasad Abah, Aku sangat beruntung karena posisiku dibagian kepala sehingga aku dapat memandang wajah Abah sepuas2nya untuk yang terakhir kali dan mengangkatnya bersama2 menuju pemandian Jenazah yang terletak tepat di samping gerbang pondok putri, disisi lain hati ku sangat resah karena sejak tadi sepasang mata yang layu namun tajam menatap ke arahku dari balik satir pemisah antara penta’ziah laki2 dan wanita. Jasad Al Habib di letak kan di atas sebuah tempat khusus untuk memandikan jenazah, beberapa orang berebut untuk dapat sekedar menyentuh bahkan hanya mendapatkan air dari bawah pemandian bekas memandikan beliau, sedangkan aku, lagi2 sangat beruntung karena bisa mengusap rambut dan kepala beliau mungkin Allah mengizinkan aku untuk yang terakhir kali berbuat bakti pada Abah bahkan mencium kepala Abah tanpa harus ber desak2an, kembali air mata membanjiri pipi manakala teringat kemarahan Abah, lalu ku usapkan air bekas menyiram kepala abah yang mulia keseluruh bagian wajah dan kepala ku dengan berharap Allah memberikan berkah asbab kecintaan ku kepada salah seorang Ahlul Bait Nabi SAW.
Sebuah Masjid di tengah sawah yang merupakan tinggalan Al-Habib berdiri kokoh ,tak satupun berfikir bahwa suatu saat Masjid tersebut akan menjadi Masjid Jami’ yang dapat di gunakan untuk Sholat Jum’at warga setempat yang bermukim di sebelah timur kali gede. sedangkan warga masyarakat yang bermukim di sebelah barat kali gede mereka melaksanakan Sholat Jum’at di masjid Besar hal itu terjadi 9 tahun kemudian ketika kali gede dilanda banjir , jembatan penghubung dua blok, runtuh.
Di sebelah kiri dan kanan pengimaman masjid terdapat dua
buah kamar yang dihuni beberapa santri putra.
Kini masjid tersebut penuh sesak para Muhibbin dan para santri yang ingin mengikuti Sholat Janazah.
Tung...tung...tung…
Kentong masjid di pukul tiga kali pertanda Sholat Jenazah segera di laksanakan.
“Sawwuu shufuufakum…” ( luruskan dan rapatkan barisan )
Seorang Habib bertubuh tinggi besar berjanggut tebal warna pirang putih dan hitam mengenakan Jubah dan sorban warna putih dipadu selendang tebal warna biru menyampir di bahu sebelah kanan begitu berwibawa, dan kedua mata yang teduh dengan wajah yang penuh dengan sifat2 mulia menandakan kedalaman ilmunya, bertindak sebagai Imam Sholat jenazah.
Ada satu keajaiban terjadi ketika pemakaman Abah berlangsung.
Kuburan tempat pembaringan terakhir di genangi air cukup banyak kemudian air dari dalam kuburan pun di kuras dengan menggunakan ember, namun air tak kunjung surut. Lalu dengan menggunakan mesin sedot air, tapi alat itupun tidak sanggup
Menguras air tersebut, akhirnya berdasarkan kesepakatan keluarga dan ahli waris, jenazah Al Habib harus di kebumikan saat itu juga tanpa perlu menggali makam lain, para penta’ziah yang hadir menunggu dengan berdebar2 apa yang akan terjadi.
“ Mana mungkin kuburan seorang Ulama besar bisa seperti ini”
Ujar seorang bapak di belakangku
“ Mungkin Abah punya kesalahan dalam hidupnya, sehingga jasad nya mesti ditenggelamkan dalam kuburnya”
“Huss...kamu kalo ngomong jangan sembarangan gak boleh suudzon, kita lihat saja nanti apa yang akan terjadi,”
Dari arah Masjid, jenazah Al-Habib diusung diatas keranda, suara tahlil pun menggema mengiringi langkah demi langkah para pemikul keranda menuju arah liang lahat yang telah dipersiapkan, namun sayang genangan air seukuran betis orang dewasa belum juga surut. Perlahan keranda diturunkan di sebelah barat liang lahat, kumandang Adzan menyayat hati mengantar kan Jasad Al-Habib yang diangkat oleh beberapa keluarga dekat memasuki liang peraduan terakhir, air mataku kembali tak terbendung menyaksikan jasad Al-Habib untuk yang terakhir kali nya, perlahan jenazah diturunkan….
“ Subhaanallaah…!!! “
Kalimat itu terlontar dari bibir para penta’ziah yang menyaksikan langsung surutnya air ketika Jenazah Al-Habib di letak kan di liang lahat.
“ Subhanallah… ini benar2 karomah yang nyata”
Dalam hatiku membatin sambil menyeka air mata yang tak henti mengalir, berbagai perasaan antara Haru sedih takjub bahagia
melebur menjadi sebuah kekuatan ruhani sehingga mendorong sifat-sifat buruk keluar dari dalam hatiku lalu merangsang perbuatan terpuji senantiasa menghias hari-hari ku ,
diantara kerumunan para penta’ziyah, nampak seorang laki-laki berpakaian serba putih berselimut cahaya dengan senyum bahagia menghias bibirnya seraya melambaikan tangan ke arahku,
tanpa sadar bibirku bergerak
“ As Salaamu alaika yaa Habiib “
“ Terimakasih , Abah….
“ Selamat jalan wahai Kekasih Allah,……………”

Intaha………..
Cerita ini hanya fiktif, mohon maaf apabila ada kesamaan nama tokoh atau lokasi, hal itu semata-mata hanya kebetulan belaka
Wallohu A’lam